Bab 16

4 2 0
                                    

Aria belum mendapat pesan terbaru dari Eldhar.

Sejak pagi ia terus memandangi ponselnya dengan harapan notifikasi pesan masuk dari Eldhar dapat muncul. Biasanya setiap pagi pemuda itu akan mengirimkan rentetan pesan ucapan serta penyemangat dalam menjalani hari.

Berbagai ucapan telah Aria dapatkan hingga ia terbiasa dengan rutinitas Eldhar setiap hari. Namun, mendapati kali ini Eldhar belum kunjung mengirimkan apa pun membuat Aria sedikit resah. Ada bagian dalam hatinya yang entah mengapa berdenyut sakit karena merasakan firasat tidak baik.

Mondar-mandir di dalam kamar membuat Aria Lelah. Mengobati letihnya, ia mendaratkan biritnya di pinggir kasur. Hari sudah sore. Aria mendesah berat menatap layar kosong pada ponsel.

El ke mana, ya? Masih tidur, kah? Tumben jam segini belum bangun.”

Mengentakkan kakinya pelan, Aria berpikir apakah ia harus mengunjungi tempat pemuda itu bekerja paruh waktu, memastikan dia benar baik-baik saja atau ada sesuatu terjadi menimpanya.

Eldhar bukan orang yang akan menghilang begitu saja. Bahkan ketika dia hendak pergi ke suatu tempat, dia tidak pernah lupa mengabari Aria.

Perlakuan Eldhar ini memang mencerminkan seorang kekasih, dan Aria menerima perlakuan tersebut dengan senang hati. Malah justru ia ingin momen ini berlangsung selamanya.

Aria menggulir kontak dan mengirimkan pesan kepada satu-satunya sahabat Eldhar, Andre.

Me

Andre, tahu El dimana?

Selang beberapa menit kemudian, pesan yang dikirimkannya dibaca oleh penerima. Tak butuh waktu lama Aria melihat pihak lain dalam status mengetik dan muncul notifikasi pesan baru.

Andre

El? Gak tahu, deh. Kenapa tanya dia?

Jawaban Andre sontak mengundang kebingungan Aria, Bahkan Andre pun gak tahu dia di mana....

Keresahan semakin mengakar dan tumbuh di dalam hatinya. Firasat tidak enak terus menyerangnya. Menguatkan keberanian, dengan perlahan Aria menuju ke tombol telepon dan menyambungkan panggilan kepada Eldhar.

Suara dering telepon menambah kegugupan Aria. Ia berharap pemuda tersebut akan mengangkat teleponnya sehingga ia tidak lagi kalang kalut.

Panggilan terputus disebabkan pihak penerima tidak kunjung menerima telepon. Aria mengembuskan napas pelan. Ke mana dia pergi... Andre tidak tahu keberadaan sahabatnya, lantas harus pergi ke siapa lagi untuk menanyakan eksistensi pemuda itu?

Termenung di atas kasur, Aria beranjak keluar dari kamar.

“Ibu, aku keluar bentar, ya!” ucap Aria sebelum benar-benar meninggalkan rumah.

Aria berjalan-jalan sebentar menikmati udara sore di taman. Pemandangan flora yang berkilauan oleh sinar jingga keemasan memukau Aria. Bahkan jika ia tidak bisa bepergian, menyusuri taman ini saja cukup untuk menenangkan hatinya.

Mengembuskan napas perlahan, Aria mulai merasakan sedikit ketenangan usai bergelut dengan keresahan memikirkan pemuda bernama lengkap Eldhar Amuzaki tersebut. Ia ingin berpikir mungkin saja Eldhar sibuk dengan sesuatu sehingga tidak memiliki waktu memeriksa ponsel. Bila benar begitu, Aria merasa sungkan jika pergi ke kedai tempat Eldhar bekerja.

Mungkin sebaiknya menunggu dia membalas pesan ketimbang mengusiknya.

Meski begitu, kekhawatiran ini tak kunjung sirna dari sanubari Aria. Ia seperti ditusuk oleh ratusan bilah pisau. Belum pernah ia merasakan yang sebesar ini.

Kalau aja bisa ketemu dia sekarang....

Saat itu, Aria mengangkat kepalanya. Kedua matanya membulat tatkala melihat pemandangan di hadapannya. Tatapannya kaget sekaligus menahan tangis. Dengan cekatan ia berlari mendekat sembari berteriak.

“El!”

**

Aria dan Eldhar duduk di salah satu bangku taman yang terbuat dari kayu. Aria menemukan Eldhar dalam keadaan babak belur dengan wajah penuh oleh luka lebam. Semua luka tersebut tampak baru dan masih segar, seolah dia baru saja berkelahi di suatu tempat.

Dengan telaten Aria mengoleskan salep luka di wajah Eldhar. Melihat keadaan Eldhar tentu saja mengundang kegelisahan gadis itu. Ia bergegas pergi ke apotek membeli barang-barang yang diperlukan bahkan sebelum Eldhar bisa berbicara.

Hening masih menemani mereka berdua. Eldhar tidak mengatakan apa-apa, membiarkan gadis yang disukainya mengobati lukanya.

“Perasaan bilangnya gak akan tawuran lagi.”

Kalimat pertama Aria membuat sang jejaka membelalak. Perlahan tatapannya tertuju ke arah lain.

Oke, deh. Aku gak akan tawuran lagi. Biar Ria bisa liat muka aku yang bersih gak ada luka.

Kalimat yang pernah ia katakan kepada Aria mendadak muncul kembali di benaknya. Benar, dia pernah menjanjikan itu. Dia berjanji tidak akan tawuran dan menjaga wajahnya tetap bersih tanpa terluka.

Dia yang berjanji, dia juga yang mengingkari. Rasanya begitu sakit di ulu hati. Eldhar sangat menyesal membiarkan gadisnya khawatir kepadanya. Dia gagal sebagai pria yang menepati janji.

“Maaf.” Hanya satu kata itu yang dapat dikatakan Eldhar.

Selesai mengobati luka Eldhar, Aria terduduk diam di sebelahnya. Memandang pemuda tersebut, Aria dengan pelan berkata, “Jangan bikin aku khawatir lagi, El. Aku takut kamu kenapa-kenapa karena tawuran atau kebanyakan interaksi sama orang gak baik.”

“Aku mohon sama kamu.” Tangannya gemetar meraih kedua tangan Eldhar. Aria tampak ketakutan seolah ia akan kehilangan sesuatu. “Aku bener-bener takut kalau suatu saat bakal terjadi sesuatu ke kamu karena ini.”

Ucapan dari si gadis membuat hati Eldhar terenyuh. Ia merasakan denyutan sakit yang tak kunjung mereda.

“Maafin aku, Ria. Aku bener-bener minta maaf. Aku gagal tepatin janji. Aku gagal sebagai pria.”

Kedua tangannya terlepas, perlahan merengkuh pinggang Aria. Wajahnya ia benamkan di bahu Aria. “Aku janji, ini yang terakhir. Gak akan ada lagi tawuran atau hal buruk lainnya. Aku gak mau bikin kamu sedih lagi.”

[END] I Love You ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang