Bab 3

166 70 299
                                    

Bab 3

Aria mulai merasakan perubahan dalam kesehariannya. Semua karena kemunculan pemuda bernama Eldhar Amuzaki. Pemuda yang terkenal karena sering berbuat onar, baik di dalam maupun luar sekolah. Langganan ruangan BK untuk dimarahi dan dinasihati. Banyak rumor miring mengenai Eldhar seperti dia yang berkawan baik dengan para preman, dan lain-lain.

Namun, terlepas bagaimana pandangan warga sekolah mengenai Eldhar, Aria menyukainya.

Setiap harinya ketika akan berangkat sekolah, Aria akan melihat Eldhar duduk di barisan paling belakang. Awalnya Aria menghindar dengan tidak menghampiri pemuda itu. Meskipun pada akhirnya dia akan diseret atau Eldhar sendiri yang akan pindah posisi di dekatnya.

Kini, Aria lebih berani mendekat. Dia langsung menempati kursi di sebelah Eldhar kemudian mengajak mengobrol mengenai banyak hal. Pemuda yang biasa Aria lihat dari kejauhan, sekarang ada di dekatnya dan mengobrol bersamanya. Ini yang diimpikan Aria sejak ia menyukai Eldhar.

Namun, masih ada satu hal lagi yang mengganjal.

Aria menatap Eldhar dalam diam. Pemuda itu sedang memainkan ponsel. Kayaknya aku gak pernah liat El berangkat sekolah. Apa karena jam berangkat kita beda? Biasanya dia emang suka telat berangkat, sih. Sering kena hukuman gara-gara telat.

Memikirkan hal tersebut, kening Aria mengerut heran. Benarkah alasannya hanya karena itu?

“El itu setengah niat berangkat sekolah. Makanya telat terus.”

Di hadapan Aria duduk seorang pemuda sedang memamerkan keahliannya dalam bermain basket. Rambut hitam yang lurus sebahu dan ber-layer menjadi ciri khas Andre Gunawan di sekolah. Mengapa gaya rambut seperti Andre diperbolehkan di sekolah? Bukan diperbolehkan, hanya saja ketika ada razia rambut, Andre memiliki sejuta cara untuk melarikan diri dari kejaran gunting guru BK.

Mungkin karena selalu lolos dari razia rambut, guru BK menyerah menghadapi Andre.

Andre mengambil tempat duduk di sebelah Aria dan meletakkan bola basket di pangkuannya. “Cuman akhir-akhir ini dia jarang telat, deh. Bagus kalo dia udah kapok kena hukuman.”

“Oh, itu.” Sebelum ia melanjutkan kalimatnya, Aria melirik ke arah lain berpikir dahulu apakah hal ini bisa ia katakan kepada Andre atau tidak. Segera membuat keputusan, Aria menatap Andre. “Dia tiap hari berangkat sama aku.”

Kedua pasang mata saling bertatapan satu sama lain. Andre mengedipkan mata beberapa kali. Mendengar itu membuat keningnya berkedut. “Maksudnya? Jadi dia jarang telat sekarang karena berangkat sama lo?”

Aria mengangguk singkat sebagai jawaban.

Semakin kebingungan, tidak ada yang lebih membuatnya kosong pikiran dari kenyataan yang baru saja didengarnya. “Rumah lo daerah mana, deh?”

Bukan hanya Andre yang bingung, Aria awalnya hanya memberikan penjelasan juga ikut bingung. Dengan hati-hati ia memberitahukan alamat rumahnya. Mendengar itu, Andre tidak bisa menahan ekspresi kagetnya.

“Hah? Jadi lo mau bilang si El tiap pagi berangkat sekolah sama lo begitu?”

“Emang kenapa?” tanya Aria seraya membereskan kotak makannya. Dalam benaknya dipenuhi banyak pertanyaan sebab reaksi Andre.

Andre menggaruk kepala belakangnya masih mencerna perkataan Aria. “Rumah El sama rumah lo itu beda arah. Makanya gue bingung pas lo bilang tiap pagi kalian berangkat sekolah bareng.”

Suasana berubah sunyi dan canggung. Begitu pula dengan Aria memasang ekspresi kosong seolah otaknya berhenti berfungsi sementara.

Jam sekolah untuk hari ini telah berakhir. Sebagian besar murid sudah meninggalkan area sekolah untuk pulang ke rumah masing-masing, melepas rasa penat usai seharian menimba ilmu, termasuk Aria yang kini menunggu bus sekolah datang.

Dia tidak menunggu sendirian, berdiri Eldhar di sebelahnya.

Aria hendak mengatakan sesuatu, tetapi melihat Eldhar tenggelam dalam pikirannya dan tidak memerhatikannya membuatnya sedikit ketakutan untuk mengusik sedikit. Menatap malu-malu, Aria menemukan kerikil kecil di dekat sepatunya. Dengan pelan ia menendang kerikil tersebut hingga mengenai sepatu Eldhar.

Eldhar bangkit dari lamunannya. Ia menoleh menampilkan wajah tanpa ekspresi. Begitu ia bertatapan dengan Aria. Bibir tipisnya yang semula membentuk garis lurus segera berubah menjadi senyuman hangat dan lembut. “Kenapa, Ria?”

Serangan mendadak yang hampir meruntuhkan Aria. Ia dapat merasakan wajahnya sedikit memanas dan jantung yang berpacu cepat. Segera menenangkan hati, Aria berdeham ringan. “Itu, gimana kalo besok kamu gak perlu berangkat bareng sama aku tiap pagi?”

“Hmm?” Kedua alis Eldhar mengerut tidak suka.

Aria dengan sigap melambaikan kedua tangan di atas dada. “Jangan salah paham. Maksud aku, katanya rumah kamu beda arah sama aku. Agaknya bakal repot kalo kamu tiap pagi berangkat bareng aku terus gitu. Gak masalah, sih. Cuman takut kamu yang repot.”

Tidak ada tanggapan apa pun dari Eldhar. Aria refleks menundukkan kepala. Seluruh tubuhnya didominasi rasa takut. Takut akan kemarahan Eldhar karena tiba-tiba melarangnya. Cukup lama suasana hening mengelilingi mereka berdua. Aria tidak bisa mengangkat kepala. Dia terlalu takut untuk melakukan itu.

Aku bakal dipukul, kah? Ah, harusnya aku gak usah ngomong begitu. Aria memejamkan mata, merutuki perbuatannya barusan.

Saat Aria dilanda ketakutan dan kegelisahan, sebuah tangan mendarat di puncak kepala Aria. Terasa besar, hangat, dan sedikit kasar. Si empunya dengan lembut mengelus kepala Aria selayaknya sedang membelai rambut boneka.

“Kenapa nunduk terus, hm?”

“Hah? I-itu.” Aria melirik ke arah lain, enggan untuk menatap ke sisi Eldhar berdiri. “Aku takut kamu marah.”

Eldhar menyunggingkan senyum. Dengan sedikit paksaan ia menghadapkan wajah Aria kepadanya. Ditatap bola mata cokelat tua milik Aria yang berkilauan terpancar sinar mentari. Tatapan Eldhar semakin melembut. “Aku gak marah, kok,” ucapnya seraya menyelipkan helai rambut Aria ke belakang telinga.

Eldhar memosisikan dirinya agar sejajar dengan Aria. “Aku gak masalah. Aku jadi bisa bangun pagi dan berangkat sekolah bareng kamu. Terus juga karena sering berangkat pagi, aku gak kena hukuman gara-gara telat.”

“Aku untung besar jadinya, deh!” ujarnya kemudian memasang senyum lebar hingga memperlihatkan deretan gigi yang putih dan rapi. “Aku gak telat lagi terus bisa liat kamu setiap pagi. Serasa energi aku penuh buat sekolah.”

Tepat pada saat itu, bus sekolah berwarna kuning cerah telah menunjukkan diri.

“Oh, udah dateng busnya,” kata Eldhar. Dia terlalu fokus menunggu bus sampai di depan mereka hingga tak sadar bahwa Aria di sebelahnya berusaha sekuat tenaga menahan malu. Kedua kakinya terasa lemas seolah kehilangan kekuatannya untuk berdiri.

Tidak ada yang lebih membahagiakan selain crush mengatakan dia senang dan penuh energi ketika melihat kita.

[END] I Love You ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang