Bab 4

142 47 162
                                    

Bab 4

Aria duduk di kursinya, menggulir isi percakapannya dengan Eldhar. Kebanyakan isinya adalah pembicaraan mengenai hal di luar sekolah. Seperti apa yang biasa mereka lakukan ketika di hari libur, pengalaman liburan terakhir kali, dan lain-lain. Kebanyakan Eldhar memulai topik lebih dulu dan mengobrol panjang lebar supaya pembicaraan mereka terus mengalir dan tidak mati.

Ada saat Aria yang memulai topik kemudian diselingi sedikit rayuan oleh Eldhar.

Sebulan lebih berlalu semenjak kejadian pengakuan cinta mendadak tersebut. Aria masih tidak menyangka dia bisa menjalin hubungan dekat dengan crush, bahkan mengobrol dengannya setiap hari baik secara langsung maupun chat.

Aria memasang senyum tipis. Rasanya ia ingin menyimpan momen kesenangan ini selamanya. Oh, berbicara tentang Eldhar, dia belum melihat pemuda itu atau teman-temannya.

Tiba-tiba terdengar keributan. Beberapa siswa di kelas mencoba mengintip asal keributan tersebut melalui jendela. Aria mendengar nama Eldhar disebut. Dipenuhi rasa penasaran, Aria bangkit dari duduknya dan ikut mengintip dari jendela.

Terlihat gerombolan anak-anak yang paling dihindari hampir seluruh warga sekolah. Dipimpin oleh Eldhar di depan, tampilan mereka begitu berantakan. Banyak luka lebam dan memar di sekujur wajah mereka. Begitu pula dengan Eldhar sendiri. Walaupun hanya ada luka memar, tetap saja Aria bisa merasakan nyerinya.

Abis tawuran, ya ....

“Bagus!”

Teriakan guru olahraga menggelegar memenuhi lorong. Dengan posisi berdiri tegap dan kedua lengan dilipat di atas dada, guru olahraga menatap tajam kumpulan anak-anak yang baru saja kembali dari tawuran.

“Masih di jam sekolah dan pakai seragam udah tawuran. Bagus kalian, ya! Kumpul ke lapangan sekarang!” seru beliau seraya menunjuk ke arah jalan menuju lapangan dengan penggaris panjang yang biasa digunakan untuk di papan tulis.

Eldhar beserta teman-temannya dengan raut wajah kesal berbalik arah, bersiap menerima hukuman.

Setelah pemandangan mencolok itu pergi, mulai terdengar suara ribut dan bisik-bisik dari segala arah.

“Kok bisa sih mereka diterima di sini?”

“Nyogok kali, ya.”

“Si Eldhar itu juga gak keliatan pinter-pinter amat. Malah lebih sering berbuat onar, tuh.”

Terdengar jelas suara-suara bisikan mereka yang berbicara buruk tentang Eldhar. Aria menunduk menatap sepatunya. Ia tenggelam dalam pikirannya.

Saat jam pulang sekolah, seperti biasa Aria pulang bersama Eldhar. Namun, kali ini dia tidak langsung menunggu bus sekolah. Ia mengajak Eldhar ke suatu tempat.

Eldhar tidak mempermasalahkan ke mana Aria akan membawanya pergi. Yang membuatnya bahagia hingga kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya adalah saat ini tangannya digenggam erat dan ditarik oleh gadis berkepang tersebut.

Entah apakah Aria tidak sadar melakukannya atau hanya ingin mereka cepat sampai ke tempat tujuan, yang terpenting adalah Eldhar sangat bahagia.

Aria membawanya menuju sebuah apotek terdekat. Tanpa menyadari dia terus memegang tangan Eldhar, mereka memasuki apotek dan menelusuri rak. Aria mengambil perban besar dan salep luka.

“Ria sayang, nyaman banget gandengan sama aku,” bisik Eldhar lalu meniup pelan telinga Aria bermaksud menggodanya sedikit.

Refleks Aria menutupi telinganya yang memerah dan melihat tangan mereka berdua mengait satu sama lain. Raut wajah Aria berubah sedikit kemerahan dan panik. Sejak kapan dia menggenggam tangan Eldhar? Dia tidak menyadari karena terburu-buru pergi ke apotek.

Aria hendak melepaskan genggaman tangannya, tetapi ditahan oleh Eldhar. “Gandengan aja. Aku seneng gandengan gini.”

Jantung Aria berdetak seolah sedang dikejar sesuatu. Perlahan kepalanya merunduk bak bunga layu. Curang ....

Mereka mampir di taman dekat apotek. Eldhar memerhatikan Aria sedang menyiram handuk dengan air es yang baru saja dia beli dari warung terdekat. Memerasnya pelan, Aria mendekatkan handuk basah tersebut ke bagian luka di pipi Eldhar.

“Ditahan, ya.”

Bukan Eldhar jika dia tidak mengambil kesempatan untuk menjahili Aria. Mendapat ide, ia langsung dalam mode berakting. “Aw! Sakit!”

“Eh?” Aria yang tertipu mengompres pelan luka memar di pipi Eldhar. “Maaf, padahal aku udah pelan-pelan.”

Eldhar tersenyum lebar. “Gapapa. Aku suka yang kuat,” balasnya dengan nada bercanda hingga Aria menyadari dia sedang dijahili. Aria menekan kuat handuk dingin tersebut di luka Eldhar dan membuatnya memekik sakit.

“Aduh, aduh! Sakit!”

“Rasain! Makanya jangan jahil.”

“Kok gitu, Ria.”

Aria mengacuhkan Eldhar yang tengah merajuk sembari mengelus luka lebam di pipinya dengan telapak tangan. Aria mengoleskan salep luka kemudian memasangkan perban besar yang dia beli dari apotek tadi.

Melihat Eldhar sudah diobati, Aria mengembuskan napas lega. “Kamu ganteng begitu malah tawuran. Jadi sia-sia,” gumam Aria seraya membereskan barang-barang. Rupanya perkataannya tadi didengar oleh Eldhar. Pemuda itu sempat tercenung bodoh sebelum memasang senyum lebar.

“Tadi bilang apa?”

“Hah?”

“Kamu bilang aku ganteng.” Senyuman penuh kejahilan masih terpatri pada wajah Eldhar. Ia menaik-naikkan kedua alis dan semakin memperjelas kesan jahil dan nakalnya.

Aria mengerjapkan mata beberapa kali sebelum memalingkan wajah guna menyembunyikan pipinya yang memerah dan memanas. “Gak! Siapa yang bilang begitu? Kamu halu kali.”

“Enggak halu, ah.” Eldhar tertawa geli. “Oke, deh. Aku gak akan tawuran lagi. Biar Ria bisa liat muka aku yang bersih gak ada luka,” ujarnya lalu menyandarkan kepalanya di kepala Aria.

Kali ini giliran Aria yang merengut. Bibirnya mengerucut seperti ikan dengan raut wajah kesal. “Aku gak bilang begitu, dih .... “

Keesokannya, teman-teman Eldhar memandangnya keheranan. Sedari pagi pemuda itu terus memancarkan aura berbunga-bunga dan tersenyum seolah baru saja memenangkan lotre. Mereka ingin bertanya, tetapi tidak cukup keberanian hingga Andre datang dan melihat pemandangan aneh itu.

“Ngapa lo?”

“Hm? Hati gue berbunga-bunga karena Aria.”

Andre menaikkan kedua alis. Tidak heran jika Eldhar bisa tersenyum selebar ini jika bukan karena gadis yang disukainya. Namun, ada satu hal yang patut dipertanyakan kepada Eldhar.

“El, lo kok bisa suka Aria?”

Eldhar dan Andre saling bertatapan satu sama lain sebelum satu pihak mengalihkan pandangan dan menatap langit-langit ruang kelas. Eldhar memejamkan mata dan kembali pada kenangan setahun lalu.

Hari itu sedang cerah dan sedikit panas. Eldhar duduk di tepi lapangan sedang memeriksa lukanya yang dia dapatkan dari berkelahi dengan anak dari sekolah lain. Luka di tangannya begitu besar dan perih, begitu pula di bagian wajah.

Saat Eldhar ingin pergi ke kamar mandi membasuh lukanya, seseorang datang dan menyodorkan perban. Eldhar mengangkat kepala, ditatap seorang gadis berkacamata dengan rambut hitam dikepang tersebut.

“Buat di muka kamu,” katanya. Pelan-pelan Eldhar mengambil perban dari tangan gadis itu. Begitu perban telah berpindah tangan, si gadis dengan cepat berlari memasuki gedung sekolah. Eldhar hanya menatap kepergian gadis berambut hitam dikepang tersebut dalam diam.

[END] I Love You ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang