Sinta melihat jam yang ia pakai dilengan tangan kanannya. "Guys, saiki wis jam siji," celetuk Sinta memberitahu teman-temannya.
"Waduh! Cepat tenan waktune," sahut Maharani. Mereka menyantap sisa makanan yang masih ada setengah mangkuk, dan tergesa-gesa meminum satu cup es teh manis.
Sinta membayar semua makanan yang ia pesan untuk teman-temannya. "Ojo kalian sing bayar ... Biar aku saja," pinta Sinta. Ajeng dan yang lain tidak enak hati ketika tahu dirinya di traktir oleh Sinta. Kemudian Ajeng mengeluarkan sejumlah uang di dalam saku celananya lalu diberikannya kepada Sinta.
Tetapi Sinta menolak seraya berucap, "Simpan saja uangmu iku aku gelem membayar pesenan anggere kalian kebak karo aku." Ajeng dan temannya yang lain tersenyum menatap Sinta lalu memeluknya. "Ayo, saiki masuk ke ruang kelas," ajak Salindri. Mereka bersama-sama berjalan menuju ruang kelas.
Setelah sampai di dalam kelas, mereka duduk di kursi masing-masing. Tetapi dosen belum kunjung masuk ke dalam ruangan, Ajeng bersantai seorang diri dan melihat suasana di dalam ruangan. Sinta bersama Salindri menghampiri Ajeng, mereka berdua duduk di kursi yang berada di samping Ajeng.
"Sendirian saja," sapa Sinta. Ajeng menoleh ke samping. "Kenapa?" tanya Ajeng. Salindri menyahut, "Ndak apa-apa, cah ayu." Ajeng tersenyum malu ketika dirinya dilontarkan pujian cantik oleh Salindri. Sinta dan Salindri saling bertatap muka.
Ajeng bertanya kepada Sinta dan Salindri. "Ana sing di ceritake?" tanyanya. Sinta mengangguk lalu di susul oleh Salindri yang ikut mengangguk. Ajeng mempersilakan ke dua temannya untuk bercerita. Sinta masih penasaran dan belum puas mengenai tentang desa Sutarjo. "Jeng, aku arep takon sawetara pitakonan. Kepriye kahanane ing Desa Sutarjo? Apa desa ing tengah alas, utawa ing gunung, utawa ing segara? Aku isih penasaran karo desa kuwi," tanyanya.
Ajeng menjawab, "Desa iku letakne ing tengah alas." Sontak saja Sinta dan Salindri saling bertatapan. Mereka berdua terlihat sangat khawatir ketika mengetahui desa Sutarjo terletak di tengah hutan. "Kenapa wajahmu terlihat sangat khawatir?" tanya Ajeng penasaran. Sinta terdiam terpaku lalu Salindri memberikan jawaban, "Aku kuwatir tenan yen jika ana hewan galak ing tengah alas." Ajeng mengusap bahu ke dua temannya.
"Ing desa Sutarjo ora ana hewan galak nanging ngendikane ibuku sing nate nyeritakake kabeh babagan desa iku ... ing desa Sutarjo ana pengetan," ujarnya. Sinta dan Salindri sontak saja penasaran dengan tugu peringatan yang di katakan oleh Ajeng.
Suara langkah sepatu dosen terdengar sangat jelas, mereka yang berada di dalam ruangan langsung bergegas ke tempat duduk masing-masing dengan sikap yang sopan dan teratur. Seperti biasanya dosen memberikan penjelasan sebuah materi tentang pelajaran yang akan di bahas, mahasiswa beserta mahasiswi fokus pada materi yang diberikan oleh sang Dosen.
Ketika waktu sudah mulai sore, Ajeng melihat jam yang terpaku di dinding kelas. "Cepat tenan waktune," gumamnya dalam batin. "Apakah kalian sudah paham dan mengerti tentang materi yang saya sampaikan saat ini?" tanya Dosen sembari melihat jam yang ia pakai di tangannya. Di antara mereka menjawab, "Sudah." Dosen langsung berkata, "Inggih, kula bade mungkasi katrangan materi dinten punika saderengipun keluar dari ruangan kalian sedaya kedah tertib lan ojo ana sing berdesakan."
Dosen pun keluar dari ruangan, mahasiswa dan mahasiswi yang berada di dalam ruang kelas langsung merapihkan perlengkapan tulis kemudian mereka masukkan ke dalam tas masing-masing. Sinta dan temannya yang lain mengajak Ajeng pulang bersama.
"Jeng, mau ndak pulang bareng kita?" ucap Sinta menawarkan. Ajeng merespon, "Boleh." Ajeng langsung berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan keluar ruangan bersama teman-temannya menuju parkiran.
Setelah sampai di parkiran, Ajeng membuka jaket almamater yang ia pakai lalu melipatnya dan memasukkannya ke dalam jok motor. Tak lupa, Ajeng memakai helm yang dia bawa dari rumah. Ajeng berpamitan, "Guys, aku pulang. Jalan dulu, yok." Sinta, Salindri dan temannya yang lain serentak menjawab, "Monggo, hati-hati dijalan." Dalam perjalanan pulang, Ajeng mengendarai sepeda motornya sangat cepat.
Sesampainya di halaman depan rumah, Ajeng langsung memarkirkan sepeda motornya. Kemudian membuka jok motor untuk mengambil jaket almamater kampus.
"Assalamualaikum." Ajeng membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Tak ada satupun yang menjawab salamnya karena tidak ada orang yang ia lihat. Ajeng langsung duduk di sofa ruang tamu sesekali dia mengeluh celetuk, "Hari ini sangat melelahkan." Ajeng meletakkan begitu saja jaket almamater disampingnya lalu bersandar di sofa. Tiba-tiba saja Ibu menghampirinya.
"Sampeyan wis ngarep, Nak. Kapan mulihne?" tanya Ibu.
Ibu duduk di samping Ajeng yang sedang bersandar. "Eh, Ibu. Aku wis suwe mulih ana ing omah, Buk," respon Ajeng sambil duduk seperti biasanya dengan tatakrama disamping sang Ibu.
Ajeng merasa kelelahan, ia beristirahat. Tiba-tiba saja handphonenya berbunyi.
"Siapa yang telepon?" tanya Ibu. "Temanku, Buk," jawab Ajeng sembari menaruh kembali handphone diatas meja yang ada dihadapannya. "Kenapa tidak kamu angkat saja? Siapa tahu ada yang penting," tanya Ibunya lagi.
"Biarkan saja, Buk. Paling saja dia curhat tentang pacarnya biasalah anak muda," ucap Ajeng. Ibu tertawa ketika mendengar ucapan putrinya.
"Kapan kamu punya pacar? Masa teman-temanmu punya pacar sedangkan kamu tidak punya," ejek Ibu sembari mengajak putrinya bercanda. Ajeng berkata, "Sebenarnya banyak laki-laki yang menginginkan aku jadi pacarnya, Buk. Tapi tidak ada yang bisa cantol dihatiku saja maka dari itu aku lebih memilih tidak pacaran."
Ibu tersenyum sembari mengelus kepala Ajeng. "Kamu cerdas, pintar, kreatif, dan juga memiliki raut wajah yang cantik seperti orang-orang timur tengah pantas saja banyak laki-laki yang mau denganmu," ucap Ibu memberi pujian.
"Sudah, Buk, aku malu. Lagipula aku tidak suka jika dipuji seperti ini jadi biasa saja, Buk," pinta Ajeng.
"Memangnya salah jika Ibu memuji anak Ibu sendiri? Kamu berhak Ibu puji karena kamu darah daging Ibu," respon Ibu. Ajeng terharu ketika mendengar respon yang dilontarkan oleh Ibunya.
Handphone berbunyi kembali, Ibu menyuruh Ajeng agar menjawab panggilan telepon.
"Siapa yang telepon? Angkat saja," pinta Ibu. "Dari temanku, Buk," jawabnya.
Ajeng menjawab panggilan telepon, seperti biasa Wulan menghubungi Ajeng hanya karena ingin curhat tentang percintaannya. Sedangkan Ibu fokus melihat siaran televisi.
Setelah mengobrol cukup lama, telepon berakhir. Ajeng kembali menghampiri Ibunya lalu duduk bersama melihat siaran televisi.
"Bagaimana dengan temanmu itu?" tanya Ibu. "Biasalah, Buk. Tadi cuma bahas percintaan dia saja dan bahas tentang penempatan tugas untuk kuliah," jawab Ajeng.
"Penempatan kuliah?" tanya Ibu kebingungan. Ajeng menjelaskan, "Penempatan tugas untuk KKN, Buk. Kami sudah sepakat untuk mencari pedesaan yang sesuai dengan kebutuhan tugas kuliah secara berkelompok." Ibu tidak mengerti penjelasan dari putrinya, Ajeng.
KAMU SEDANG MEMBACA
MALAPETAKA (KUTUKAN) <masih berlanjut>
HorrorPantangan yang dilanggar oleh penduduk desa Sutarjo, menyebabkan desa itu sendiri menjadi sebuah kutukan bagi warga setempat. Sehingga untuk para pendatang dari kota yang hanya ingin sekedar berkunjung atau untuk menetap di desa Sutarjo tidak bisa p...