Dalam Perjalanan

16 12 2
                                    

Ajeng merasa begitu lega dan hatinya benar-benar tenang ketika diberi saran oleh sang Ayah, akan tetapi dia masih terbayang perkataan Ayahnya ketika mendengar desa terkutuk dari ucapannya.

"Opo maksudne desa terkutuk? Ning endi desa iku?" Ajeng bertanya-tanya dalam hatinya. Dia sangat penasaran dengan apa yang diucapkan oleh sang Ayah. Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari arah luar.

"Assalamualaikum," ucapnya memberi salam dari arah luar rumah. Ajeng berdiri dari tempat duduknya lalu bergegas membuka pintu.

"Waalaikumussalam," jawaban Ajeng. Ketika dirinya hendak menatap orang yang mengetuk pintu, ternyata teman-temannya yang datang menjemput dirinya. "Hei, Ajeng. Kowe wis rapih, toh?" tanya salah satu temannya untuk memastikan.

Ajeng langsung mempersilakan teman-temannya duduk di ruang tamu. "Kalian masuk saja," ajaknya. "Ojo lama-lama kita berangkatne," ujar Sinta yang berada di luar rumah Ajeng bersama temannya yang lain. "Ora, pamit dulu saja ke bapakku," saran Ajeng. Satu persatu teman-temannya melepas sepatu lalu masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan orangtua Ajeng yang sedang bersantai di ruang tamu.

"Pak, Buk, kami izin mengerjakan tugas kuliah bersama Ajeng. Soale kami menginap di salah satu desa yang akan kami kunjungi," pinta izin Pandawati yang mewakili untuk berbicara kepada orangtua Ajeng.

Bapak dan Ibu saling bertatapan serta menghela nafas. "Yowis, nanging ojo sembrono di desa iku. Kalian harus menjaga tatakrama lan mengikuti peraturan di sana ojo mencari masalah agar ora cilaka," pesan-pesan sang Ayah kepada Ajeng dan temannya.

Ibu celetuk memberikan saran, "Ojo ninggalake ibadah, kalian harus mendekatkan diri karo Gusti Allah." Sinta yang menotice ucapan orangtua Ajeng langsung bergumam dalam batinnya. "Lho, cilaka? Ana opo ing desa iku?" gumamnya bertanya-tanya. Sinta yang sedang berpikir dan melamun tiba-tiba saja Raka menghampirinya. "Hei...," sapa Raka sembari mencolek bahu Sinta.

Sinta sontak kaget dengan kemunculan Raka yang menyapanya secara tiba-tiba. "Opo, seh? Ojo nesu aku," bentaknya. Raka menjawab, "Sampurane, Sin. Kowe kenapa diam wae dari tadi? Kayakne kowe mikir babagan opo wae." Setelah meminta izin, orangtua Ajeng mengizinkannya.

Mereka semua satu persatu berpamitan kepada Ayah dan Ibunya Ajeng. "Yowes, Pak, Buk. Kami semua berangkat dulu," ucap Ajeng. "Monggo, hati-hati di jalan. Ojo lali maca donga," saran dari sang Ayah untuk mereka.

Ajeng membawa tas ranselnya, lalu berjalan menuju luar rumah bersama temannya yang lain. Mereka masing-masing memakai sepatunya kembali termasuk Ajeng. "Tas ranselku abot tenan," celetuk Salindri mengungkapkan keluh kesahnya. "Ora mung kowe ... Kita kabeh pada nggawa tas ransel sing abot karena sandangan sing digawa," respon Ajeng.

Selesai memakai sepatu, mereka berjalan kaki bersama menuju halte bus yang terletak di pinggir jalan. Jarak dari rumah Ajeng lumayan jauh dengan halte, mereka berjalan sembari mengobrol bersama.

"Kowe nggawa opo wae, Jeng?" tanya Sinta. Ajeng menjawab, "Aku nggawa perlengkapan akeh." Salindri bertanya, "Perlengkapan opo wae sing kowe gawa?" Ajeng kembali memberikan jawaban, "Akeh tenan. Perlengkapan mandi, pakaian, lan perlengkapan kanggo solat." Akhirnya mereka sampai di halte bus.

Baru saja mereka sampai di halte, datang bus yang berhenti di hadapan mereka. Pintu bus di bukakan oleh seorang kenek bus. "Monggo masuk," ucapnya mempersilakan. "Njih, Pak. Matursuwun," respon Ajeng. Mereka masuk ke dalam bus lalu duduk di kursi yang masih tersedia.

Ajeng bersama teman-temannya menempatkan tas ransel di tempat khusus penempatan barang yang berada di bagian atas. Setelah itu, mereka duduk di kursinya masing-masing. "Aku wis ora sabar pengin melihat panorama ing desa Sutarjo," celetuk Sulis. Ajeng tersenyum menatap temannya itu.

Ajeng duduk bersebelahan di samping Wulan. "Opo iseh adoh desa iku saka kota iki?" tanya Wulan ingin tahu. Ajeng memberikan jawaban dari pertanyaan Wulan. "Njih, jarakne iseh adoh saka kene," jawabnya. Ajeng duduk di kursi paling pojok sebelah kanan, di sampingnya terdapat jendela sehingga dia bisa melihat pemandangan luar.

Ajeng melihat pemandangan jalan yang terkadang macet penuh dengan kendaraan lain, melalui jendela bus. Dia melihat sembari bersandar pada kursi. Tiba-tiba saja ketika para penumpang merasa jenuh, seorang kenek bus menyalakan televisi dan AC yang tersedia di dalam bus.

Para penumpang termasuk Ajeng dan teman-temannya merasa terhibur dan hilang rasa jenuh yang mereka alami. Semua yang berada di dalam bus, bersantai sembari menonton televisi yang sudah di nyalakan oleh seorang kenek bus. "Untunge ana televisi sing ngancani para penumpang ing perjalanan supaya ora bosen ing bus," celetuk Wulan. Ajeng menyahut, "Njih, Lan. Kowe gawa makanan ora?" Ajeng bertanya.

Wulan menjawab, "Njih, aku wis gawa makanan nanging aku taruh di dalam tas ranselku." Ajeng mengeluarkan satu permen yang ia bawa dari dalam saku celananya, kemudian diberikannya kepada Wulan. "Buat kamu," ucap Ajeng memberikan satu permen kepada Wulan.

Wulan mengambil permen pemberian Ajeng seraya berucap, "Maturnuwun."

Dalam perjalanan, Ajeng melihat kembali pemandangan melalui jendela. Saat itu cuaca sangat panas sehingga cuaca dan cahaya matahari menembus masuk ke dalam jendela bus.

Tak hanya itu, mereka terjebak macet dalam perjalanan disertai polusi udara karena asap kendaraan. Bahkan Ajeng melihat fenomena sebuah tragedi kecelakaan beruntun di pinggir jalan raya. Kemacetan total disebabkan terhalangnya jalan karena ada sebuah insiden laka lalu lintas.

Ajeng melihat banyak mobil polisi dan ambulance secara bersamaan datang ke tempat kejadian, korban laka lalu lintas diberi pertolongan cepat dibawa masuk ke dalam mobil ambulance. Sedangkan kendaraan yang rusak total dibawa melalui mobil besar yang mengangkut kendaraan motor dan mobil.

Pandangan Ajeng notice dengan gelang tasbih yang ia pakai dilengannya, mengeluarkan cahaya disertai wangi yang sangat harum.

Cuaca tiba-tiba mendung, awan sangat hitam selang beberapa detik kemudian turun hujan deras. Keadaan masih macet total.

"Hawane adem tenan aku turu wae," gumamnya membatin. Ajeng tertidur pulas, sedangkan Salindri duduk disamping Ajeng melihat cuaca hujan dari jendela.

Kian lama menunggu selama tiga jam, perjalanan kembali netral dan kondusif akan tetapi ban belakang bus bocor sehingga sopir menepi dipinggir jalan lalu keluar cek keadaan ban bus.

Fajar celetuk, "Ada saja halangan dalam perjalan pasti ada sesuatu yang buruk di sana." Sanca menenangkan Fajar seraya berkata, "Ucapkan hal-hal yang baik ... Nanti akan datang hal-hal yang baik pula dalam hidup kita."

Fajar merespon, "Sakarepmu wae, San." Sanca melihat sekeliling ruangan yang ada didalam bus.

Beberapa orang membantu sopir untuk menyelesaikan ban bocor agar kembali seperti sediakala. 

"Untung saja banyak orang lain yang satu jurusan terminal bus bareng kita jadi sedikit lega jika sopirnya ada yang membantu," ujar Raka. 

MALAPETAKA (KUTUKAN) <masih berlanjut>Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang