Desa Sutarjo

17 12 3
                                    

Ajeng terbangun dari tidurnya. Ia bertanya kepada Wulan.
"Kita sudah sampai mana?" tanyanya. Wulan menjawab, "Tidak tahu tiba-tiba saja mendadak berhenti di sini."

Ajeng sedikit melantur. "Bukannya kita sudah sampai diterminal?" celetuk Ajeng dalam kondisi setengah energi.

Wulan sontak kaget dengan ucapan Ajeng dan beberapa orang lainnya yang duduk dibagian depan dan belakang ikut kaget ketika mendengar celetukan Ajeng.

"Ana opo, Jeng? Ucapan kowe lantur wae," tanya mereka.

"Coba kalian tengok ke arah jendela," jawab Ajeng.

"Kita masih ana ing jalan raya kemungkinan wae masih dibenarkan ban yang bocor," ujar Sinta. Ajeng menyahut, "Dari kapan berhentinya? Masih berapa lama lagi kita sampai diterminal? Aku sudah tak sabar ingin cepat-cepat sampai di pemukiman kakung lan mbahku."

Wulan menenangkan Ajeng. "Lebih baik kamu istirahat lagi saja ... Nanti juga selesai diperbaiki," saran Wulan.

Sekitar hampir satu jam menunggu, akhirnya orang-orang yang berada diluar masuk kembali ke dalam bus termasuk sopir bus yang langsung melanjutkan perjalanan.

Ajeng terbangun ketika bus berjalan normal kembali, ia langsung berdoa agar dirinya dan teman-temannya diberikan keselamatan sampai tujuan. Sedangkan ia melihat teman-temannya sedang tertidur pulas.

Sekitar lima jam perjalanan, bus terhenti disalah satu terminal khusus bus. Ajeng dengan sigap langsung membangunkan teman-temannya yang sedang tertidur bersandar di kursi. "Guys, kita wis sampai terminal," ucap Ajeng menepuk pelan bahu temannya satu persatu. Mereka serentak terbangun dari tidurnya, kemudian mengambil tas ransel masing-masing milik mereka.

Ajeng dan teman-temannya yang lain membayar biaya transportasi bus yang mereka tumpaki. Setelah keluar dari bus, Ajeng berdiskusi dengan beberapa temannya. "Kita wis sampe ing kotane, kalau desa Sutarjo letaknya mapan rada adoh saka kene kudu numpak angkutan umum kanggo mrana," ucap Ajeng memberikan saran kepada temannya.

Salindri menyahut, "Yowis, numpak angkutan umum wae sing iso nganterke kita ke desa Sutarjo." Mereka berjalan ke area depan yang jaraknya tak jauh dari pangkalan bus. Setelah menunggu lima menit dari sana, tiba-tiba saja angkutan umum berhenti di hadapan mereka lalu sang sopir memberikan tumpangan untuk Ajeng dan teman-temannya.

"Kalian pengin menyang ke tujuan mana?" tanya sopir angkutan umum. Ajeng menjawab, "desa Sutarjo." Sopir terdiam seakan terlihat begitu khawatir dan takut ketika mendengar jawaban Ajeng. Sopir menawarkan, "Desa iku saya tahu ... Mau saya antarkan ke sana?" Ajeng dan temannya yang lain saling bertatapan wajah satu sama lain lalu merespon jawaban dari sopir angkutan umum.

"Njih, Pak," responnya. Sopir mempersilakan Ajeng bersama temannya untuk masuk ke dalam angkot. Mereka duduk saling bersebelahan, Ajeng duduk di bagian paling belakang. Dia melihat ada satu penumpang yang sudah lanjut usia duduk saling berhadapan dengannya.

Kakek itu menatap Ajeng. Ketika melihat Ajeng, kakek tersebut merasa sangat ketakutan akan tetapi dia mengajak Ajeng sedikit berbicara. "Apakah sampeyan cicit dari kulawargo Suraji?" tanya kakek tua.

Ajeng sontak terkejut ketika mendengar pertanyaan yang di lontarkan oleh kakek misterius itu.

"Betul, Mbah. Memangnya Mbah iki sopo? Kenapa iso tahu tentang kulawargo saya?" tanya Ajeng kembali dengan penasaran.

Kakek itu menatap tajam ke arah Ajeng. Kemudian menyuruh sopir untuk berhenti.

"Berhenti," ucap kakek itu dengan nada yang begitu tegas. Sopir langsung berhenti, kemudian kakek tua itu turun dari angkutan umum lalu membayar tumpangan.

Raka yang berada duduk di samping sopir menatap kakek tua itu melalui jendela, kakek menatap kembali Raka dengan tatapan tajam. Setelah itu, Raka berbicara dengan sopir.

"Opo iseh adoh jarak desa Sutarjo?" tanya Raka kepada sopir. "Sedikit lagi saja kalian sudah sampai di tujuan," jawabnya. Mereka melewati hutan yang sangat banyak pepohonan tua berukuran besar bahkan suasana di desa itu masih asri dan alami akan tetapi nuansanya menyeramkan.

Sopir tiba-tiba berhenti kendaraannya di depan tugu desa. "Wis sampe," ucap sang sopir.

Ajeng dan temannya yang lain satu persatu turun keluar dari angkutan umum. Kini mereka melihat langsung suasana desa Sutarjo dari pandangan mata mereka sendiri. Di sana Raka membayar seluruh tumpangan teman-temannya kepada Sopir.

"Waduh, saya ora ana kembalian uang recehan," ujar sopir.

Raka menjawab, "Ndak usah kembalian, ambil saja seluruhnya, Pak." Sopir mengucapkan rasa syukur dan terimakasih kepada Raka. "Maturnuwun, Mas," ucap rasa syukur sopir.

Di sana Ajeng melihat tugu peringatan desa Sutarjo, bahkan sangat banyak peringatan yang tertulis di tugu tersebut.

Beberapa peringatan yang tertulis memakai bahasa jawa kuno di antaranya :
-Cah wadon ora oleh metu wayah wengi.
-Ojo oleh zina ing wilayah iki.
-Ojo ucap kasar lan kotor kudu taati peraturan desa iki.
-Ojo sembrono lan harus punya tatakrama kepada sesama.

Ajeng sensitif dengan hal-hal ghaib, dia merasakan hawa yang tidak beres di desa Sutarjo itu. "Guys, coba kalian maca tugu peringatan iki," ujar Ajeng kepada temannya. Sontak saja mereka penasaran dengan perkataan Ajeng lalu menghampirinya dan membaca tugu peringatan itu.

"Akeh peringatan tertulis ing tugu iku," ucap Fajar. Setelah itu, Ajeng bersama teman-temannya masuk dan menelusuri desa tersebut dengan membawa tas ranselnya.

"Saiki kita semua menginap ning endi?" tanya Pancawati. Salindri memberikan usulan, "Bagaimana jika kita menginap ing omah kakek lan nenekmu iku, Jeng. Boleh ndak?" Ajeng terdiam dan tak menjawab perkataan dari temannya.

Sinta memiliki gagasan ide mengenai tempat tinggal yang akan mereka tempati. "Lebih baik kita tanyakan saja warga setempat sing tinggal ing desa iki ... Sopo wae ana tempat tinggal kosong karo kita tempati," ujar Sinta.

Di antara mereka ada yang setuju dan ada yang tidak. Ajeng mendiskusikan bersama teman-temannya mengenai tempat tinggal.

"Katane kami tinggal di omah kakungmu? Di mana tempat tinggalnya? Kowe kudu tanggungjawab senajan keputusanmu iki," lontar Fajar.

Ajeng hampir lupa dengan ajakannya.

"Sampurane aku lali ... Kalian menginap ing omah mbahku wae," saran Ajeng. 

Fajar dan yang lain setuju dengan saran Ajeng. 

"Atur wae aku ikut," ujar Fajar.

Ajeng bersama-sama dengan kelompok temannya berjalan kaki menuju rumah kakek dan neneknya yang berada di pedalaman desa.

"Masih jauh perjalanannya?" celetuk Suci dengan suara terengah-engah.

Ajeng menghampiri Suci yang kelelahan, ia mengeluarkan air minum lalu diberikannya kepada Suci.

"Minumlah," pinta Ajeng. Suci meminum air pemberian Ajeng.

"Sekarang bagaimana? Apa sudah enak?" tanya Ajeng memastikan.

Suci menjawab, "Alhamdulillah sudah." Ajeng memberikan arahan dan saran kembali untuk Suci agar bisa mengatur nafas.

"Tolong gendong Suci, Jar," pinta Ajeng. Fajar sontak kaget dan bertanya, "Aku?"

"Aku minta tolongnya ke kamu," jawab Ajeng. Fajar membantu Suci kemudian menggendongnya sampai tujuan.

MALAPETAKA (KUTUKAN) <masih berlanjut>Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang