Ketika Fajar sedang diteror secara ghaib dia langsung berdoa meminta pertolongan kepada Tuhan versi agamanya, yakni hindu. Dia memakai jimat perlindungan yang dibawanya dari rumah, salah satu anggota keluarganya merupakan anggota pemuka agama hindu.
Baru saja dia mengucapkan doa kalimat demi kalimat, teror yang menimpa dirinya langsung berhenti. Fajar mengintip perlahan dari bilik selimut, lenyap suara ketukan pintu kamar.
Pada saat itu, tahun malam satu suro yang ke tujuh puluh satu. Kakek dan neneknya Ajeng membuat rencana agar cucunya selamat dari kutukan desa tersebut. Sedangkan Sinta dan Fajar mengetahui perihal menyeramkan yang mereka lihat dan mereka dengar tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sebelum malam suro tiba ... Kita akan membuat rencana terlebih dahulu agar ora kepepet waktune," saran kakek kepada istrinya.
Sang nenek setuju dengan saran yang diberikan oleh suaminya itu, diam-diam mereka mencari cara demi keselamatan cucunya.
Beralih pada Sulis yang berada di dalam kamarnya. Setelah dari kamar Ajeng, ia langsung merebahkan tubuhnya ke kasur dan beristirahat. Namun Sulis merasakan ada yang mengintai dirinya di dalam kamar, tetapi ia berusaha agar tidak menghiraukannya.
Ketika dirinya ingin beristirahat dan memejamkan mata, tiba-tiba saja kasur yang ia tempati langsung bergoyang dengan sendirinya.
Sontak saja Sulis kaget karena getaran kasur yang menyebabkan bergoyang pada tempat tidurnya.
"Ana opo iki? Kasurne geter dewe," gumamnya. Sulis langsung cek bagian bawah kasur.
Saat melihat kolong kasur, Sulis langsung ketakutan ketika melihat wanita dengan rupa wajah pucat dengan mulut menganga lebar sehingga terlihat gigi runcingnya.
"Aaaaaaa, tolonggg!" teriak Sulis.
Suara teriakannya terdengar seluruh ruangan hingga tuan rumah ikut kaget ketika mendengar suara teriakan seorang perempuan dari dalam kamar nomor empat.
Seluruh teman-temannya yang lain termasuk Ajeng ikut terkejut ketika mendengar suara teriakan. Ajeng serta teman-temannya yang lain keluar kamar, Ajeng melihat teman-temannya yang lain turut keluar dari kamarnya masing-masing.
Ajeng dan yang lain saling bertatap pandangan ketika mereka didepan pintu kamar dengan memberikan isyarat agar melihat kondisi kamar Sulis. Mereka beramai-ramai menelusuri suara yang mereka dengar.
Ketika ditelusuri, suara itu dari arah kamar nomor empat. Ajeng membuka pintu kamar Sulis untuk memastikan keadaan temannya itu.
Sulis meringkuk ketakutan, disertai keringat pada wajahnya. Ternyata teriakan yang mereka dengar merupakan suara Sulis.
Ajeng dan yang lain menghampiri Sulis lalu langsung memeluknya sekaligus menenangkan Sulis.
"Ana opo, Lis? Teriakanmu sangat kencang sampai terdengar oleh kami," tanya Ajeng memastikan.
Saat sedang ketakutan Sulis merespon lirih ketakutan, "Tadi aku lihat ada wajah dengan rupa yang sangat menyeramkan dikolong kasurku."
Raka yang berada dalam kamar Sulis bersama teman-temannya yang lain dia cek kolong bawah kasur tempat tidur yang ditunjuk oleh Sulis.
"Ora ana opo-opo," ucap Raka ketika sedang cek kolong tempat tidur.
Kemudian tuan rumah datang menghampiri mereka yang berkumpul didalam kamar Sulis.
"Ana opo, toh?" tanya perempuan paruh baya kepada mereka.
Ajeng menjawab, "Iki koncoku wedi katane ana dedemit ing kolong tempat tidurne." Nenek dan kakek saling bertatap wajah seakan-akan mereka mengetahui sosok tersebut.
"Tenangkan dirimu, Nduk. Dan tulung ambilkan air putih di dapur," pinta nenek kepada suaminya.
Kakek langsung bergegas ke dapur untuk mengambil segelas air putih karena permintaan istrinya. Setelah mengambil air putih, kakek bergegas kembali menghampiri istrinya yang berada dikamar nomor empat. Laki-laki paruh baya memberikan satu gelas air putih yang dibawanya, kemudian diberikan kepada Sulis.
Nenek mengusap-usap pundak Sulis sembari berkata, "Ojo dipikirke yo cah ayu." Sulis tidak menjawab perkataan nenek.
Nenek mengambil gelas lalu dibacakan mantra dan ditiupkan ke dalam air. "Tengguk air iki, cah ayu. Agar tenang atimu," saran sang Nenek memberikan segelas air kepada Sulis.
Sebelum minum Sulis tidak lupa membaca doa, kemudian langsung menengguk air putih itu sampai habis. "Alhamdulillah," ucap Sulis.
Sang tuan rumah paruh baya yang mendengarkan kalimat dilontarkan oleh Sulis, mereka berdua langsung merasa pusing dan mual-mual. Tanpa basa-basi mereka berdua bergegas pergi dari kamar Sulis dengan ketakutan.
Ajeng membatin. "Kenapa kakek dan nenekku pergi begitu saja? Seperti orang ketakutan ketika temanku mengucapkan nama Tuhan?" gumamnya bertanya-tanya.
Ajeng beralih menatap Sulis yang terlihat masih shock, Sulis merasakan keringat dingin disekujur tubuhnya. "Ojo wedi, Lis. Sesuk kita bakal nindakake tugas sinau kuliah lan gotong royong karo masyarakat ing desa iki," ujar Ajeng menasehati.
Sulis sesekali menghela nafas perlahan, Sinta dan Wulan mengusap ke dua bahu Sulis sembari menenangkan pikirannya.
Sinta tidak tega melihat Sulis kemudian dia bertanya, "Kowe iso lihat dedemit iku dari kapan?" Sulis menjawab, "Sebenare aku ndak iso lihat dedemit nanging baru kali iki aku lihat dedemit sing wajahne ajur."
Sinta yang merupakan seorang indigo ia bisa merasakan kehadiran sosok makhluk astral, di saat itu Pandawati mencoba menerawang Sulis hanya sekali sentuhan dan memegang bahunya saja. Pandangan Sinta menembus masuk kepada kejadian yang baru saja Sulis alami.
Kemudian Sinta melepaskan sentuhan dari bahu Sulis, ia merasa pusing yang tidak terlalu parah.
"Wis, ojo dipikirke. Tenang saja tidak ada apa-apa," ucapan Sinta menenangkan Sulis.
Sulis sedikit tenang, akan tetapi dia ingin di temani tidur oleh salah satu temannya. "Nanging aku ora pingin sendiri turune ing kamar iki," tutur Sulis.
Ajeng yang kebetulan juga tidak ingin sendiri dikamarnya ia berkata, "Wis sama aku wae, Lis. Kebetulan aku juga merasakan hal sing sama kanggo awakmu." Sulis sedikit tenang, ia tersenyum menatap Ajeng.
"Nanging ing kamar sopo turune?" tanya Sulis.
"Kamar aku wae," pinta Ajeng. Sulis berdiri lalu mengambil tas ranselnya yang belum ia buka.
"Aku pingin turu kanggo Ajeng wae," ucap Sulis.
Sinta berkata, "Yowis, ora opo-opo." Sulis membawa tas ranselnya, dan mereka menuntun Sulis berjalan ke kamar yang ditempati oleh Ajeng.
Sesampainya didalam kamar, Sulis duduk ditepi pinggir kasur. Ransel yang dibawa Sulis dirapihkan oleh Sinta seluruh perlengkapan yang ada.
"Aku bantu rapihkan perlengkapanmu," pinta Sinta.
Sulis mempersilakan Sinta merapihkan perlengkapannya. "Silakan wae ... maturnuwun," ucap Sulis berterimakasih kepada Sinta.
Ajeng notice kalung yang dipakai oleh Wulan.
"Itu kalung yang kamu pakai fungsinya untuk apa?" tanya Ajeng penasaran.
Wulan menjawab, "Ini kalung salib aku mendapatkannya dari romo ditempat ibadahku sebelum beranjak ke desa ini lalu langsung aku pakai."
Pandangan Ajeng beralih pada lengan kiri Sinta.
"Itu yang kamu pakai gelang apa, Sin?" tanya Ajeng kembali.
Sinta pun turut menjawab, "Gelang tridatu aku mendapatkannya ketika selesai ibadah di pura." Ajeng terdiam dan terus memerhatikan barang yang dipakai oleh Sinta dan Wulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MALAPETAKA (KUTUKAN) <masih berlanjut>
HorrorPantangan yang dilanggar oleh penduduk desa Sutarjo, menyebabkan desa itu sendiri menjadi sebuah kutukan bagi warga setempat. Sehingga untuk para pendatang dari kota yang hanya ingin sekedar berkunjung atau untuk menetap di desa Sutarjo tidak bisa p...