Gangguan Ghaib

14 9 2
                                    

Sinta merasa kasihan melihat raut wajah Ajeng, ia menemani Ajeng didalam kamar.

"Ojo wedi ana aku ning kene," ucap Sinta menenangkan Ajeng yang masih shock.

Ajeng dengan tubuh gemetar dirinya beranjak bangun dari tempat tidur, ia mengambil ransel lalu membukanya dan mengeluarkan seluruh perlengkapan yang ia bawa dari rumah.

Setelah semua perlengkapan untuk keperluan sehari-hari ia keluarkan, Ajeng kembali merapihkan pakaian dan perlengkapan solat yang ia bawa. Kemudian diletakkannya ke dalam sebuah lemari pakaian yang sudah tersedia di kamarnya.

"Dina iki aku capek tenan, sesuk aku ngelakokake tugas KKN kanggo ngabdi marang masyarakat sekitar," keluhnya.

Ajeng merasa lelah dengan perjalanan yang dia tempuh dari rumahnya hingga ke rumah kakek dan neneknya yang berada di desa tersebut.

Ajeng beristirahat sejenak dan ia pun langsung tertidur pulas. Sinta melihat Ajeng sudah tidur, ia bergegas pergi ke dalam kamarnya dan meninggalkan Ajeng yang sedang tidur.

Dalam tidurnya, Ajeng langsung bermimpi. Ia melihat sosok perempuan berdiri didepan pintu kamarnya dengan menghadap membelakanginya. Ia mengira bahwa perempuan itu masih gadis karena bentuk tubuhnya terlihat muda. Namun ketika perempuan itu menoleh ke arahnya, sontak saja Ajeng kaget ketika melihat kondisi perempuan yang ia lihat dengan bentuk rupa sangat menyeramkan bahkan berlumuran darah di sekujur tubuhnya.

Darah mengalir dari leher, kaki, tangannya dan terlihat jelas bekas sayatan dibagian leher. Perempuan itu melayang dengan cepat menghampiri Ajeng seraya berkata, "Roso dendamku iseh ana nganti saiki lan kowe kabeh ora bakal uwal saka amarahku." Ajeng tidak bisa berbicara serta seluruh badannya sangat kaku sehingga tidak bisa bergerak.

Ketika perempuan itu mendekatinya, Ajeng melihat dengan jelas wajah makhluk menyeramkan itu terlihat tua seperti wanita paruh baya.

Kemudian sosok itu mencekik leher Ajeng sangat kuat.

"Tolong, arrkhh." Seketika dirinya terbangun dari tidur.

"Lara tenan tenggorokanku. Hampir wae aku mokad." Ajeng memegang lehernya sehingga ia mengalami batuk berdahak. Dirinya teringat jelas sosok perempuan yang ada di dalam mimpinya itu, akan tetapi ia tidak tahu tentang dendam dan amarah yang sosok itu ucapkan kepada dirinya.

Ajeng tidak berani tidur kembali, ia hanya duduk terdiam ditempat tidur. Tak sampai di situ, Ajeng melihat lumuran darah mengalir berasal dari pedang milik kakeknya.

Sontak saja Ajeng ketakutan ketika darah itu semakin keluar banyak bercucuran saat itu juga ia langsung berteriak, "Ojo ganggu saya, ojo ganggu saya. Toloongg!"

Teriakan Ajeng terdengar oleh Sinta, Wulan, dan Sulis yang sudah berada di dalam kamarnya masing-masing. Mereka bertiga keluar dari kamar lalu masuk ke dalam kamar Ajeng. Sinta melihat Ajeng dalam kondisi duduk berlekuk ketakutan.

Sinta menghampiri dan langsung menenangkan Ajeng yang sedang mengalami ketakutan disusul oleh Sulis dan Wulan menghampiri.

"Ojo wedi ana kita ing kene," ucap Sulis menenangkan.

"Tadi ana darah ing samurai iku," ungkap Ajeng memberitahu. Kejadian menyeramkan yang ia alami membuat dirinya trauma.

"Wis, kowe tenang wae," ujar Sinta. Ajeng terdiam, ia masih shock dengan kejadian aneh yang dialaminya.

"Aku wedi turu sendirian ing kamar iki," rengek Ajeng masih trauma jika ia tidur seorang diri dikamarnya.

Sinta berusaha menenangkan Ajeng seraya mengatakan, "Wes, ojo wedi. Kowe perbanyak mengingat Gusti Allah wae ojo lali zikir, solat, lan maca Qur'an."

Ajeng baru tersadar bahwa ia membawa perlengkapan ibadah. Sehingga hati dan pikirannya sedikit tenang, berkali-kali ia menghela nafasnya karena masih ada rasa ketakutan dengan kejadian yang menimpa dirinya.

"Aku kuwatir diganggu lagi saiki aku ora iso turu, Sin," keluhan Ajeng.

Sulis menyahut, "Kowe zikir wae sebelum turu." Ajeng sedikit tenang dengan saran-saran yang diberikan oleh Sinta dan Sulis.

Ajeng langsung memeluk mereka berdua. "Maturnuwun, kalian koncoku sing paling apik," ucap Ajeng melontarkan pujian kepada Sinta, Wulan, dan Sulis.

Sinta menepis pujian kemudian berkata, "Yowis ... Aku, Sulis, Wulan menyang ing kamar. Kowe ojo lali zikir pakai gelang tasbih sing kowe pakai." Ajeng hanya menganggukan kepalanya saja tanpa menjawab perkataan Sinta.

Setelah Sulis, Sinta, dan Wulan pergi dari kamarnya ia lebih memilih berzikir sembari menggunakan tasbih yang ada dilengan kanannya. Ia sangat rileks dengan posisi duduknya ketika sedang berzikir.

Ketika gangguan datang kepada dirinya, Ajeng tetap fokus zikir mengingat Tuhan dan ia menghiraukan semua gangguan yang menghampirinya. Tiba-tiba saja dadanya terasa sangat sesak dan sakit, ketika ia mengusap bagian dada sembari membaca doa tidak berselang lama rasa sakit yang ia alami dalam sekejap langsung hilang seketika.

Ajeng sangat bersyukur seraya mengucapkan, "Alhamdulillah, dadaku wes pulih kembali." Ajeng langsung melanjutkan zikir kembali.

"Laillahaillah, Laillahaillah, Laillahaillah, Subhanallah, Walhamdulillah, Wallaillahaillah, Allahuakbar, Astagfirullahalazim, Allah, Allah, Allah, Allah."

Lantunan zikir yang diucapkan oleh Ajeng berulangkali.

Sedangkan kakek dan neneknya masih berada di ruang tamu. Mereka berdua mengobrol tentang kejadian desa Sutarjo di masalalu yang berkaitan dengan cucunya beserta teman-temannya yang menginap di rumah.

"Aku kuwatir kalau cucuku ndak selamet dari kutukan desa iki," ujar sang nenek.

"Kita harus berusaha menyelamatkan dia karena dialah yang akan mewarisi ilmu para leluhur," usul kakek merencanakan.

"Aku tidak ingin jika cucuku kena celaka," ucap nenek.

Tak sengaja, Sinta mendengar ucapan mereka berdua dari bilik tembok kamar. Sinta merasakan ada yang tidak beres mengenai ucapan laki-laki dan perempuan paruh baya yang ia dengar.

"Bagaimana caranya aku memberitahu Ajeng mengenai perihal ini? Atau nunggu waktu saja? Entahlah," gumam Sinta membatin. Sinta lebih memilih diam tak bersuara.

Nenek memikirkan keselamatan cucu tersayangnya. "Nanging opo iso konco-koncone selamet dari kutukan desa iki?" tanya nenek kepada suaminya.

"Wong sing selamet sing dekat kanggo Gusti Allah sing ana iman di dalam qolbune," jawabnya singkat.

Tradisi di desa Sutarjo sangat kental dengan budaya Jawa dan leluhur-leluhurnya. Bahkan setiap malam satu suro para warga setempat masih saja melakukan ritual untuk sesembahan para iblis agar kutukan di desa itu hilang. Dalam setiap malam suro selama seratus hari dalam setahun, mereka masih mempersembahkan ritual sesat yang bersekutu dengan iblis.

Ketika Fajar hendak keluar dari kamar, baru saja ia beranjak pergi keluar mencari udara segar. Dia langsung berbalik arah, tiba-tiba saja kakek dan nenek dari keluarga Ajeng berubah rupa menjadi monster iblis yang menyeramkan.

Fajar melihat dari bilik tembok yang tidak terlihat, sontak dirinya sangat kaget ketika melihat kejadian menyeramkan. Perlahan-lahan dengan cepat, Fajar kembali masuk ke dalam kamarnya lalu mengunci pintu.

Dia berdiri didekat pintu, tiba-tiba saja pintu kamar yang dia kunci ada yang mengetuk-ketuk. Ketukan pertama pelan, ketukan kedua lumayan kencang, sampai pada ketukan kelima sangat kencang sampai Fajar kewalahan dan beranjak ke kamarnya menyelimuti wajahnya dengan selimut.

MALAPETAKA (KUTUKAN) <masih berlanjut>Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang