Sehabis zikir, seperti biasa Ajeng tidak lupa berdoa. Sesudah melaksanakan ibadah, ia merapihkan kembali perlengkapan solat kemudian ia simpan dalam lemari.
Ajeng duduk ditepi pinggir kasur. Ia menghidupkan kembali kipas angin listrik di hadapannya. Ajeng sedang menikmati kenyamanan seorang diri di dalam kamarnya, tiba-tiba saja suara orang sedang mengaji terdengar sangat jelas dari masjid. Terbesit di dalam hatinya ingin membaca kitab suci Qur'an.
Ajeng langsung bergegas mengambil wudu di rumahnya. Selesai wudu, Ajeng mengganti pakaian dengan yang lebih tertutup dan tak lupa memakai kerudung. Saat itu dia langsung bergegas mengambil kitab suci Qur'an yang tersimpan dari dalam laci.
Ajeng melantunkan ayat demi ayat seorang diri didalam kamarnya, ia menghayati setiap bacaan-bacaannya.
Tiba-tiba saja terdengar suara azan kembali terdengar. Ajeng berhenti sejenak, ia melihat ke arah jam dinding.
"Lho? Sudah waktu isaa? Sangat cepat waktunya," gumam Ajeng.
Ajeng menyudahi mengaji, ia menaruh kitab suci dalam laci dengan keadaan rapih. Ajeng membuka penutup kepala, lalu beranjak mengambil wudu.
Sesudahnya ketika ia bergegas ke kamar, berpapasan dengan Ibu. Ajeng melihat Ibu sudah memakai mukena dan membawa sajadah.
"Sekarang kamu siap-siap hari ini kamu solat bareng Ibu di masjid," pinta Ibu.
Ajeng tergesa-gesa memakai kembali penutup kepala, kemudian membawa perlengkapan solat dari dalam lemarinya. Ia keluar kamar, lalu menghampiri Ibu yang sudah berada di depan rumah.
"Ayo kita berangkat," usul Ibu. Ajeng, Bapak, dan Ibunya bersama-sama berjalan pergi ke masjid.
Sesampainya disekitar halaman masjid, Ajeng menaati peraturan yang ada. Ia bergegas masuk ke dalam tempat solat khusus perempuan kemudian memakai perlengkapan solat yang ia bawa dari rumah.
Ajeng kaget, ketika melihat banyak para perempuan yang ikut solat berjamaah di masjid.
Selesai solat, Ajeng tak lupa melanjutkan ibadah lainnya. Saat orang-orang di sekitarnya beranjak pergi ketika selesai solat, namun Ajeng tetap berada di dalam masjid berdua bersama Ibunya.
Ia lanjut berzikir dan berdoa di masjid, Ajeng menggunakan jari jemarinya ketika berzikir. Ia membutuhkan waktu sejenak untuk melakukan ibadah lainnya.
Ketika selesai, Ajeng merapihkan perlengkapan solat kemudian ia rapihkan.
Tak lupa Ajeng memakai kembali kerudung yang ia pakai. "Alhamdulillah, wis tenang atiku," gumamnya. Setelah selesai, ia dan Ibunya bergegas beranjak pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Ajeng duduk beristirahat sejenak di sofa ruang tamu.
Ibu menghampiri putrinya yang sedang duduk disofa.
"Ibu sangat khawatir jika kamu pergi ke desa sutarjo," celetuknya.
Ajeng menatap Ibunya. "Opo sing sebenare kedadeyan ing Desa Sutarjo? Aku isih ora ngerti." Ajeng membatin penasaran.
Ia tak sabar untuk pergi ke desa Sutarjo bersama teman-temannya. Tiba-tiba saja Ajeng merasa kelelahan dan kantuk, ia langsung beranjak masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhnya di kasur lalu tertidur.
Waktu terus berjalan. Ketika sudah memasuki waktu subuh suara azan berkumandang, Ajeng sontak terbangun dari tidurnya. Ia terdiam sejenak untuk mengumpulkan energi.
Seperti biasanya, Ajeng langsung mengambil handuk kemudian bergegas mandi.
Sekitar hampir setengah jam, Ajeng selesai mandi. Dia berjalan menuju kamar lalu mengambil pakaian yang sudah tertata rapih di dalam lemari. Ajeng memakai pakaian sopan yang telah dia pilih, kemudian mengambil wudu terlebih dahulu.
Namun ketika selesai wudu, Ajeng memutuskan untuk melaksanakan ibadah solat di dalam kamar. Dia membuka tas ranselnya lalu mengeluarkan perlengkapan solat dan memakainya. Ajeng melaksanakan solat seorang diri di dalam kamar.
Selesai ibadah, Ajeng merapihkan kembali perlengkapan solat setelah itu dia masukkan ke dalam tas ranselnya. Ajeng membersihkan seluruh ruangan kamar, sebelum teman-temannya datang menjemput dia di rumah. Tiba-tiba saja tak sengaja Ibu membuka pintu kamar dan menyuruh putrinya sarapan terlebih dahulu.
"Mari, Nak. Sarapan terlebih dahulu supaya awakmu ndak lara," ajak sang Ibu menyuruh Ajeng untuk sarapan. Ajeng menjawab, "Sebentar, Buk." Selesai membersihkan ruang kamar, Ajeng langsung bergegas ke ruang makan. Dia melihat Ibunya yang sedang menyiapkan sarapan pagi di atas meja. "Monggo, duduk, Nak," ucap Ayah mempersilakan putrinya.
Ajeng tersenyum lalu duduk di kursi, dia mengambil lauk yang ada dan beberapa sendok nasi. "Kapan sampeyan menyang desa Sutarjo, Nak?" tanya Ibu. "Nanti, Buk. Soale aku nganteni koncoku teka ing omah," respon Ajeng sembari mengunyah sarapan.
Sang Ayah sontak saja kaget dan bingung. "Maksudne opo? Sampeyan pengin ngunjungi desa terkutuk iku?!" tanya Ayah dengan tegas. Ajeng terdiam dan berhenti menyantap sarapan. "Desa terkutuk?" ucapnya dengan bertanya-tanya. Ibu langsung berkata, "Suttt ... Ojo asal ngomong opo wae." Ibu memberikan sebuah isyarat kepada suaminya agar tidak berbicara apapun tentang desa Sutarjo.
Ayah langsung diam dan tidak berkata apa-apa, ia hanya menatap putrinya yang sedang terdiam pula. "Sampeyan iku mikirin opo?" tanyanya. Ajeng dengan nada pelan menjawab, "Ora, wis lupakan wae." Ibu sedikit murka dengan ucapan Ajeng yang di anggap kurang sopan kepada Ayahnya. "Ojo ngomong kayak ngono karo bapakmu dewe," teguran Ibu kepada Ajeng.
Ajeng tidak mengatakan apapun ketika dirinya mendapatkan teguran dari sang Ibu. Dia langsung melanjutkan sarapan bersama ke dua orangtuanya.
Selesai sarapan, Ajeng meletakkan piring kotor di sebuah wastafel lalu membersihkannya. Setelah itu dia bersiap-siap berdandan rapih dengan mengenakan kerudung panjang. Ketika sudah rapih, Ajeng membawa tas ransel yang berukuran besar beserta perlengkapan alat tulis. Dia bergegas ke ruang tamu lalu duduk bersantai di sofa menunggu temannya datang menjemput.
Tak lama setelah itu, sang Ayah datang menghampiri Ajeng. "Nak, kok arep sampeyan pengin menyang desa Sutarjo? Ana opo toh, Nak?" Ayah bertanya-tanya kepada Ajeng.
Ajeng menghela nafas seraya berkata, "Sampurane, Pak. Aku menyang ing desa Sutarjo karena ana tugas kuliah." Sang Ayah tersenyum menatap ke arahnya lalu memberikan saran, "Yowis, nanging sampeyan kudu ndeleng tugu peringatan sing ana di sana lan ora ngelanggar aturan. Ojo ninggalake ibadah lan nyedaki Gusti Allah."
Ajeng menuruti perintah bapaknya, ia merasa sangat senang jika sang bapak memperbolehkan dirinya untuk melaksanakan tugas KKN. Berbeda dengan Ibu yang kurang setuju jika putrinya pergi ke daerah rawan dengan malapetaka.
Ibu menghampiri suami dan putrinya di ruang tamu. "Opo ora iso ing kene wae ojo jauh-jauh," pinta Ibu terlihat khawatir. "Ora iso, Buk. Soale iki kudu jauh dari pemukiman sini," jawab Ajeng.
Ibu tampak cemas seraya berkata, "Desa sutarjo iku sangat bahaya, Nak. Malapetaka di sana belum tuntas maka dari itu bapak ibumu ini pindah ke sini karena tidak mau terkena kutukan." Bapak memberikan isyarat kepada Ibu agar tidak banyak berbicara.
"Kutukan opo, Buk?" tanya Ajeng memastikan. "Ibumu salah ucap, Nak. Tidak usah di pikirkan jika kamu ingin melaksanakan tugas di sana jangan lupa beribadah dan pakai gelang tasbih ini semoga Tuhan senantiasa melindungimu," harapan Bapak sembari memberikan gelang tasbih untuk putrinya.
"Gelang tasbih iki terbuat dari opo, Pak? Wangine harum tenan," tanya Ajeng.
"Gelang iku terbuat dari kayu gaharu karena entitas jahat sangat takut dengan keberadaan kayu gaharu sehingga mereka tidak mengganggu manusia memakai minyak wangi ataupun gelang dan cincin dari kayu gaharu," jawab Bapak menjelaskan.
Ajeng langsung memakai gelang tasbih dipergelangan tangan kanannya. Ia merasakan hawa sejuk ketika memakai gelang pemberian bapaknya.
"Gelang ini tidak biasa, Pak. Tubuhku terasa ringan bahkan hawa yang aku rasakan juga tidak biasa," ungkap Ajeng.
Bapak tersenyum melihat Ajeng seraya memberikan kembali pesan, "Jangan lupakan nasihat bapak yang tadi dan gelang ini pakailah untuk kamu berzikir sebagai benteng penjagaan dirimu agar terhindar dari musibah yang ingin mencelakaimu intinya jangan disalahgunakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
MALAPETAKA (KUTUKAN) <masih berlanjut>
HorreurPantangan yang dilanggar oleh penduduk desa Sutarjo, menyebabkan desa itu sendiri menjadi sebuah kutukan bagi warga setempat. Sehingga untuk para pendatang dari kota yang hanya ingin sekedar berkunjung atau untuk menetap di desa Sutarjo tidak bisa p...