Kamar Tujuh

7 3 0
                                    

Ajeng mengusap bahu Sulis. "Wis tenang ae, iku suara Pandawati sing kaget. Positif thinking saja," ucapnya. "Benarkah?" tanya Sulis memastikan. Ajeng tersenyum menatap Sulis lalu menjawab, "Maybe, uwis ojo dipikirke wae."

Sulis merasa sedikit tenang, mereka berdua lanjut beristirahat dan tidak menghiraukan lampu padam di kamarnya. Ajeng dan Sulis sudah sangat kantuk, sehingga dalam keadaan gelap pun mereka tidak ada masalah untuk melanjutkan tidur.

Sedangkan Sinta dan Wulan sudah pasrah dengan keadaan yang semakin mencekam itu, akan tetapi Sinta masih tetap tidak percaya dengan adanya hantu. Sinta berkata, "Lan, kamu tunggu dulu di sini." Dengan kondisi ketakutan Wulan bertanya, "Kamu mau ke mana? Lama ndak?" Sinta menjawab, "Mau ambil senter di dalam lemari sebentar saja." Sinta membuka lemari dan meraba-raba.

Ketika Sinta sedang berdiri, ada yang memegang ke dua kakinya. Sinta memainkan kakinya untuk menghindari segala gangguan, ia bersikap santai dan tenang agar temannya tidak semakin parno ketakutan. Wulan menunggu Sinta di tempat tidur sekaligus bersandar dan memegang selimut, dia sangat ketakutan. Sesekali Wulan menoleh ke arah samping kanan dan kiri.

"Wis ketemu ora?" tanya Wulan. Sinta yang berusaha mencoba meraba kembali, akhirnya ia menemukan senter. "Wis, ana," sahut Sinta. Sinta menyalakan senter miliknya, kemudian menyoroti bagian ruang kamar lalu meletakkannya di atas laci dekat darinya. "Ayo, turu," usul Sinta. Wulan dan Sinta kembali tertidur dan beristirahat.

Beralih pada Fajar dan ke tiga temannya yang lain. Suara gedoran pintu berkali-kali tiada henti, saat itu Sanca memberikan saran kepada teman-temannya. "Berdoa sesuai dengan percayaan masing-masing," saran Sanca.

Mereka semua berdoa, seketika suara gedoran langsung terhenti. Raka menarik nafas panjang karena dirinya sudah lega dari gangguan tersebut. Namun, tak lama kemudian terdengar kembali suara gedoran dari luar pintu.

Terdengar sebuah bisikan kepada Fajar. "Lepas kalung yang kamu pakai dan gunakan untuk berzikir setelah itu lemparkan kalungnya tepat di depan pintu," bisikan ghaib terdengar di kepala Fajar.

Fajar langsung mengikuti arahan dari bisikan misterius itu, dia melepaskan kalungnya kemudian berzikir lalu setelah itu langsung dia lempar ke arah depan pintu. Di luar pintu, sosok perempuan itu terjungkal lalu menghilang dalam sekejap.

Suara gedoran pintu langsung menghilang, dan listrik rumah hidup kembali. "Alhamdulillah, lega poll," celetuk Sanca. Mereka berempat langsung mengobrol kembali dan melanjutkan bersantai dengan menikmati sebatang rokok kembali.

Kakek dan nenek sedang melakukan ritual sesembahan di tempat rahasia letaknya di kamar nomor tujuh, mereka berdua menghidangkan sesajen di hadapan mayat seorang wanita yang sudah menjadi bangkai busuk dan tidak berbentuk duduk di atas kursi.

Seketika kakek dan nenek terpental dari sesembahannya. "Ana opo iki? Opo sing sebenare terjadi?" Kakek bertanya-tanya penasaran.

Nenek bertanya balik. "Opo amarga ana lantunan zikir sing nyebut nama Tuhan?" tanyanya kembali. "Kekuatanne sangat bedo tenan sampai aku mental seperti Iki? Ulah sopo sebenare Iki? Berani tenan melu-melu urusan kita!" tegas nenek murka. "Sepertine ana sing lagi zikir," celetuk Kakek. "Kurang ajar!" geram sang Nenek.

Tiba-tiba saja mereka berdua di datangi oleh sosok makhluk astral yang berwujud seorang perempuan. "Kurang ajar! Kalian berdua sudah membuat saya hampir celaka!" murka sosok itu. Kakek dan Nenek langsung duduk bersimpuh serta ke dua tangan mereka ke atas sembari memohon maaf.

"Aaaarrgghhhhh," teriakan yang sangat menyeramkan dari sosok itu.

"Berhenti!" bentak sang Kakek. Makhluk astral itu menatap Kakek lalu berhenti berteriak, kemudian sosok tersebut menghilang dari hadapan mereka berdua. "Sepertine sosok Taka murka tenan," ujar Nenek. "Yowis, ndak usah dipikirke," usul Kakek.

Kakek dan Nenek langsung keluar dari kamar nomor tujuh, kemudian mereka berdua berjalan menuju ruang tamu. "Sesuk uwis malam satu suro," celetuk Kakek. Saat itu Nenek langsung bertanya, "Benarkah?" Kakek memberikan isyarat dengan menganggukkan kepala.

"Ritual sesembahan ing desa iki kudu wongatus wengi supaya kutukan desa iki hilang," ucap Kakek. Nenek terdiam sejenak dan dia mencari akal untuk memburu gadis remaja pada malam hari. "Gadis remaja sing datang ing kene buanyak poll dari kota karo tugas kuliah," ujar Nenek.

"Kita buru saja ... Gimana menurutmu?" tanya Kakek memberikan saran. "Yowis, atur saja," jawabnya. Kakek dan Nenek mencari cara untuk menangkap gadis remaja yang akan di jadikan sesembahan para iblis untuk malam satu suro mendatang.

Waktu semakin lama semakin cepat, Ajeng terbangun dari tidurnya dan dia melihat jam yang menempel di dinding kamarnya. "Lho, sudah jam lima pagi saja," celetuknya. Ajeng langsung membangunkan Sulis yang masih terlelap tidur. "Lis, bangun, ayo mandi," ujar Ajeng memanggil sembari menggoyangkan bahu Sulis.

Sulis tanpa sadar bertanya, "Sudah jam berapa?" Ajeng menjawab, "Jam lima pagi sekalian kita solat subuh dulu." Sulis terbangun dari tidurnya lalu langsung mengambil handuk. Mereka berdua bergegas ke kamar mandi. "Aku dulu atau kamu dulu?" tutur Ajeng. "Kamu dulu saja nanti aku tunggu di depan pintu," jawab Sulis. Ajeng mandi terlebih dahulu,  sedangkan Sulis menunggunya di depan pintu kamar mandi.

MALAPETAKA (KUTUKAN) <masih berlanjut>Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang