Kisah Lampau

82 25 8
                                    

Sekitar tahun seribu sembilan ratusan, ada sebuah penduduk desa yang sangat makmur. Di desa tersebut cukup terbilang sukses dalam pengelolaan bahan pangan pokok bahkan hewan ternak yang dipelihara oleh para peternak menjadi berkembangbiak dan sehat.

Namun siapa sangka, mereka telah bersekutu dengan para jin yang berwujud iblis. Mereka melakukan perjanjian pada malam satu suro yang bertepatan pada malam ganjil, untuk menumbalkan gadis remaja yang tak sengaja berkeliaran di malam itu.

Ketika malam satu suro telah tiba, para penduduk desa bersiap-siap melakukan ritual. Mereka membawa sesajen, menyan, dan berbagai bunga kembang tujuh rupa. Tak hanya itu, sebagian dari mereka mengasah senjata tajam berupa pisau dan clurit bahkan senjata tajam tradisional lainnya.

"Bengi iki wayahe kita mburu wong remaja wadon supaya dipasrahake dening para jin supaya bisa mangan daging lan uga bisa ngombe getih seger saka dheweke." Para warga yang di sana hanya tersenyum dan sangat semangat untuk mengasah benda tajam yang akan mereka lakukan.

Pada saat itu para penduduk desa sudah tidak sabar untuk melakukan ritual pemujaan, mereka menyiapkan seluruhnya dengan senang hati dan sangat bahagia. Canda serta tawa menghiasi wajah para warga.

Namun, ketika awan sudah mulai hitam pekat dan bulan purnama datang menghampiri dengan warna yang bercorak merah kekuningan. Para warga langsung melihat kondisi cuaca pada saat itu, semua warga sudah membuat jebakan di setiap perlintasan jalan untuk menangkap gadis remaja.

Mereka bersembunyi di tempat persembunyian dan ada pula yang bersembunyi dibilik pohon. Tiba-tiba saja ada seorang wanita yang terlihat masih gadis berjalan seorang diri.

"Sudah saatnya kita lakukan."

Ketika wanita itu berjalan, dalam waktu singkat ia terperangkap dan terjebak di dalam sebuah jebakan. Kepala wanita tersebut langsung ditutupi pakai sarung beras oleh para warga, kemudian dililitkannya leher wanita itu memakai tali. Tak hanya itu, para warga juga mengikat ke dua tangan dan ke dua kaki wanita tersebut.

Salah satu warga yang pada saat itu, berkumpul di tengah hutan dekat dari wilayah pemukiman rumah mereka. Wanita yang mereka sekap, di bawa dan di ikat di sebuah pohon dengan posisi berdiri. Semua warga membaca mantra dan duduk menyembah, salah satu di antara mereka membawa pedang. Warga yang membawa pedang langsung mengitari wanita itu di sertai nyanyian bahasa jawa yang terdapat bacaan mantra.

"Remaja prawan katon seneng, ing wayah wengi kang sepi lan ayem nggawa berkah ing desa kanthi getih kang isih suci. Wahai para dedemit, aku menehi prawan iki kanggo sampeyan lan menehi kita kamulyan lan kamakmuran."

Ketika sebagian dari mereka mengelilingi wanita itu sebanyak tujuh kali, tiba-tiba saja salah satu warga yang memegang pedang tersebut langsung menebas kepala si wanita yang mereka ikat dibilik pohon. Kepala itu terjatuh menggelinding, sedangkan lehernya mengucurkan darah. Tidak sampai di situ, mereka membelah dua badan si wanita yang masih terikat dipohon.

Salah satu warga yang mengambil kepala si wanita langsung membuka tutup sarung beras, betapa terkejutnya mereka ketika mengetahui sosok wanita yang mereka bunuh. Wanita itu terlihat sudah tampak tua, hanya saja postur tubuhnya seperti gadis remaja.

"Sial! Kita wis nggawe kesalahan," celetuknya. Mereka semua yang mengetahui hal itu langsung khawatir dan panik, suasana menjadi sangat tegang. Tiba-tiba saja ada asap berwarna merah yang datang di hadapan mereka seraya mengatakan, "Sampeyan kabeh wis main-main karo aku! Desa iki bakal dadi kutukan lan bila kanggo kowe kabeh lan sapa wae sing teka lan manggon ing desa iki bakal ngalami nasib jelek lan mati!" Para penduduk desa langsung ketakutan.

Di antara mereka ada yang langsung pergi meninggalkan desa tersebut bersama keluarganya tanpa membawa barang-barang. Dan sebagian warga dari penduduk setempat ingin tetap tinggal didesa itu.

Kian hari setiap waktu para penduduk desa Sutarjo mengalami berbagai macam bencana dan musibah. Anak-anak mereka terlahir cacat, dan ada yang bunuh diri karena tidak kuat hidup bergelimang malapetaka.

Saling membunuh dan bunuh diri sudah menjadi hal lumrah di desa Sutarjo, wabah penyakit bermunculan sehingga banyak hewan ternak yang mati. Bahkan banyak jasad manusia yang bertebaran disetiap jalan. Sebagian warga tidak berani membantu menguburkan jasad-jasad yang tergeletak disudut jalan.

Mereka khawatir tertular penyakit aneh dari tubuh jasad tersebut. Warga di sana hanya melihat dari kejauhan, tidak berani mendekat.

Berbulan-bulan para warga Sutarjo tidak berani keluar rumah, sebelum jasad warga yang sudah mati menjadi tengkorak, mereka menunggu kian lamanya demi keselamatan nyawa agar tidak tertular penyakit.

Bau busuk menyebar disetiap rumah-rumah warga yang lain, terdengar suara gemuruh petir sangat kencang dari langit disertai turun hujan lebat.

Angin kencang menyelimuti penduduk desa Sutarjo, sebagian sisa-sisa tubuh pada jasad warga yang mati terhempas menimbun atap-atap rumah para warga. Mereka tak kuasa mencium aroma busuk, sampai ada yang pingsan karena tidak kuat menahan aroma busuk bangkai.

"Kita harus bertahan didesa ini ... Biarkan anak kita bersama suaminya pergi dari desa ini agar cucu kita selamat," lirih seorang istri kepada suaminya sambil menggenggam tangan erat-erat dengan berlinang air mata.

Tak hanya sampai disitu, malapetaka yang diterima oleh penduduk Sutarjo tak kunjung usai. Bencana setiap waktu datang berlanjut silih berganti, hewan ternak semua mati. Gandum-gandum dan tumbuh-tumbuhan ikut mati sehingga tidak ada makanan yang layak untuk di makan.

Para penduduk Sutarjo yang masih bertahan, ia merebus rerumputan dan daun kemangi untuk dimakan agar mereka bisa bertahan hidup.

Bencana tidak kunjung berakhir, gunung yang berada didekat pemukiman tiba-tiba saja erupsi dan meletus tanpa aba-aba.

Penduduk Sutarjo menyelamatkan diri ke tempat yang sangat aman sehingga tidak bisa terjangkau oleh bencana alam, akan tetapi sangat berbahaya karena banyaknya binatang buas.

Para warga bertahan hidup dengan cara membunuhi binatang-binatang buas, kemudian dimasak dan disantap bersama-sama. Mereka tidak lagi memperdulikan beracun atau tidak, yang mereka pikirkan selamat dari kelaparan yang tidak ada habisnya.

Air sungai kotor menjadi minuman yang mereka konsumsi setiap harinya. Saat alam sudah kondusif, mereka berbondong-bondong kembali ke pemukiman tempat tinggal masing-masing.

Bau busuk bangkai sudah tidak tercium lagi, hanya saja rumah-rumah yang mereka tempati sudah tertimbun abu vulkanik. Warga Sutarjo beramai-ramai gotong royong saling membantu membenahi tempat tinggal mereka.

Pemukiman yang sudah berantakan, bahkan terdapat sisa-sisa tengkorak manusia yang tergeletak begitu saja dipinggir jalan. Mereka mengambil sisa-sisa tengkorak, kemudian dikumpulkan menjadi satu untuk dikubur.

MALAPETAKA (KUTUKAN) <masih berlanjut>Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang