Selesai menghitung kue yang akan diantar, aku mendengar ponselku berdering. Jarang sekali pelangganku menelepon. Mereka seringnya mengirim pesan. Pasti yang meneleponku adalah keluarga atau Nic.
Aku tersenyum tipis melihat nama Nic sebagai peneleponku pagi ini. "Halo," sapaku.
"Lin, udah bangun?"
"Udah, dong."
Aku duduk di tepi ranjang. "Apa kabar, Nic? Terakhir kita ketemu udah mau dua minggu yang lalu. Gue masih segan chat lo duluan."
Terdengar Nic meloloskan tawa kecil. "Gue baik."
"Syukur, deh. Ada apa nelepon gue jam segini? Lo pernah telepon gue pagi-pagi buat ngabarin kalo lo sakit. Trauma gue."
Lagi-lagi Nic terkekeh di ujung sana. "Enggak," erangnya.
"Gue mau ke gym. Temenin, yuk," pinta Nic kemudian.
"Sekarang?"
"Iya," jawab Nic.
"Mendadak banget."
"Nggak juga. Gue emang ke gym tiap Senin sama Kamis."
Aku mengembuskan napas. "Ngajaknya yang mendadak," keluhku, dengan nada kesal.
Sebenarnya aku justru senang mendengar suara Nic di pagi hari.
"Tiba-tiba pengen ditemenin. Gue jemput, ya?"
Aku memberengut dan teringat sesuatu. "Pantesan terakhir jalan, lo maksa beliin gue running shoes."
Nic tertawa kecil. "Pokoknya jadwal kita Senin sama Kamis. Gue urus keanggotaan lo di gym."
"Iya, Daddy. Gue siap-siap dulu."
"Kalo gue nyampe, lo kudu keluar kosan. Nggak mau nunggu gue."
Aku berdecak. "Iya, bawel, ih."
"Oke, gue jalan dulu."
"Paling masih di kasur lo."
Aku mendengar sayup-sayup suara mesin mobil. "Sialan lo, Nic! Gue belum mandi!" teriakku, lantas mendengar tawa keras Nic.
Menaruh ponsel di ranjang—bahkan belum memutuskan panggilan telepon, aku segera masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku memang bangun pukul lima pagi. Namun, aku justru mengurus pesanan kue yang akan diantar pukul sepuluh pagi.
Pria biasanya rela menunggu kekasihnya. Namun, aku sadar bahwa diriku hanya seseorang yang Nic bayar untuk menjadi pacar pura-pura. Nic nggak pernah bersedia menungguku.
Aku nggak lupa bagaimana Nic yang nggak sabar menungguku saat di salon kecantikan. Padahal, aku berdandan untuk pria itu. Selesai mandi, aku mengenakan setelan pakaian olahraga milikku. Aku nggak sempat membeli yang baru.
Setelah memastikan kompor mati dan semua lampu dimatikan, aku keluar rumah sewaan. Sudah ada mobil Nic di sana. Mendengar ponselku berdering, aku berlari ke arah mobil Nic dan segera masuk. Benar saja, Nic sedang menempelkan ponsel di telinganya. Pasti pria itu yang meneleponku.
"Gue siap. Ayo," ajakku, sedikit terengah-engah karena bergerak cepat dan berlari.
"Lo warming up duluan?" tanya Nic, seraya menyimpan ponsel di saku celana.
Aku melirik Nic dengan sinis. "Lo yang buru-buruin gue. Mana gue ngos-ngosan gini kalo disuruh lari."
Tawa Nic nggak ditahan. "Udah paling bener lo nge-gym sama gue. Biar lo bugar."
Mendengus, aku memasang sabuk pengaman dan mengabaikan ucapan Nic. Sudahlah, nggak perlu menanggapi Nic. Hemat energi untuk di gym nanti.
Sekitar tiga puluh menit perjalanan kami ke pusat kebugaran. Sudah aku duga, tempat pilihan Nic tentunya bukan pusat kebugaran biasa. Fasilitas lengkap dan tempat yang cukup nyaman memang cocok dengan gaya hidup Nic.
Aku ingin didampingi personal trainer saja karena nggak mau mengganggu Nic. Namun, aku nggak berani menyampaikannya karena seolah menuntut fasilitas istimewa. Padahal aku nggak berhak meminta apa pun dari Nic.
Akan tetapi, Nic rupanya sudah menyiapkan segalanya. Selain urusan keanggotaan, dia juga sudah menyewa personal trainer untukku. Dia mengerti jika aku belum pernah menginjakkan kaki di pusat kebugaran dan mungkin khawatir aku akan risi.
Masih dalam satu ruangan, kami sudah berlatih selama empat puluh menit. Kami saling melempar senyum ketika pandangan kami beradu. Aku beberapa kali menatap tubuh sempurna Nic. Aku lemah bukan karena lelah akibat latihan, tetapi Nic sungguh menawan.
Pada saat aku menggunakan row machine, pria yang menjadi pelatihku pamit ke sisi lain ruangan karena mendapat telepon. Nggak jauh dari tempatku berlatih, ada dua pria yang juga sedang menggunakan alat-alat kebugaran.
Sosok pria pertama membicarakan pengguna lain di ruangan ini dengan temannya. Memang suaranya nggak keras, tetapi aku mampu mendengar percakapan mereka karena ruangan itu nggak ramai. Aku berusaha acuh tak acuh ketika menangkap obrolan dua pria itu tentang laki-laki lain.
Namun, aku menghentikan aktivitas ketika salah satu pria itu membicarakan Nic. Aku yakin yang mereka maksud adalah Nic karena dia satu-satunya sosok yang memakai singlet hitam. Dua pria itu mengenakan kaus putih dan biru.
Keberanianku muncul ketika salah satu pria itu memutuskan untuk mendekati Nic. Sontak aku meninggalkan row machine dan mencegat pria itu. Aku memberikan senyum lebarnya.
"Eh, sorry, nih. Aku baru latihan. Bisa ajarin pake alat yang itu, Mas?" pintaku, seraya menunjuk lat pulldown machine.
Pria itu sedikit bingung karena aku mencegatnya. Akan tetapi, dia mengangguk dan mengikutiku ke alat yang dimaksud. Dia menjelaskan bagaimana cara menggunakan alat tersebut dan manfaat yang diperoleh dari latihan.
"Tangan kamu di sini," tuntun pria itu, meletakkan posisi tanganku yang kurang tepat.
"Oh, oke," jawabku, mulai menarik alat itu.
"Rileks di bahu," ujar pria itu, seraya menyentuh bahu kiriku.
Ketika wajah mereka begitu dekat, aku sengaja mendekatkan bibir ke telinganya. "Cowok yang lo omongin itu punya gue. Mundur lo," ancamku, dengan nada lembut.
Sontak pria itu mundur untuk menatap wajahku. Ekspresi wajahnya terkejut juga bingung. Sebaliknya, aku justru tersenyum lebar seraya menggunakan alat. Sekalian saja aku memperlihatkan raut wajah menggoda sebagai sindiran.
Perlahan pria itu mundur dan meninggalkanku. "Oke, sorry."
"Thanks, ya," balasku, dengan nada centil.
Jaman sekarang nggak hanya melindungi pria dari wanita, tetapi juga menjaga pria dari para pria.
***
REPOST: 24/5/24
Sekadar mengingatkan, di KaryaKarsa cerita "lovestruck" sudah ending, ya.
7/9/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovestruck
ChickLitToo old to be a sugarbaby? I don't care! I need that money. -Lintang Prasasti- Is she the one? Whatever! I'll make her mine. -Ravenico Hafrizal- Lintang Prasasti diminta menjadi pacar pura-pura untuk Ravenico Hafrizal. Namun ketika cinta sudah bicar...