Take It Wrong

683 118 16
                                    

Sampai indekos, aku mengecek ponsel. Ada pesan dari Satria. Dia mengatakan akan menemuiku.

Satria adalah satu-satunya adik kandungku. Pria yang telah menikah, tetapi belum sepenuhnya mandiri secara finansial. Beberapa kali Satria meminjam uang padaku dan jarang mengembalikan.

Aku segan menagihnya karena dia mengatakan uang itu digunakan bersama—dalam artian untuk keperluan orangtuaku. Satria dan istrinya tinggal bersama kedua orangtuaku. Semestinya Satria lebih berhemat atau berusaha lebih keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, karena orangtuaku sudah meringankan bebannya dengan mengizinkan adikku tinggal bersama mereka.

Mungkin memang kebutuhan Satria banyak dan penghasilannya sedikit. Jika aku ada uang, aku selalu membantunya. Ini semata-mata demi orangtuaku.

Selain pesan dari Satria, aku menerima panggilan tak terjawab dari Nic. Sepertinya aku harus menelpon cowok itu. Aku nggak mau Nic khawatir.

"Hi, Baby."

"Halo, Daddy. Sorry, tadi hape di tas. Nggak kedengeran lo nelepon. Ada apa gerangan?"

"Jalan, yuk. Kangen."

Aku tersenyum lebar. Hanya mendengar suaranya, aku sudah salah tingkah. "Kapan?"

"Malem ini."

Gawat! Satria akan datang dan aku nggak mau Nic melihat adikku. Aku sangat paham keperluan Satria datang ke sini. Nggak akan aku biarkan Nic tahu tentang masalah keluargaku.

"Tapi gue masih di kantor." Aku terpaksa berbohong untuk mengulur waktu.

"Bukannya lo jam lima pulang?" Nic curiga!

"Ya, dapet banyak, nih, pelunasannya. Jadi, agak lama laporan ke admin. Jam delapanan aja gimana? Gue janji, lo jemput, udah beres dandan gue."

"Okay, my pretty baby. Gue samper jam delapan malem."

Sukurlah! Nic percaya. "Sip. Udahan dulu, ya."

Aku segera keluar rumah sewaan karena mendengar suara motor berhenti.

"Kak, susah amat, sih, disamperin," protes Satria.

"Aku kerja, tau," balasku, lantas terkekeh. "Ini aja baru pulang. Sini, masuk, Sa."

Aku masuk rumah lebih dulu dan Satria mengikutiku. "Mau minum?"

"Nggak usah. Aku abis dari rumah temen dan minum juga. Kembung."

Aku tertawa lagi.

"Maaf, banget, deh, Kak. Aku minjem uang lagi. Dian masuk rumah sakit kemarin. Gajian ini aku bayar lunas sama uang yang kemarin."

"Ya, aku pinjemin, Sa. Tapi, tolong banget, jangan biasakan kayak gini. Dian tanggung jawab kamu. Udah seharusnya kamu siap sama kondisi nggak diduga kayak gini."

Satria mengangguk patuh. "Ya, Kak. Makasih banget, Kakak udah bantu aku."

"Lintang!"

Suara itu membuatku juga Satria terkejut. Aku melihat ke arah Nic yang tiba-tiba masuk. Mengapa dia tahu jika aku sudah pulang?

"Nic," ucapku. Nggak tahu harus bereakasi bagaimana.

"Ngapain lo sama cowok ini di dalem rumah?"

Tiba-tiba Nic meraih kerah Satria dan siap memukulnya. Sontak aku mendekati Nic dan menghalangi pria itu.

"Jangan, Nic. Dengerin gue!" bentak Lintang. "Dia Satria, adik gue. Adik kandung gue."

Nic terdiam. Akan tetapi, amarah itu masih terlihat jelas di sorot matanya.

LovestruckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang