Aku seperti akan pingsan ketika Nic memarkirkan mobil di depan rumah pria itu. Tubuhku terasa lemah, tapi di sisi lain aku marah.
"Apa-apaan, sih?! Lo pikir nggak bahaya, nyetir kenceng sambil emosi? Jelek banget sumpah sifat lo! Egois. Nggak mikir gimana khawatirnya orangtua atau gue, kalo terjadi sesuatu sama diri lo."
Nic menoleh ke arahku setelah mesin mobil dimatikan. "Nggak usah sok peduli."
"Gue emang peduli! Lo aja yang nggak tau diri. Dipeduliin malah kayak gitu," ungkapku, masih emosi.
"Kalo lo peduli, lo nggak akan bohongin gue berulang kali!" teriak Nic.
Beraninya Nic berteriak padaku. "Justru gue peduli, Nic. Makanya, nggak semua hal gue bagi!"
"Shut up!"
"Lo yang diem. Dari tadi lo teriakin gue mulu," balasku.
Napasku sudah sesak. Pria di sisiku ini sungguh membuatku sangat jengkel. Sementara Nic jelas masih marah. Dia lebih dulu keluar mobil dan membuka pintu penumpang. Setelah aku melepas sabuk pengaman, pria itu menyeretku keluar mobil dan masuk rumah.
"Lepasin, Nic. Kenapa lo bawa gue ke sini? Gue mau pulang," tegasku, seraya menarik tangan yang digenggam Nic.
"Nggak! Gue nggak akan biarin lo balik ke sana lagi."
Maksudnya apa? "Jangan gila, ya. Nggak ada perjanjiannya lo milikin gue kayak gini. Lepasin, nggak?!"
Dia nggak mau mendengar dan terus menarikku masuk kamar tidurnya. Nic melepaskan tanganku hanya untuk menghempas tubuhku hingga aku jatuh di atas ranjang besar. Dia berjalan ke salah satu lemari dan mengambil berkas dari sana.
Pria itu menunjukkan surat perjanjian yang kami sepakati dulu. Perlahan aku berdiri. Masih menatap Nic, aku nggak tahu harus berkata apa.
"Lo lupa, gue minta lo untuk nggak berhubungan dengan laki-laki mana pun selain gue? Lo sanggupin itu. Tapi lo jalan bareng temen kerja lo di belakang gue!"
"Masih aja diungkit! Heran," balasku.
"Gue mau lo jujur, cerita apa pun ke gue, karena gue berhak atas lo dalam hubungan ini. Lagi-lagi lo terus nutupin masalah lo. Lo anggep gue apa?!"
"Karena itu masalah keluarga gue, Nic. Hubungan kita sebatas perjanjian. Nggak lebih dari itu."
Tanpa aba-aba, Nic merobek surat perjanjian itu. Mataku melebar. Aku mengerti sifatnya ketika marah seperti ini. Semuanya sudah berakhir. Baiklah, jika itu mau Nic.
"Oh, udah bosen sama permainan lo sendiri? Gue juga udah capek ngadepin lo. It's over now."
Aku hendak pergi, tetapi Nic menarik lenganku. Tangan kiri Nic memeluk erat pinggangku. Sedangkan tangan Nic yang bebas, menangkup pipiku. Wajahnya semakin mendekat hingga aku nggak lagi memberontak.
"Lo cuma milik gue, Lintang. Nggak akan ada orang lain yang boleh nyentuh lo selain gue!"
Aku bener-bener nggak paham kemauan Nic.
"Bahkan sejak awal kita ketemu, gue nggak akan ngelepasin lo."
Aku berusaha melepaskan diri, tetapi Nic lebih kuat untuk menahanku.
"Gue bisa aja ganti rugi sore itu. Tapi gue ajak lo masuk dan obatin luka lo."
Aku kembali merasakan kecurigaan itu. Dia mengobatiku hingga memintaku menemaninya ke pesta. Aneh. Namun, aku lebih aneh karena menurutinya.
"Lo tau ini bukan soal kue. Gue bawa lo ke depan orangtua gue. Perjanjian itu mengingkat kita. Gue nggak mau kehilangan lo. Gue sayang sama lo."
Nic nggak lagi memelukku, tetapi kedua tangannya menangkup pipi kanan dan kiriku. Hal gila apa lagi yang akan Nic lakukan padaku sekarang? Apa pun yang pria itu lakukan, nyatanya selama ini aku yang nggak bisa menolaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovestruck
ChickLitToo old to be a sugarbaby? I don't care! I need that money. -Lintang Prasasti- Is she the one? Whatever! I'll make her mine. -Ravenico Hafrizal- Lintang Prasasti diminta menjadi pacar pura-pura untuk Ravenico Hafrizal. Namun ketika cinta sudah bicar...