Argue

512 111 5
                                    

Aku segera menjauh dari Nic dan pergi ke arah Bima. Terpaksa aku kembali berbohong.

"Maaf, Pak. Aku harus ke Bandung sekarang. Itu pacar aku nyusulin. Katanya, nenek kritis."

"Semoga nenek kamu lekas sembuh, Lin. Bilangin pacar kamu, jangan ngebut-ngebut. Yang sabar, ya, Lintang."

"Ya, Pak, makasih," balasku. Maafkan aku, Pak Bima.

Nic menarik tanganku begitu aku mendekatinya. Dia menyeretku hingga tempat parkir. Sebelum masuk mobil, Nic menerima telepon.

"Halo?"

Setelah mendengar ucapan si penelepon, Nic berujar, "Saya ke bandara sekarang aja. Jemput saya di rumah setengah jam lagi."

Nic memutuskan sambungan telepon dan menyimpan ponselnya di saku. Dia membuka pintu mobil dan melepaskan tanganku yang sejak tadi dipegangnya.

"Masuk," perintahnya, dengan nada dingin.

Tanganku sakit. Namun, aku tetap bungkam karena Nic terlihat masih emosi. Di tengah perjalanan, aku menyadari sesuatu.

"Kita mau ke mana? Ke tempat lo?"

Nic diam.

"Terus barang-barang gue?" tanyaku lagi. "Lo pergi sendiri, 'kan, malam ini?"

"Sama lo."

Aku masih bingung apa maksudnya. Nic menjawab singkat, artinya dia masih marah. Aku diamkan saja.

Di rumah Nic, aku duduk di ruang tamu dan Nic masuk kamar. Beberapa saat kemudian, Nic keluar dan membawa koper. Kami keluar rumah dan kebetulan, pegawai Nic sampai.

Dia menerima koper Nic dan bertanya, "Mau ke mana dulu ini, Pak?"

"Bandara," jawab Nic.

"Pesawatnya berangkat jam sepuluh malem. Masih ada waktu," terangnya.

"Bandara?" ulangku. "Terus tas gue gimana?"

Nic diam, sedangkan aku yang emosi. "Nic, aku nanya."

"Nggak usah banyak nanya. Ikut gue ke bandara."

"Loh, masa gue ikut tapi nggak bawa apa-apa? Gimana, sih? Lo ke bandara aja dulu. Gue ambil tas di rumah."

"Mau ketemu siapa lagi lo?!" bentaknya.

"Gue bilang mau ambil tas, bukan ketemu siapa pun!" balasku. Nic benar-benar keterlaluan.

"Lo minta gue pergi malam ini. Ya, gue bawa tas, dong."

"Nggak usah," bantahnya.

"Ngaco banget, deh."

Nic mendekat dan menarik tangan kiriku. "Setelah apa yang udah lo lakuin, lo pikir gue bakal biarin lo pergi?"

"Nic, nggak usah berlebihan, deh. Lo takut gue kabur dari lo? Nggak. Sebagai cewek yang udah lo BAYAR, gue bakal ngelakuin semua yang lo minta," sindirku.

Dia benar-benar membuatku jengkel.

Nic mengeratkan pegangannya pada tanganku. Aku meringis karena merasa sakit. Apa-apaan pria ini?!

"Sakit, Nic," protesku.

Nggak peduli, Nic melangkah keluar rumahnya sambil menyeretku. Dia melepaskan pegangannya ketika aku masuk mobil. Di dalam mobil, aku yang masih kesal duduk menjauhi pria itu. Tangan kananku mengusap pergelangan tangan kiri yang sakit karena remasan Nic.

"Saya besok aja ke sananya, ya, Pak?" tanya Imran, seraya menyetir mobil.

"Ya. Seperti rencana awal aja."

LovestruckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang