A Little Attention

565 108 2
                                    


Bagiku, menjadi sugar baby bukanlah pekerjaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagiku, menjadi sugar baby bukanlah pekerjaan. Aku nggak berharap banyak dalam hubungan ini walau secara finansial, aku banyak diuntungkan. Berjualan kue juga bukan passion-ku. Aku harus mencari pekerjaan tetap. Beruntung, aku mendapat panggilan kerja!

Sayangnya, Nic sangat sibuk. Padahal aku ingin membagi berita baik ini. Setelah membuat pesanan kue, aku memutuskan untuk mandi. Tubuh yang segar akan membuatku bersemangat mencari sarapan.

Namun sebelum aku masuk kamar mandi, pintu rumahku diketuk. Seingatku, pesanan kue harus diantar jam sepuluh. Ini masih jam delapan pagi. Mungkinkah orang itu menginginkan pesanan selesai lebih awal?

Aku buru-buru membuka pintu. Seorang pria membawa bungkusan di tangannya. Dia juga memakai seragam ojek daring.

"Bu Lintang, ya?"

"Ya," jawabku, ragu-ragu.

"Pesanannya, Bu. Dari Pak Ravenico."

Aku mengangguk dan menerima pesanan itu. Setelah kurir pergi, aku masuk rumah dan memeriksa isi kantung plastik itu. Senyumku terbit setelah melihat banyak makanan di dalamnya. Mulai dari nasi goreng, ayam tumis, pangsit kuah, salad buah, bahkan ada dua gelas minuman. Jus dan teh panas.

Tawaku lolos dan mengambil ponsel. Saat aku akan mengetik pesan, Nic lebih dulu menelepon. Nic. aku kangen banget!

"Halo?" sapaku, masih tersenyum.

"Halo, Lin. Udah dimakan?"

Kerjain, ah. "Apanya?"

"Gue kirim makanan buat lo."

Nic polos sekali, sih? Aku sampai sakit perut menahan tawa.

"Tadi kata kurirnya udah terkirim. Lo belum terima? Bentar, gue telepon orangnya."

"Udah, Nic."

"Yang bener?"

"Bener, Yang," ucapku.

Nic terdengar mendengus. Aku terbahak.

"Seneng banget lo bikin gue bingung."

"Nggak gitu, Sayang. Lagian tumben banget lo ngirim gue makanan. Kebetulan, sih, gue belum sarapan."

"Udah bener, dong, gue."

"He em," gumamku, menyeruput teh hangat dari gelas kertas.

"Semalem gue ketiduran. Jadi, makanan itu ...."

"Sebagai permintaan maaf? Gue maafin," potongku.

"Ah, gue jadi makin pengin ketemu, 'kan?"

"Ayo."

"Gue bakalan sibuk, Lin, seharian ini. Tapi, gue ada kabar gembira."

"Gue juga. Ngomong-ngomong, teh yang lo kasih enak banget. Harum, deh," jelasku, sambil kembali menikmati minuman manis itu.

"Teh? Gue nggak ngirim teh."

Eh, yang bener? Aku hampir tersedak. Jika bukan dari Nic, teh ini dari siapa? Aku sudah meminumnya!

"Seriusan, Nic. Ini bukan dari lo?"

Ada jeda sebelum cowok itu tertawa di ujung telepon. Dasar Nic! Jail banget.

"Panik, ya?"

"Kebiasaan banget lo, Nic, bikin emosi orang pagi-pagi."

Tawa Nic semakin keras di ujung sana. "Dari gue, lah. Siapa lagi? Pacar lo?"

"Bukan gitu. Gue cuma ati-ati aja nerima makanan dari orang nggak dikenal," balasku. Cowok menjengkelkan!

"Lo ngerjain gue duluan."

Ya, juga, sih.

"Oh, ya, sampe lupa mau ngomong sesuatu."

"Nggak mau. Gue duluan," paksaku. Ladies first.

"Lah?"

"Gue mau bilang dari semalem tapi lo nggak nelepon gue."

"Oke."

Amarahku menguap ketika mengingat berita baik yang akan kusampaikan. "Gue diterima kerja mulai Senin."

"Kerja?"

"He em. Seminggu yang lalu, gue ajuin lamaran untuk posisi marketing di perusahaan makanan olahan. Jumat, gue interviu dan siangnya malah ditelepon disuruh berangkat Senin nanti. Gue mau teriak."

"Kenapa?"

"Ya, seneng, lah."

Nic terkekeh. "Congrats, Baby. Kenapa nggak bilang dari kemarin? Gue bisa kirim makanan lebih banyak lagi."

Berdecak, aku menyindir, "Siapa, ya, yang sibuk mulu dari kemarin?"

Lagi-lagi pria itu tertawa. "Gue mesti beresin banyak hal karena Jumat depan mesti ke Jepang."

"Jepang? Kerjaan atau liburan?" tanyaku Lintang, seraya mulai menyantap nasi goreng.

"Both."

"Kok, bisa?"

"Karena kerjaan gue Jumat, Lin. Gue pikir sekalian aja gue weekend di sana."

Aku mengangguk pelan.

"Bareng lo nanti."

Apa?! Aku sukses tersedak. Batuk kecil sangat mengganggu. Aku minum untuk meredakannya.

"Lo nggak apa-apa?"

Aku tak memedulikan pertanyaan Nic. Untuk apa aku ikut ke Jepang?

"Gue ngapain?"

"Liburan bareng gue, lah. Segala pake nanya."

Nic lupa atau bagaimana? "Gue, kan, kerja."

"Emang nggak libur?"

"Oh, ya, libur pasti."

"Gue urusin tiket dan segala macem. Nanti gue jemput lo. Udahan dulu, ya, manajer gue nelepon, nih."

"Oke. Makasih, ya, makanannya. Banyak banget gini, Nic. Bisa gue simpen buat makan siang."

"Abisin aja. Nanti siang gue kirim lagi."

"Jangan, Ravenico! Kebanyakan. Lo yang harusnya jaga diri karena sibuk. Nggak mau gue denger laporan lo sakit lagi."

"Ya, Sayang, iya."

Jangan mulai, please! Aku bisa meleleh.

"Ini udah sarapan, belum?"

"Belom."

"Bisa-bisanya!"

"Nanti gue mampir coffee shop sebelum ngantor, Lin."

"He em. Semangat kerjanya, Daddy Sayang."

"Okay, Baby."

Aku tertawa, Nic juga. Setelah sambungan telepon terputus, aku menghabiskan sarapan dengan lahap. Seharusnya aku nggak bermain api jika nggak mau patah hati. Akan tetapi, sulit sekali menolak pesona Nic meski hanya perhatian kecil seperti ini.

***

REPOST: 24/5/24

8/9/23

LovestruckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang