Your Ego

558 113 9
                                    

Sebut saja aku nggak profesional. Semestinya, aku nggak melibatkan perasaan dalam berhubungan dengan Nic. Akan tetapi, aku merasa kami benar-benar berpacaran.

Aku rindu Nic dan ketika dia menelepon seperti tadi, aku senang bukan kepalang. Napas beratku diembuskan. Ini masih di tempat kerja dan aku nggak berhenti memikirkan Nic. Sudahlah. Aku akan menemui bos untuk meminta izin libur di Jumat dan Sabtu.

Menyenangkan sekali bekerja di sini karena bos yang baik. Aku diizinkan libur. Hore!

***

"Lintang," panggil rekan kerjaku. "Nanti malem ikut makan-makan, ya. Minggu ini, kamu sama yang lain nutup target."

Bekerja di sini menyenangkan karena selain atasan yang baik, beberapa teman kerja juga solid. Namun, sikap baik mereka terpaksa kutolak. "Aduh, maaf banget, Pak Bima. Aku mesti pulang ke Bandung."

"Makan, kan, cuma sebentar. Nanti aku anterin, deh, pulangnya. Sekalian kamu kenalan sama karyawan lain."

Benar juga, ya. "Memang selalu ada acara gini, ya, Pak?"

"Tiap bulan, staf marketing biasanya ngadain acara ngumpul-ngumpul. Bulan ini ada kamu dan minggu ini aja udah bisa nutup target. Rayain sekalian akrabin diri, dong, sama yang lain," bujuk Bima lagi.

Sejujurnya aku tak enak karena baru bekerja selama empat hari, tetapi sudah izin libur. Aku merasa bersalah jika menolak undangan ini. Lagipula, makan nggak akan lama.

"Oke, deh, Pak Bima. Jam berapa?"

"Ya, nunggu kita semua kelar kerja. Jam tujuh paling."

"Oke, Pak. Aku pulang dulu aja kalo jam tujuh. Boleh?"

"Oke, nanti aku jemput."

"Ngerepotin, Pak." Aduh, semakin nggak enak aku. Memang sudah seharusnya aku berbaur dengan mereka.

"Nggak, kok."

"Oke, jam tujuh. Aku mau ke Mika dulu, Pak. Mau bilang besok nggak masuk."

Aku harus memberi tahu Nic. Kali ini, agak lama dia menerima panggilanku.

"Halo?"

"Nic."

"Ya?"

"Maaf, banget. Nanti malem, gue nggak bisa pergi. Kalo Jumat pagi, bisa. Gue udah izin. Tapi, ini gue mau lembur tagihan dulu," ujarku. Semoga Nic mau mengerti.

"Lin, nggak bisa gitu. Tiket lo udah diurus dan kita berangkat ke Jepang nanti malem."

Bagaimana ini? "Yah, gimana, dong? Gue izin mulai Jumat soalnya."

"Bentar, deh. Gue mungkin bisa minta manajer anter lo besok. Jadi, gue berangkat duluan. Tapi, beneran nggak bisa malem? Mending berangkat sama-sama, deh. Gue pengin sama lo."

"Susah, Sayang. Gue terlanjur izin Jumat-Sabtu. Jadi, Kamis ini gue beresin kerjaan. Ini juga demi bisa sama lo. Maaf, ya."

"Oke, nanti gue aturin, deh."

Yes! Lagipula, Nic memintaku izin mulai Jumat. Nggak apa-apa, dong, malam ini aku menghabiskan waktu dengan rekan-rekan kerjaku. "Oke, makasih. Daddy ati-ati, ya. Have a safe flight."

Nic merengek, "Usahain dulu biar bisa, Lin."

Menggemaskan sekali! Maaf, Nic Sayang. Besok aku seutuhnya untukmu. Akan tetapi, nggak malam ini.

"Gue nggak mau kasih harapan palsu. Besok fix banget gue libur. Tapi kalo gue bilang usahain, ternyata nggak bisa? Ya, gue ngerasa salah aja, Nic."

"Ya, udah. Nggak apa-apa. Besok lo nyusul sama Pak Imran."

"Oke."

"Bye, Honey."

"Bye," ucapku, kemudian mematikan panggilan telepon.

Setelah pekerjaanku selesai, aku buru-buru pulang dan membersihkan diri. Seraya menunggu Bima, aku kembali menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke Jepang besok.

Bima datang sebelum pukul tujuh. Seharusnya kami segera ke kantor, tetapi panggilan telepon yang Bima terima, membuat kami mengubah rencana.

"Kita mampir ke toko kue dulu, ya, Lin? Kata Mika, kue ulang tahunnya belum diambil."

"Ada yang ulang tahun juga, Pak?" tanyaku. Wah, sepertinya akan seru! Keputusanku tepat untuk hadir di acara teman-teman kerja.

"Ya, si Anggun. Makanya, ini banyak yang dateng, deh. Sekalian buat syukuran ultahnya Anggun."

Kami ke toko roti untuk mengambil kue dan membawa beberapa makanan lain. Meski Bima adalah supervisor, dia tak segan mengobrol santai denganku. Aku benar-benar merasa diterima di lingkungan kerja yang baru.

"Lintang!"

Sebuah suara membuatku refleks menoleh. Seolah mimpi buruk yang menjadi nyata, aku melihat Nic berdiri nggak jauh dengan tatapan murka. Aku nggak bisa berpikir saat ini.

Kakiku begitu lemas. Aku hampir kesulitan bernapas. Habislah aku! Nic benar-benar marah.

Menoleh ke arah Bima, aku berujar, "Sebentar."

Aku segera menemui Nic. Belum juga bicara, Nic sudah menekanku.

"Ini yang lo bilang lembur?"

Aku memang salah. Bagaimana caranya meredam amarah pria itu? "Nic, gue bisa jelasin."

"Nolak gue buat pergi sama cowok lain? Itu udah jelas buat gue."

Loh, kenapa Nic berpikiran seperti itu? Aku mencoba menghalangi langkahnya.

"Nic, dengerin dulu. Nic, dia itu supervisor gue. Kita cuma ambil makanan buat karyawan. Gue nggak ada hubungan apa-apa sama dia, kalo itu maksud lo," jelasku.

Nic nampak menakutkan. "Minggir. Gue mau ngomong sama dia. Lo, tuh, udah kebanyakan bohong."

Kapan aku bohong selain hari ini? "Bohong apa?"

Aku berusaha mencegah Nic mendekati Bima. "Gue memang bohong sama lo karena gue nggak enak. Gue anak baru tapi udah izin dua hari. Ajakan makan bersama ini nggak bisa gue tolak."

Tanganku menahan dada Nic. "Please, dengerin gue. Dia nggak salah. Dia nggak tau apa-apa. Lo marah sama gue aja."

"Lo ikut gue," perintah Nic, yang sepertinya sukar dibantah.

"Gue ...."

"Lo ikut gue sekarang."

Aku terkejut ketika Nic menarik satu tanganku.

"Nic, lepasin. Apa-apaan, sih? Lo nggak bisa seenaknya."

"Lo ikut gue, Lintang. Gue udah bayar lo!"

Kasar sekali ucapannya. Namun, semua itu benar. Aku hanya wanita yang dia bayar untuk menjadi pacar pura-pura. Mengapa aku harus mengharapkan lebih dari ini?

Aku mengangguk setuju. "Ya, Nic. Gue nggak akan lupa."

Tanganku belum juga dilepaskan Nic.

"Gue cuma mau ngomong sama supervisor gue aja dan balikin kue ini," aku menunduk, "please."

***

REPOST: 25/5/24

9/9/23


LovestruckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang