METTA
"Kenapa sih suka banget narik-narik tangan orang? Digandeng yang romantis kek." kata gue kesyel.
Ini kedua kalinya kak Hema nyeret gue sesuka hati. Waktu itu saat di rumah. Untuk ngehindari Hana tau tentang pembicaraan kita jadilah kak Hema ngajak gue bicara berdua doang.
Kali ini gue dibawa pergi buat menyingkir dari keramaian pesta pernikahan. Disamping gedung, sepi. Gak ada orang yang lewat di sini.
"Akal lo bagus juga kak. Bawa gue ke tempat sepi kaya gini. Selanjutnya apa?" tanya gue sembari memainkan kancing jasnya.
Kak Hema menyentak tangan gue. Sakit woy! Ingin kuteriak. Tapi inget kita kan ke sini emang mau bicara secara empat mata.
"Ucapan gue waktu itu nggak lo gubris ya ternyata?"
"Ucapan yang mana?"
Muka kak Hema makin keliatan emosi. Sumpah ya nih cowok dikit-dikit emosi. Dikit-dikit emosi.
Ada gak sih yang naksir?
ADA! AKU AKU AKU!!!
Oke, shut up Metta! Back to topic!
"Berhenti deketin gue! Gue nggak suka sama lo. Gue nggak minat sama lo. Juga nggak sudi deket-deket sama lo!"
Woah, sangat menyakitkan sekali. Perasaan yang waktu itu cuma suruh jangan deketin doang deh.
Kenapa sekarang malah nambah?!
"Percuma aja kakak larang. Mau sekali, dua kali, ataupun seribu kali juga gue gak peduli. Kalau gue suka, ya gue kejar!!"
Kak Hema terdiam. Dia agaknya shock melihat kegigihan bocah gila ini. Atau mungkin ucapan gue related sama dunia percintaanya?
Who knows?!
"Terserah mau disebut cewek murahan atau apapun itu. Kebahagiaan itu harus dicari dan dikejar... kalau gue bahagianya ngejar lo. Emang salah kak?" tanya gue dengan berani. Gue nyilangin kedua tangan di depan dada.
"Salah!"
Anjay! Mikir dulu kek. Belum juga lima detik udah jawab aja.
"Salah! Karena dengan lo ngejar-ngejar gue kaya gini! Itu bikin gue terganggu!"
"Gue nggak ngerasa ganggu tuh."
"Metta!"
"Kalau sejak awal gue ganggu harusnya gak perlu lo tanggepin kak. Lo diem aja kaya es batu nanti gue bawain air panas biar mencair." kata gue mengikis jarak diantara kita. Kak Hema makin terpojok ke dinding di belakangnya.
"Gue nggak ada waktu buat main-main sama bocah!"
Gue ngangguk. "I know. Dunia kita berbeda. Dunia orang dewasa dan remaja. Udah cuma itu doang kan bedanya?"
"Syukur nggak beda alam. Dunia dan akhirat. " ceplos gue gitu aja.
"Mulut lo sebenernya pernah disekolahin nggak sih?" tanya kak Hema natap dingin mata gue.
Mungkin karena barusan gue mengatakan hal-hal yang jauh di luar nurul. Makanya dia marah.
Tapi omongan gue bener kan? Gak salah?
"Disekolahin cuma kadang nakal aja," jawab gue santai, tak lupa tersenyum cerah ceria.
Kak Hema ngayunin pukulan ke dinding di belakangnya. Gak kena sih tapi gue kaget. Loh, ngapain emosi sama dinding.
"Setelah ini gue berharap nggak akan pernah ketemu lagi sama lo!" katanya sebelum melangkah pergi menjauh.
Huh. Salam perpisahan model apaan ituh?!