METTA
Gue bermimpi indah.
Sangat indah.
Pantai, udara hangat, hembusan angin sejuk, dan deburan ombak yang indah.
Itu tempat paling indah yang pernah gue kunjungi. Sangat mempesona sepanjang mata memandang. Gue bahkan tidak takut dengan kesendirian.
Di tempat yang sepi dan indah itu... gue sendirian menikmati semuanya.
Dan untuk pertama kalinya, gue menyukai kesepian dan keheningan itu.
Ah... setidaknya tempat ini lebih baik dari rumah sakit. Aroma alam dan pemandangan ini lebih baik dari bau obat-obatan dan dinding putih yang membelenggu gue.
Betapa indahnya pantai yang selalu gue suka. Gue mulai berpikir untuk menetap di sana dan membuat satu bangunan di pesisir yang kering.
Istana pasir?
Mungkin? Haha!
Memejamkan mata sesaat, menikmati hembusan angin yang sepoi-sepoi membelai wajah- rasanya menenangkan.
"Metta..."
Gue membuka mata. Lagi-lagi suara itu kembali bergema di telinga gue. Suara yang sama.
Suara yang memanggil seseorang yang sangat dikasihi.
Menyedihkan sekali.
Suara itu, gue berharap segera menghilang dan lenyap karena menganggu keheningan di sini.
"Metta.."
Metta! Metta! Metta!
Gue kesal. Tapi kenapa mata dan pipi gue basah?
Gue menangis?
Semakin deras setiap kali nama gue dipanggil. Gue berusaha menghapusnya dengan berulang kali menyapukan tangan ke pipi.
Sayang sekali air mata gue gak bisa berhenti. Gue menangis sejadi-jadinya. Terisak, kedamaian ini sama sekali enggak membuat gue bahagia.
Sesuatu telah hilang dari dalam hati gue. Kasih sayang dari keluarga juga cinta dari orang yang berharga.
Mata gue terpejam erat. Lalu saat membuka mata, gue tidak lagi berada di pantai indah melainkan rumah sakit.
Huh?
Berapa kali gue harus terbangun dan mendapati kalau diri gue tertidur di ranjang rumah sakit?
Gue lelah. Hanya saja gue bahagia bisa membuka mata lagi.
"Metta.."
Gue menoleh, mendapati seseorang berdiri di samping ranjang gue. Bukan papi, mami, ataupun Kezia.
"Siapa?"
"Sayang?" raut paniknya terlihat jelas di wajah lelah itu.
Ya Lelah. Gue bisa melihat dari kantong matanya. Berapa lama dia enggak tidur?
"Aku panggilin dokter. Sebentar sayang... sebentar ya."
Dia panik hendak memencet tombol di sisi tempat tidur. Gue menahannya.
Suara gue masih belum bisa keluar dengan lantang. Untung lah dia berhenti bergerak dan kembali menatap gue.
"Tunggu," ucap gue, detak jantung gue enggak tertahan lagi.
"Kamu jangan banyak bicara dulu. Aku panggilin dokter... ada dokter yang jaga malam. Dia pasti langsung ke sini-"
"Kak Hema!"
Gue panggil gitu wajahnya malah semakin memucat. Bola matanya bergetar. Dia mengenggam tangan gue. Rasanya hangat.
"Metta.. Metta.." lirihnya, berulang kali memanggil nama gue. "Kamu beneran udah sadar? Kamu bangun? Sayang.. kamu enggak lupa sama aku? Metta?"