METTA
"Metta! Kamu itu sudah kelas 12! Sebentar lagi lulus. Kenapa kamu masih sering aja bikin ulah?"
Lagi dan lagi gue harus berhadapan sama bu Iren. Perasaan gue gak berbuat kesalahan, tapi tetep aja dipanggil.
"Kamu seminggu absen. Pergi ke Aussie cuma untuk liburan?"
"Iya, kan di sana ada rumah kakek nenek saya buk," jawab gue dengan wajah tanpa dosa. "Kan Metta buat surat izin buk, masa nggak sampai ke guru BK sih."
"Iya kamu bikin, tapi coba kamu pikir-pikir lagi. Seminggu yang lalu kamu melewati ujian. Sekarang kamu harus mulai ngerjain dari awal."
Okay, mari dengarkan sesi ceramah panjang kali lebar ini akan sampai berapa chapter.
"Waktu kamu jadi terbuang sia-sia Metta! Saat teman-teman kamu sudah mulai belajar bab baru kamu masih harus pusing-pusing mikir jawaban untuk ujian."
"Ibu nggak akan ngelarang kamu buat minta izin ke sekolah. Hanya saja apa tidak bisa liburan kamu itu ditunda sampai musim liburan?"
"Ada waktu luang dua sampai tiga minggu sampai pelajaran dimulai lagi. Meski ibu tau anak kelas 12 ada beberapa jadwal les, tetap saja itu pilihan terbaik agar kamu nggak ketinggalan pelajaran."
Gampangnya mungkin gini. Mentang-mentang anak orang kaya. Liburan seenaknya aja!!
"Maaf buk, lain kali enggak lagi. Metta udah puas liburan kemarin." Gue nyengir. "Maaf juga nggak bisa ngasih ibuk oleh-oleh karena udah abis dibagiin ke temen-temen."
"Ibuk besok aja ya kalau Metta liburan lagi. Oiya... soal liburan itu sebenernya bukan Metta yang nentuin waktunya buk. Tapi Tuhan," kata gue. Senyum sampai mata gue menyipit tipis.
Udah habis itu gue pergi keluar karena bu Iren nyurun gue pergi. Mungkin eneg kali berhadapan sama gue lagi. Atau dia marah gak gue kasih oleh-oleh?
"Kenapa dipanggil lagi sih ta?"
"Haha, nggak apa-apa sih. Cuma tentang rambut gue biasa.. disuruh ganti warna item."
Disuruh berkali-kali sih tapi bukannya warna item malah gue tebelin warna gingernya.
"Sama nih seragam gue. Padahal nggak ketat-ketat amat."
Jeplak dada gue sih emang. Gue males beli baru. Sayang uang hahaha.
"Yakin nggak ada apa-apa selain itu?"
"Iya gak ada. Semua aman Han!"
"Syukurlah," Hana berjalan santai di samping gue sambil ngelusin dadanya. "Gue takut lo diancem buat dikeluarin dari sekolah ini ta."
"Halah nggak akan. Udah gue bilang kan sekolah ini punya temennya papi dan mami, jadi aman."
Cuma Hana yang gue kasih tau tentang ini.
Setelah lima kali di depak dari sekolah lama, papi dan mami akhirnya masukin gue ke sekolah punya temen mereka.
Dan itulah alasan gue sampai sekarang belum di depak dari sini. Padahal kalau ditotal poin pelanggaran gue udah banyak.
Selain gue masih pengen berteman dengan Hana-yah demi dapetin abangnya itu. Gue juga terlindungi karena papi dan mami berteman sama pemilik sekolah ini.
Hehe.
•••
Tes!
Tes!
"Udah dong!"
Gue menggeram marah. Nyabutin tisu dari wadah dengan kasar buat lap hidung gue yang masih aja ngalirin darah segar.