14. Sebuah Surat

712 118 41
                                    

HEMA

Merangkak di atas tubuh Metta yang udah setengah telanjang. Ngelihat wajahnya yang kalem nggak pecicilan di bawah gue.

Keputusan buat ngajak dia ke kamar gue sepertinya nggak salah. Apalagi Metta mengakui hal yang ngebuat gue tercengang.

She's still virgin!

Anjing banget nggak sih?

Sayang, di detik-detik terakhir gue harus mengurungkan niat karena suara ketukan pintu kamar gue sangat amat menggelegar.

TOK! TOK! TOK!

"HEMA! BUKA PINTU KAMAR KAMU!"

"Shit!" gue ngumpat keras.

Metta dorong tubuh gue menjauh. "Kak?! Itu papa lo?!"

Gue juga tau itu papa! Sialan! Ngapain sih jam segini ganggu aja orang mau nge-Hema! Sejak kapan lo ngebet sama Metta sih. Baru tadi sore lo ngeremehin dia.

"Pakai baju lo. Cepet!" kata gue ngelempar selimut ke tubuhnya.

Bye tubuh indah mempesona dan dada-bajingan lo Hema! Itu bokap lo di luar mau nggrebek lo. Masih bisa lo mikir pamitan sama tubuh Metta?!

Gue tergesa memakai boxer dan celana gue. Suara gedubrak gedubruk dari luar kedengeran keras.

Fiks papa mau dobrak pintu gue!

"Kalau pintunya dibuka lo bilang aja gue yang maksa buat nidurin lo. Okey?"

"Kok gitu?! Bukannya kebalik?!"

"Nurut nggak?!!"

Metta menciut.

Terakhir gue makai kaus gue. Metta naikin selimut ke sebatas dadanya, gak sempet berpakaian lengkap. Branya aja gue lempar entah kemana. Mana sempat keburu digrebek.

"HEMA!"

"Iya benta-"

Bruk!

Nah kan. Baru aja gue puter kuncinya pintu kamar gue di dorong keras dari luar. Untung gue mundur tepat waktu kalau enggak pasti kelempar gue.

Mata gue melebar. Gak cuma papa. Tapi ada Hana, mama tiri gue, dan kakak tiri gue. Mereka bertiga lancang masuk ke kamar gue.

Tapi setelahnya si Dimas langsung keluar. Gamau lihat apa-apa. Apalagi natap gadis yang ada di ranjang gue.

"M-metta?! Abang dan Metta?!" beo Hana.

Hana nutup mulut gak percaya lihat temennya meringkuk di kasur kakaknya dengan selimut sampai sebatas leher.

Mata papa berkibar penuh amarah. Bukan ke Metta lebih tepatnya ke gue. Lalu yah seperti yang gue duga. Tiga tamparan bertubi-tubi ngehantam pipi gue.

PLAK!

PLAK!

PLAK!

Nanggung banget sih. Kenapa cuma tiga? Nggak sekalian empat? Gue mau ngomong gitu gak bisa.

Suara gue tercekat di tenggorokan. Gue cuma denger Metta berteriak pelan waktu gue kena tamparan papa. Kaget pasti dia.

"KELUAR KAMU! IKUT PAPA!" papa narik tangan gue kuat.

"AJAK METTA KE KAMAR KAMU HANA!" perintahnya ke Hana. Dengan mata tajam setajam silet.

Dan hal terakhir yang bisa gue lihat di kamar ini adalah Hana yang mendekat ke Metta. Juga tatapan mata Metta yang gak beralih dari gue.

Bocah gila itu beneran jatuh cinta sama gue ternyata!

•••

Tau nggak apa yang papa lakuin ke gue setelah nyeret gue ke bawah dan ngebuat keributan di tengah malam?

Obsession Series 4; Bad and GoodWhere stories live. Discover now