HEMA
"Serius gue nggak bohong. Gue pernah lihat adik lo di sana." itu kata Nathan waktu gue main ke studionya.
Agaknya Nathan masih ngelanjutin topik yang waktu itu.
Pada ngumpul di sini, ada Nata juga tentu saja mengajak Navara tercinta. Gue kembali ke sini karena akhirnya agensi mau kerja sama dengan studio Nathan.
Jadi tadi sempat ada pembicaraan dengan manager gue. Setelahnya gue stay di sini dan ngobrol— lebih tepatnya gangguin pekerjaan temen-temen gue.
"Salah lihat kali lo. Mukanya adik gue emang pasaran sih." gue ngeles.
"Tapi masa iya gue salah sih? Gue nggak bodo-bodo amat deh kalau urusan ngenalin orang. Iya nggak yang?"
"Mata Nathan jeli," kata Nata. Ya deh tuh suami istri sehati.
"Udah ah gausah bahas itu.. gue males. Kalian tau kan gue paling males kalau udah bahas keluarga." kata gue berusaha ganti topik.
"Hmmm.. tapi adik lo nggak sakit kan?"
"Apaan?! Di rumah noh dia." kata gue dengan nada suara yang naik satu oktaf.
"Biasa aja kali!" Nathan mukul pundak gue ampe gue kedorong ke depan dikit.
"Papa kok mukul-mukul om Hema gitu sih? Nggak baik tau!" ucap Navara kecil.
Gadis empat tahun itu dari tadi mainin hiasan dekorasi studio sama emaknya. Gatau sejak kapan jadi ikut nyimak obrolan babang-babang tampan ini.
"Aduh.. sakit banget. Duhhh!" kata gue pura-pura sakit di depan si gemoy.
Masih kebayang cerita Nathan soal Navara yang katanya ngebet nikah sama dia.
Tuh anak emang cerewet banget. Mukanya cantik perpaduan Nathan sama Nata tapi mulutnya sih keknya Nathan banget.
"Papa minta maaf ndak! Nanti adek marah."
"Pffft!"
Secinta-cintanya Navara sama bapaknya sendiri. Dia udah bisa bedain mana yang bener dan mana yang salah. Gemes deh.
"Iya.. papa minta maaf." kata Nathan, gue semangat nih kalau udah gini.
Emang sahabat gue ini jinaknya cuma sama istri dan anaknya sih.
"Maafin papa Nathan ya om Hema." Nathan ngusap-usap bahu gue. Sedikit meremasnya.
Tau banget nih Nathan kesel sama gue. Mau ngakak rasanya. Jendra sama Reigan natap kita sambil geleng-geleng kepala.
"Udah, adek tetep sayang papa kan? Nggak marah kan?"
"Iyaaa!" Navara lompat ke pelukan Nathan.
Dan hal itu selalu bikin gue berdebar. Sesukses-suksesnya gue. Gue masih sering mikir, Nathan emang punya segalanya lebih dari gue.
Istri
Anak
Keluarga
Lalu kepala gue mulai berisik. Lagi-lagi ada setitik perasaan bosan yang menyelinap di relung hati gue.
Musik membuat gue bahagia. Tapi rasanya kebahagiaan itu masih belum utuh. Kurang apa sih?!
Apa iya gue harus berkeluarga? Punya istri dan anak sama seperti Nathan yang hidupnya begitu sempurna?!
Dua puluh lima tahun hidup. Lagi kepikiran itu gue. Asli.
"Woi Hema! Lo gila ya.. masa gue nemu kondom sama pil di jaket lo!"
Gue kaget sama teriakan Reigan barusan di kuping gue.
Buru-buru gue nyerobot benda itu dari tangan Reigan. Kebanyakan mikir sampai gatau jaket gue dijadiin bantal sama dia.