XV

443 70 1
                                    

Desis nyeri tertahan. Jun heran, sejak berkelana sendiri tanpa anak buahnya ia jadi sering di kurung oleh orang orang. Sebelumnya di Bathic dan kini di kerajaan si raja muda.

Sebenarnya Jun tahu ini hanya gudang penyimpanan benteng pasukan, namun tetap saja, pengap dan pintu yang di kunci dari luar sudah menggambarkan sebuah penjara baginya.

Nafas pangeran tampan itu begitu berat hingga terdengar seisi ruangan. Walau gelap, Jun bisa lihat gemerlap barang barang tak berguna. Ya, ruangan ini hanya berisi perlengkapan yang tak dapat di gunakan, tak akan membantunya. Lagi pula, Jun tak berniat lari, dirinya hampir mati. Yang ada di benaknya kini hanya harapan supaya Raja yang menguasai tanah ini melakukan sesuatu sesuai harapannya.

Tangan Jun sudah tak dapat ia rasakan. Bahu kiri yang mungkin masih tertempel peluru disana terus mengeluarkan darah. Diam diam ia merutuki Hansol yang entah berniat baik atau jahat dengan membiarkannya hidup bersama luka yang parah. Bertanya tanya mengapa memilih mengurungnya di banding di bunuh saat itu juga.

Jun berusaha keras tak membuat matanya terpejam lama. Mungkin jika ia bisa menebak ini sudah 9 jam sejak para pengawal istana melemparnya ke gudang. Artinya mungkin matahari akan terbit sebentar lagi. Dan artinya perang akan di mulai tak lama lagi.

"Ternyata sulit sekali."

Rasa lelahnya baru terasa. Jun mengenang seluruh usaha dan langkahnya sehingga bisa sampai di tempat ini sekarang. Seluruh rencana berantakannya, Hal hal tak terduganya juga orang orang yang sudah hilang dari dunia satu persatu melintas di kepala.

Tetes demi tetes darah mengucur dan menggenang di bawah kaki menyilangnya yang baru terasa pegal setelah perjalanan jauh yang ia lakukan, lama lama kaki itu tak mampu lagi ia rasakan.

Nafas perlahan memberat. Sesak di dada Jun tahan supaya tak habis dalam parunya. Tapi rentetan kenangan soal rencana balas dendamnya hilang begitu suara nyaring terdengar.

Tunduk yang sudah terjadi berjam jam lalu kini hilang saat pangeran itu memutuskan mengangkat kepalanya. Punggung yang tertempel pada tembok kotor disana juga ia perlahan lepaskan, terduduk bersama nafas terengah keras.

Apa itu? Apa perang sudah di mulai? Namun mengapa terdengar dekat sekali dari benteng?

Jun menelan ludah. Peluh yang jatuh bersamaan dengan tubuh yang ia paksa bangkitkan. Walau kaki gemetar Jun buat berjalan. Pelan pelan lelaki itu berusaha menggapai pintu di depan. Walau gelap Jun coba fokuskan mata buramnya supaya membawanya pada gagang.

Sekuat tenaga Alpha itu coba membuka. Kepalanya tak bisa ia ajak berpikir. Tak ada ide apapun yang melintas untuk membuat pintu ini terbuka. Dan setelah cukup lama menggoyangkan gagang sambil mendorong dorong pintu Jun dapat sebuah suara yang bilang, "Mundurlah, akan kami dobrak."

Pintu terdorong dengan keras. Papan kayu itu jatuh tepat di hadapan Jun bersama bahu berdarahnya.

Dan di depan sana, Cahaya redup dari lentera juga seorang pria dengan senyum mataharinya nampak puas dengan apa yang ia lihat.

"Wah wah, Tak kusangka apa yang ku temukan."

"Sial."

Seokmin tertawa keras. Ia tatap pangeran Tulgey itu dari atas hingga bawah, penuh darah. Senyumnya masih di pasang saat Jun berjalan keluar. "Kau tertembak? Lemah."

"Diamlah," Ucap Jun sambil berjalan. Para pengawal Bathic tanpa di pinta langsung membantu dan mengobatinya. Sedangkan Seokmin masih tertawa memperhatikan.

Jun sedikit banyak bersyukur. Namun ia tak mau bertanya. Ia biarkan lukanya di obati walau jelas terlihat keanehan dimana para prajurit dan pengawal kerajaan Bathic berlalu lalang berisik seolah sudah menguasai tempat ini.

Alphas - The War Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang