"Paman mau bawa kita kemana?" Sang supir mobil menyeka air matanya. Melihat anak laki-laki yang berada di kursi belakang melalui kaca spion.
"Zero ikut paman dulu ya, bapak sama ibu lagi ada urusan. Zero jaga adiknya ya." Zero mengangguk kemudian menoleh ke samping dimana ranjang bayi yang berisikan adiknya tengah tertidur pulas.
"Adik Zero cantik ya paman."
"Iyaa, cantik. Zero harus jaga adiknya ya sampai besar nanti."
"Zero janji akan jaga Ran, ga akan ada yang bisa nyakitin adiknya Zero!"
Dum!
Pria yang mengendarai mobil keluarga Sam itu seketika menangis kencang kala mendengar suara yang begitu keras. Pria itu terus menyetir tanpa mengurangi kecepatannya.
Zero menoleh ke belakang saat mendengar suara yang begitu kencang di telinganya.
"Paman, rumah ayah bunda kebakaran." Pria itu kembali menyeka air matanya sembari terus menyetir. Meski sudah berjarak jauh dari rumah keluarga Sam, suara dan getaran bom masih terdengar.
Dimas, supir keluarga Sam tak menyangka jika keluarga harmonis ini hancur hanya karena dendam pribadi. Mereka meninggal pun dengan tidak wajar. Di bom oleh orang yang mereka kenal.
Dimas ingin sekali mengumpat jika saja Zero tidak ada disana.
-
Dimas menatap Zero yang sudah beranjak dewasa. Tubuhnya lemas, matanya sayu karena termakan Usia.
"Zero, tolong jaga Ran ya. Paman yakin kamu bisa merawat dan menjaga Ran dengan baik. Ingat pesan paman, jangan beritahu identitas orang tua kamu." Tepat begitu Zero mengangguk Dimas memejamkan matanya dan saat itu pula nafasnya berhenti. Lagi, Zero harus merasakan kehilangan orang yang di sayangnya.
-
"Adik saya kenapa pak?"
"Ran, dia berkelahi dengan temannya." Ujar sang guru. Zero menoleh ke samping dimana Ran terduduk dan berusaha agar tidak kontak mata dengan Zero.
"Saya rasa kamu harus membawa adik kamu ke psikolog." Alis Zero terangkat. Ran menggebrak meja guru di hadapan nya.
"Saya tidak gila pak! dia duluan yang menghina saya!" Zero menenangkan Ran. Menarik bahu Ran agar kembali terduduk.
"Apakah sekolah ini tergolong sekolah Favorit?" Guru tersebut mengangguk pelan. "Lantas mengapa cara penyelesaian guru disini sangat tidak profesional. Bukankah seharusnya anda menjelaskan apa yang terjadi pada saya terlebih dahulu? mengapa langsung menyuruh saya untuk membawa Ran ke psikolog?" Guru itu terlihat kebingungan untuk menjawab.
"Begini, Ran sudah sering keluar masuk ruang BK. Tak jarang sering terlibat perkelahian hanya karena hal sepele."
"Apa sekolah ini menyepelekan bullying? Bagaimana bisa sekolah ini di katakan sekolah terfavorit?"
"Baik maaf, langsung saja ke intinya dengan ini saya mengeluarkan Ran Tabitha dari Sekolah C." Zero membungkuk kemudian mengambil surat-surat yang berada di atas meja kemudian menarik Ran untuk ikut bersamanya.
-
"Lo di bully?"
"Iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
REYGARAN - END
General Fiction⚠ DILARANG BACA UNTUK KAMU YANG TIDAK SUKA KEKERASAN ⚠ Mari menghargai penulis dengan memencet logo bintang kalau kamu suka dengan ceritanya. Niatnya cuma mau taruhan buat benerin motor, malah taruhan dengan fisik dan batin.