XVI. A Disaster (?¿)

89 40 185
                                    

Happy Reading

*

*

*

Birunya laut menyambut kedatangan Danum dan Kama di dermaga Maratua. Tak banyak kapal berlalu lalang disana, dermaga juga sangat lengang karena matahari memang sedang terik-teriknya, membuat penghuni pulau di garis khatulistiwa tersebut lebih memilih menyembunyikan diri dalam rumah atau pun tempat-tempat yang dapat menaungi mereka dari hajaran panas matahati tropis.

Keduanya menuruni speed boat yang telah membawa mereka meninggalkan Derawan, tempat yang entah akan Danum kunjungi lagi atau tidak. Baginya, tempat tersebut kini menyisakan rasa pahit dalam lembar hidupnya. Kedatangan mereka telah ditunggu oleh sopir mobil suttle resort yang akan mereka membawa keduanya ke tempat tujuan. Setelah barang-barang tersusun rapi dalam bagasi, mereka bergerak menuju resort yang mereka tuju. 

Jalan berkelok dan hutan tropis menjadi medan yang harus mereka lalui. Danum meminta sopir mematikan AC dan membuka jendela mobil, membiarkan udara berbau dedaunan basah dan lembab menerka wajahnya. Ia membuka kaca matanya, membiarkan mata merahnya terpapar angin yang membuatnya mengerjap, dan tak henti mengeluarkan air mata. Bukan karena menangisi Kama, itu hanya karena angin.

Setelah melewati rapatnya pepohonan, mereka disambut oleh bangunan resort mengapung di atas laut, hampir sama dengan cottage yang mereka tempati di Pulau Derawan, hanya saja, ini terlihat lebih modern dan berkelas. Danum pernah mengatakan pada Kama bahwa resort yang akan mereka tempati di Maratua sangat persis seperti resort apung di Maladewa atau Maldives. Dan itu benar, Danum tidak berlebihan. Memang seperti itulah gambarannya.

"Seger banget pasti jebur ke air pas panas-panas gini, ya," ucap Kama memecah kebisuan yang dari tadi menyelimuti keduanya. Mereka tengah duduk di teras belakang kamar Danum.

Sambil menaburkan remah roti untuk ikan-kecil di bawah kakinya, Danum menjawab tanpa mengangkat wajahnya, "Iya, tapi siap-siap gosong aja. Nggak baik berenang tengah hari. Sore lah kalau mau renang."

"Gosong?" tanya Kama tak percaya.

"Ultra violet, Kama! Tahu kan, kulit kamu nanti iritasi," jelasnya tanpa mengalihkan perhatian dari ikan kecil yang makin banyak berkumpul di bawah mereka.

"Ah! Iya...," Kama mengangguk, perhatiannya nggak pernah lepas dari Danum yang tampak rapuh dimatanya. Untuk kali pertama, Kama melihat Danum terlihat seperti anak kecil polos yang ingin sekali ia peluk karena kerapuhannya itu. Tanpa sadar tangan Kama bergerak menyibakkan rambut di kening Danum yang baru saja diporak-porandakan tiupan angin. 

Merasakan tangan Kama menyibakkan rambutnya, Danum berjengit, ia terlihat sakit dan getir, seperi sebuah vas porselen yang bisa saja hancur saat tak sengaja disentuh tangan manusia. Bukan benci, ia tak membenci Kama, ia hanya merasa rapuh karena hal terbesar yang menjadi substansi kebahagiaanya tak lagi bisa membuatnya bahagia. 

Entah sebebal apa Kama ini, harusnya setelah penolakan itu, ia menjauh dan memutus segala kemunginan yang membuat pikiran Danum meliar kembali. Namun, perhatian itu, sentuhan kecil itu, tatapan itu, bagaimana mungkin bisa membuat Danum beranjak dari kenangan, bagaimana mungkin bisa membuat Danum melepas dan menanggalkan perasaanya.

"Ka...," panggil Danum lembut. Setelah Kama sepenuhnya memperhatikannya, Danum berucap, "Kama balik ke kamar gih, aku lagi pengen sendiri."

Kama tak tangsung menjawab, cukup lama ia hanya menatap Danum. "Okay..., " ucapnya sambil menghela napas berat. "Tapi entar sore liat sun set bareng, boleh?"

"Fine... nanti kita liat penyu hijau juga. itu salah satu biota laut yang wajib kamu lihat di Pulau Maratua. Harusnya pagi sih, karena pas pagi, kita bisa liat bayi penyu yang baru netas jalan ke air." Danum tersenyum lembut.

"Wah, kalau gitu besok pagi juga ya!" ucap Kama antusias, yang hanya dibalas anggukan kecil oleh Danum.

*

Kaki-kaki telanjang mereka diterpa ombak kecil yang tiada henti-hentinya mendatangi. Butiran pasir terasa nyaman di bawah kaki keduanya. Sesekali sepasang manusia yang sedang terjebak dalam 'sibling zone' itu berjingkat menghindari serpihan pecahan koral dan cangkang moluska yang berserakan di pantai. 

Sesekali umpatan kecil keluar dari mulut Danum dan Kama saat mereka tak kuasa menghindari pecahan koral yang menusuk tajam di telapak kaki mereka. "Sakit, anjirr!" Setelahnya, mereka akan saling mengejek menertawakan. Walau kegetiran masih terasa dalam tawa Danum.

Pakaian yang mereka kenakan sudah basah separuh karena angin membawa ombak tinggi ke arah mereka. Entah sudah berapa jauh mereka meninggalkan resort yang mereka tempati, berjalan di sepanjang bibir pantai yang terasa ingin selalu dijamahi walau keadaan sebenarnya sama. 

Kama sesekali mencipratkan air pada Danum, menjaga agar situasi tetap cair. Sejak kejadian malam itu, Danum memang agak membatasi dirinya. Kama tahu itu, gadis ini sedang membentengi dirinya, sedikit-demi sedikt. Inilah caranya menyembuhkan luka bagi Danum, menarik dirinya menjauh. Hanya saja, sebaliknya, Kama nggak ingin Danum menjauh, ia hanya ingin Danum yang dulu. 

"Istirahat dulu, Ka." Danum mendudukkan dirinya di gazebo kecil yang mereka temukan. Ia tak mengatakan apa pun setelahnya, diam, memandangi laut luat, entah kemana pikirannya mengawang.

"Ehem," -- Kama berdehem sebelum melanjutkan -- "Dek, aku tahu kamu masih marah sama aku. Aku minta maaf karena...," Ucapan Kama terhenti karena Danum buru-buru menimpali. Danum sama sekali nggak ingin Kama terus menerus minta maaf untuk hal yang bukan kesalahannya.

"Bisa berhenti bilang maaf nggak sih, Ka?" Suaranya sedikit meninggi. "Kamu nggak salah, Ka. aku yang salah, nggak bisa ngontrol perasaanku. Aku diam bukan karena marah sama kamu. Aku marah sama diriku sendiri, dan itu nggak masalah. Sedih, marah, cinta, benci, merasa bersalah itu normal, kan? Aku hanya butuh waktu. Aku cinta sama kamu udah dari lama banget, tolong jangan suruh aku ngehapus perasaanku dalam waktu 1 malam, jangan suruh aku ngehapus rasa sedih, marah, cinta, benci, bersalahku dalam waktu singkat. Aku nggak sanggup, Ka. Kamu nggak perlu mencoba bikin aku ketawa, kamu nggak perlu menghiburku saat ini, nggak perlu jadi badut. Let me... beri aku ruang, aku yakin akan sembuh, beri aku waktu, aku pasti akan sembuh. Jadi berhenti bilang maaf, okay?"

"Oke..." Kama mengangguk, mengiyakan kata-kata Danum tidaklah berlebihan. "Aku cuma nggak mau kamu berubah, Dek."

"I'm a living person, of course I'll change one day," balas Danum diplomatis.

"Tapi jangan ke aku... aku cuma mau kamu yang dulu, yang biasa aku temui,..." Kama tertegun, merasa terganggu dengan suara dering telepon di iphone Danum yang telah entah berapa kali berbunyi. "Dek, itu hp kamu bunyi terus dari tadi. Nggak kamu angkat?"

"Ah, nggak. Biar aja," acuh Danum.

"Emang siapa yang nelpon? Angkat gih! Kali aja penting," desak Kama.

"Paling dari sales pinjol, ah. Males ngangkat." Danum berujar malas.

"Kamu nyimpen nomor sales pinjol? Itu Siri kamu sebutin namanya loh, Risya katanya, kamu kenal?" tanya Kama heran.

Danum terkekeh menanggapi. "Itu kakakku. Tapi males ngangkat ah, suara dia kayak petir. Berisik!"

"Loh, kali aja ada yang penting. Angkat lah... itu udah nelpon berkali-kali loh. Kalau kamu gak mau angkat. Biar aku yang angkat, ya," pungkasnya sambil mengetuk ikon terima di layar iphone Danum.

"Kama jangaann..." ah, terlambat.

Danum bersiap menutup telinganya. Tapi Kama yang tidak tahu, segera mendapat serangan auman singa betina dari iphone Danum.

*

Tbc, Fella!

Lanjut yuk, yuk!

Please, jangan skip vote-nya yah!

Aku Suka Kamu, Tapi Kamu Enggak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang