SSDB 6

1K 191 61
                                    

*****

"Sehebat apapun lo, kalo berani kasar sama cewek, itu namanya banci!"

-Arjuna Dipa.

*****

.

.

.

🌙🌙🌙


Pagi ini mentari enggan menampakkan seri yang menyala. Presensinya hilang, tertutup kapas tebal berwarna abu pekat yang membentang luas di langit ibu kota. Buliran-buliran kecil dari langit mulai merintik, memberi aba-aba pada penduduk bumi agar mencari tempat yang teduh sebelum rintik halus itu menjelma hujan dengan skala besar.

Melihat cuaca yang sedang kurang bersahabat, Tsabita yang baru saja datang itu mempercepat langkahnya menuju lobi. Ia tidak mau rinai dari langit itu meninggalkan banyak jejak basah pada seragamnya, apalagi sekarang ia membawa sebuket bunga mawar kuning yang masih begitu segar.

Sebenarnya bunga itu untuk ia berikan pada mama, namun karena Bita baru mendapatkannya dan tidak memungkinkan baginya untuk mengantarkan ke Rumah Sakit terlebih dahulu, maka jadilah Bita bawa bunga itu ke sekolah.

"Morning, temanku..."

Tsabita kontan menoleh mendengar sapaan itu. Belva, ternyata dia juga baru saja datang. Dan kini sedang membersamai langkahnya menuju kelas.

"Pagi juga, temanku." Balas Bita lebih riang. Meskipun di atas sana langit nampak bersedih, tetapi wajah cantik milik Tsabita begitu cerah dan berseri.

Kendatipun begitu, Belva tetap salah fokus pada buket mawar kuning yang dibawa oleh Bita.

"Lo- bawa bunga buat apaan?" Tanya Belva, penasaran.

"Buat mama sih sebenernya, tapi kalo gue anter dulu ke Rumah Sakit, ntar gue telat yang ada."

Sembari terus melangkah di samping Bita, Belva mengangguk paham. "Emangnya baru lo beli ya?" Tanyanya lagi.

"Tepatnya baru dapet sih. Kemarin gue udah keliling nyari bunga ini dimana-mana, tapi nggak ketemu juga. Kata penjualnya mawar kuning tu lagi nggak musim." Cerita Bita. Wajahnya sedikit berubah menjadi lesu mengingat kemarin ia begitu susah mencari mawar kuning itu.

Lagi-lagi Belva mengangguk, tetapi belum berniat untuk berhenti mengepoi perihal bunga itu. "Terus, tadi lo dapet dimana?"

"Di penjual keliling, kebetulan bapaknya lagi mangkal di persimpangan situ." Tsabita menunjuk pada arah persimpangan besar yang dekat dengan sekolah mereka.

"Oohh, bapak-bapak yang pake gerobak putih itu ya?" Tanya Belva, dan Tsabita pun mengangguk membenarkan.

"Iya. Terus katanya, ini bunga mawar kuning terakhir yang dia punya. Lagi langka soalnya." Lanjut Bita bercerita.

"Wah, kalo gitu lo beruntung banget bisa dapet, Ta. Coba kalo enggak?"

Di antara langkah demi langkah yang menyusuri koridor, Tsabita menatap bunga itu, lekat. Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum namun penuh haru. Belva benar, dirinya beruntung bisa mendapatkan bunga itu untuk mamanya. Bagaimana jika seandainya ketika berangkat sekolah tadi ia tidak bertemu dengan penjual bunga keliling itu? Pasti Tsabita akan sangat sedih karena tidak bisa menuruti keinginan mamanya.

Seindah Sabit di BumantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang