SSDB 17

866 148 102
                                    

*****

"Bukan tipikal dirinya, tapi dia rela melakukannya. Bukan kendalinya, tapi memang semesta yang punya karsa."

*****

.

.

.

🌙🌙🌙

Siang ini, langit tertutup sempurna oleh awan tebal yang cukup pekat. Hari nampak redup, bersama runai-rinai lembut yang hadir sejak 30 menit yang lalu.

Cukup lama hujan itu tak kunjung mereda. Namun semakin kesini, justru air yang tumpah semakin banyak dan semakin deras. Awan kelabu juga semakin pekat, dan sesekali menghadirkan kilat halilintar yang menguar cukup kencang.

Dalam kondisi seperti ini, arus pulang siswa-siswi SMAWISMA menjadi tidak kondusif. Bel sudah berbunyi sejak 15 menit yang lalu. Namun karena hujan, beberapa dari mereka memilih untuk berteduh dulu daripada nekat pulang dan menembus hujan.

Seperti Bita. Kali ini gadis itu tengah duduk di halte bus yang ada di depan sekolah. Ia tidak sendirian, ada beberapa siswi juga yang ada disana. Entah untuk menunggu jemputan, atau menunggu kendaraan umum yang akan membawa mereka pulang.

Sebenarnya Tsabita ingin memesan Taksi online saja. Namun sedari tadi ia mencoba, tidak ada satupun yang nyangkut dan menerima pesanannya. Maka menunggu bus umum, adalah opsi terakhirnya.

Ini pertama kalinya bagi Tsabita. Pulang dengan kendaraan umum selain Taksi online. Sejujurnya ia belum terbiasa, namun bagaimana lagi? Pak Amin yang biasa mengantar dan menjemputnya itu, sekarang sudah di ambil alih oleh Papanya.

Tak hanya Pak Amin, bahkan Art dan Satpamnya pun juga diminta pindah ke Rumah baru Papanya. Tsabita tidak bisa berbuat apa-apa, karena jelas Papanya lebih bisa memberi gaji kepada mereka. Sekarang Tsabita hanya tinggal bersama Tante Nindy seorang─ di rumahnya.

Tak apa-apa, Tante Nindy saja sudah cukup. Mungkin begitu kata-kata Tsabita untuk menguatkan dirinya sendiri.

Lelah berkecimpung dalam pikiran, gadis itu menghela nafas. Saat ini hujan sudah mulai reda, namun tidak begitu sempurna sebab rintikan kecilnya masih ada.

Tsabita kontan menoleh ke arah barat ketika klakson dari kendaraan yang ia tunggu-tunggu berbunyi─ menginterupsi telinganya. Buru-buru gadis itu berdiri, kemudian segera masuk ke dalam bus setelah kendaraan itu berhenti di depannya dengan sempurna.

Ada sekitar 5 siswi yang masuk ke dalam kendaraan itu, dan Tsabita adalah yang paling terakhir. Kendatipun begitu, beruntunglah bus tersebut tidak dalam keadaan penuh, sehingga Tsabita masih bisa mendapatkan tempat duduk.

Pada kursi nomor tiga─ di barisan sebelah kiri, gadis menempatkan diri. Dekat dengan jendela, agar ia tidak merasa bosan selama perjalanan.

Bus pun mulai berjalan. Awalnya, semua nampak biasa-biasa saja. Berlaku sebagaimana mestinya, dan tidak ada keanehan sama sekali. Sebelum akhirnya, seorang kenek bus datang menghampiri Tsabita.

"Permisi, Dek, mau kemana?"

Seperti kondektur pada umumnya, pria matang berambut ikal itu ingin menagih ongkos jalan ke setiap penumpangnya, termasuk Tsabita.

"Halte Cendrawasih, Pak." Jawab Bita, kemudian membuka tas dan bersiap mengeluarkan pecahan uang dari dalam sana.

"Pak? Emangnya muka saya udah kelihatan kayak bapak-bapak ya?" Pria itu menggurau, dan Tsabita hanya membalasnya dengan senyum kaku sembari menggaruk belakang telinganya.

Seindah Sabit di BumantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang