SSDB 11

890 182 128
                                    

*****

"Pada semoga yang sudah melangit bersama ketulusan. Tolong, tolong jangan dibalas dengan penghianatan."

*****

.

.

.

🌙🌙🌙

Bel terakhir berbunyi, kemudian secepat kilat murid-murid berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Wajah-wajah lesu dari mereka begitu kentara, namun semburat riangnya juga tidak bisa disembunyikan. Entahlah, pulang sekolah memang selalu menjadi dambaan.

Di tengah-tengah keramaian itu, Tsabita berjalan menyusuri koridor bersama Belva. Hari ini mereka sudah sepakat untuk mengerjakan tugas kelompok mata pelajaran Sejarah yang sudah dibagikan tempo hari. Bersama Arjuna juga, rencananya mereka akan mengerjakannya di Apartemen yang Belva tinggali. Namun sebelum itu, Bita meminta izin terlebih dahulu untuk ke Rumah Sakit. Sekedar ingin memastikan bahwa mamanya baik-baik saja.

"Janji ya, nggak lebih dari sejam. Gue gak mau berduaan lama-lama sama Jamet." Gerutu Belva di sela-sela langkahnya. Sedari tadi gadis itu tak ada hentinya membahas hal yang sama.

"Iya iyaa, bawel deh. Lagian kenapa sih, berantem mulu? Ntar jadi cinta loh," goda Tsabita sembari melirik dan tersenyum jail.

Belva kontan mendelik, tak terima. "Idiiihhh, mit-amit!! Mending gue jomblo seumur hidup daripada demen sama dia."

Entahlah. Perihal Arjuna, Belva memang sesensitif itu. Bukan benci atau apa. Belva hanya takut terkena penyakit hypertensi karena Arjuna selalu saja membuatnya emosi.

"Jangan gitu, Bel, ucapan adalah doa. Emang lo mau, beneran jomblo seumur hidup?"

Hembusan nafas kesal keluar dari hidung Belva. Bibirnya tertekuk ke bawah, kemudian ia menyahut, "ya enggak. Tapi kalo sama Juna, ogah banget gue! Kayak gak ada yang lain aja."

Tsabita hanya tertawa kecil. Kadang ia heran, semenyebalkan itukah Arjuna di mata Belva? Sampai-sampai temannya itu begitu tidak suka jika membahas apapun yang berkaitan dengan Arjuna.

"Ya udah, iya. Terserah lo. Tapi kalau nanti beneran jatuh cinta, gue bakal ketawa kenceng banget sih," Tsabita kemudian tertawa lagi, membuat Belva seketika meliriknya sembari mengeluarkan decakan.

"Ck! Ta... udah sih!"

"Hahahaa... iya iyaa," serah Tsabita akhirnya.

Keduanya pun berhenti tepat di depan lobi. Sejenak, hanya untuk melepas perpisahan karena mereka berbeda tujuan. Tsabita harus meneruskan langkah menuju gerbang untuk menanti jemputan. Sedangkan Belva, gadis itu terbiasa membawa mobil pribadi ke sekolah.

"Lo gak mau gue anter aja, Ta?" Tawar Belva, senang hati.

Tsabita pun menggeleng kontan, "jangan, nanti Juna gimana?"

Lagi-lagi Belva menghela nafasnya. "Ya kan emang tujuan gue biar nggak nunggu bareng dia."

"Yang ada Juna malah kabur kalo nggak ada temen nunggu. Lagian gue cuma bentar doang kok." Sanggah Bita.

Belva menekuk bibirnya ke bawah, kemudian berdecak kecil untuk menyerah. "Ya udah deh, kalau gitu gue duluan yaa..."

Anggukan yakin Bita berikan, bersama senyum manis untuk menyalurkan energi positif kepada temannya itu.

Seindah Sabit di BumantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang