PROLOG

2.8K 289 49
                                    

*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*****

"Dari sekian banyak jalan, mengapa yang kamu pilih adalah perpisahan?"

*****

.

.

.

🌙🌙🌙

"Let's break up!"

Setelah perdebatan yang tak menemui titik selesai, kata itu akhirnya keluar dari bibir Gaura Zivanka sebagai keputusan. Meski suaranya bergetar, meski air matanya sudah berkali-kali meluncur bebas, bahkan meski hatinya sudah lebih dari hancur, tapi ia yakin bahwa keputusannya ini adalah jalan terbaik.

Nyaris seperti gelegar petir yang menguar kencang, sedemikian itu juga silabel kata yang terucap memberi efek terkejut pada diri seorang lelaki berpostur tinggi yang kini berdiri di hadapannya.

Dia Tercengang.

Tertegun.

Terkesiap.

"Are you kidding?"

Pupil mata legam itu semakin pekat, menusuk hati Gaura dengan dalam, namun sorot rapuhnya tak tersembunyikan.

Gaura diam.

Menahan sesak yang sedari tadi mencekik dada, nyaris merenggut detak jantungnya. Bagaimana ia bisa banyak berkata, jika bernafas saja sangat susah rasanya.

Namun keterdiaman itu ternyata malah menimbulkan anggapan berbeda dari sosok di depannya. Kekehan kecilnya terdengar meski singkat. Membuang rasa sesak yang sempat menekan, kemudian dengan santai dia berucap;

"Gue tau, lo gak seserius itu kan dengan ucapan lo barusan?" Tangannya bergerak, ingin menarik gadis itu ke dalam dekap hangat yang ia punya, dekap hangat yang selalu disebut rumah paling nyaman oleh Gaura.

Iya, itu dulu, dan kemarin.

Sekarang, besok-- mungkin tidak lagi.

Gaura menepis tangan kekar itu dengan kasar, membuat alis milik laki-laki itu seketika menukik tajam. Kedua obsidiannya yang menyorotkan kebingungan beradu dengan hazel kembar yang memancarkan kilat halilintar. Percikan amarah dari mata Gaura begitu kentara, namun tak lama semua itu mengabur lantaran cairan beningnya kembali membendung.

"Gue gak bercanda-" Gaura memberi jeda. Mengetatkan dagu dan mengepalkan tangan seolah membangun kekuatan di dalam dirinya.

"Kita selesai, Raja."

Seindah Sabit di BumantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang