Tak lama setelahnya, bunyi petir terdengar saling bersahut-sahutan. Angin kian berhembus kencang, menggoyangkan ranting-ranting pepohonan, membawa lari daun-daun kering ke udara. Dingin semakin menusuk tulang. Orang-orang yang sedang berada di luar berlarian kesana-kemari mencari tempat perteduhan, sembari menutupi kepala dengan tangan, ketika tetes demi tetes air turun dari atas langit, membasahi mereka, meninggalkan bekas buliran air yang mengenai pakaiannya. Awan hitam saling berkumpul dan menggumpal di langit, melindungi sinaran bulan dan kumpulan bintang. Menampilkan pemandangan yang tak sedikit membuat orang berlari ketakutan.
"Oh, iya, Ly. Ibu bawakan makanan yang sudah jadi, supaya kita bisa makan bareng." Ana menaruh beberapa toples berisikan lauk-pauk yang berada di dalam kantong kresek hitam ke atas meja kaca transparan.
Kini, mereka berempat lagi berada di Ruang Keluarga, saling mengobrol ringan, diselingi tawa kecil. Gave sangat tertekan, terus-terusan bertahan menampilkan sifat ramahnya. Beberapa kali ia mengoceh dalam hati, karena kedua mertuanya itu tidak pulang-pulang juga.
"Ya, ampun, Bu. Seharusnya nggak usah, biar aku yang masak disini," ucap Lily, dimana Gave tengah melirik ke arahnya dengan tampang datarnya.
"Nggak, apa, Ly. Ibu emang sengaja, sesekali kita makan bareng." Ana melempar senyum, kepada menantu dan juga putrinya itu bergantian. Ana segera merubah posisi jadi berdiri, sembari memegang dua toples.
"Terimakasih, Bu. Sini, biar aku bantu taruh ke meja makan." Lily mengambil satu toples lagi. "Mari, Bu, kutunjukkan jalannya," lanjutnya, Ana pun mengangguk, kemudian mengikuti langkah kaki Lily. Sehingga menyisakan Gave bersama ayah mertuanya. Canggung. Tentu saja, lantaran Ethan melemparkan tatapan yang tak biasa kepada Gave.
"Gave, ayah minta tolong sama kamu, jaga Lily dengan baik-baik. Ayah sudah memberikanmu kepercayaan untuk menjaga Lily, karena sekarang dia adalah tanggung jawabmu. Ayah mohon, jangan pernah memperlakukan Lily dengan kasar, apalagi sampai melukai fisiknya. Selain menjaga fisiknya, yang terpenting kamu harus bisa menjaga hatinya, kamu juga harus membimbingnya ke jalan yang benar, seperti itulah tugas suami," jelas Ethan, berupa raut serius. Gave hanya terdiam, membisu, ia cuma bisa menganggukan kepala. Melihatnya, Ethan tersenyum.
"Terimakasih, Gave, ayah harap perjodohan ini tidak membuatmu melampiaskan kemarahan ke Lily. Tapi ayah yakin, kamu anak yang baik, tidak mungkin menyakiti perempuan." Habis berkata demikian, Ethan meraih cangkir berisikan teh yang tersisa separuh itu, lalu meminumnya. Gave membuang pandang ke sembarang tempat, tidak ada lagi senyuman yang menghiasi bibirnya.
'Berisik, dari tadi hanya ceramah,' batin Gave, menggerutu.
"Ayah, Gave, ayo makan bareng." Tiba-tiba saja, Lily sudah ada di hadapan mereka. Ethan meletakkan kembali cangkir tersebut ke tempat semula, kemudian bangkit dari duduknya.
"Mari, Gave," ujarnya, kepada lelaki itu. Gave mengangguk, sembari menguraikan senyum paksa.
Saat Lily ingin beranjak, secepat mungkin Gave menarik tangannya, membuatnya langsung menoleh ke sang suami. Gave lebih dulu membiarkan Ethan berjalan duluan, agar ia bisa berbicara dengan istrinya itu, tanpa ada yang bisa mendengarnya, selain hanya mereka berdua. Setelahnya, Gave makin kuat memegang tangan gadis itu.
"Sampai kapan mereka disini?! Kau tahu, aku capek, pengen istirahat," kata Gave, penuh tekanan.
"Eh, kalian berdua kenapa masih diam disitu?" Karena di belakangnya tidak ada siapa-siapa, sontak saja Ethan berbalik badan lagi, untuk mengeceknya. Dan menemui anak serta menantunya itu masih berada di ruang keluarga.
Lekas Gave melepaskan pegangannya dari Lily yang kini sedikit menekukkan wajah. Senyumnya pun mengembang seketika, menunjukkan eyes smile-nya lagi, kepada pria paruh baya itu. "Ah, iya, Yah, ini kami mau kesana kok," ucapnya.
"Ayo, barengan," kata Ethan ramah, terlihat lesung pipi kirinya muncul. Mau tidak mau, Gave mengikutinya. Alhasil, ia tidak jadi berbicara kepada istrinya itu, hanya bisa menatapnya sinis.
Tiba di ruang makan, Gave seakan tidak percaya atas apa yang kini ia lihat. Lauk-pauk bawaan dari sang mertuanya membuatnya tercengang, mengapa tidak, makanan yang ditata di meja tidak satupun pernah ia makan. Di situ, sudah tersedia semur jengkol, sambal petai, ikan asin, sayur bening, dan terong bakar.
"Gave, kenapa diam? Ayo duduk, sini," tegur Ana, sembari mempersilahkan menantunya duduk. Gave mengiyakannya, lalu duduk ke kursinya.
"Sebelum makan, kita berdoa dulu." Ethan mulai memimpin doa, mereka pun segera mengangkat tangan.
"Aamiin," ucapnya, demikian. Setelahnya, barulah mereka bisa makan. Lagi dan lagi, Gave dibuat tercengang, sebab ketiganya makan menggunakan tangan, tidak memakai sendok, hanya mengandalkan air bersih ke dalam wadah kecil, sebagai kobokan bersama.
Gave yang awalnya sudah tidak berselera, semakin dibuat mual. 'Gila, apa-apaan mereka ini, menjijikan!' batinnya, sembari menatap mertua serta istrinya yang begitu menikmati makan malam hari ini.
Melihat sang menantu yang sama sekali tidak menyentuh makanannya, membuat Ana memberhentikan pergerakannya. "Lho, Gave, kenapa belum di makan, apa tidak suka?" tanyanya demikian, sontak saja Ethan maupun Lily menoleh ke arah Gave yang sedang tersenyum kikuk.
"Oh, bukan begitu. Hanya saja, aku belum terbiasa memakan makanan seperti ini," ujarnya.
"Cobain jengkol ini, Gave, pasti kamu akan suka." Ethan menggeserkan mangkok berisikan jengkol tersebut ke hadapan lelaki itu.
Gave menelan ludahnya begitu susah, tatkala makanan yang mengeluarkan bau tak enak itu diletakkan didepannya persis. Ia menatap Lily tajam, seolah memintanya agar bertindak. Lily yang paham soal itu, langsung buka suara.
"Maaf, Yah, tapi kalau dipaksakan, dia akan muntah."
"Oh, ya, kenapa tidak bilang dari tadi?" Gave cuma tersenyum tipis.
"Maafin ibu, ya, Gave, gini jadinya kamu nggak bisa makan. Habisnya ibu tidak tahu, nyesel nggak nanya duluan," sahut Ana, merasa bersalah.
"Tidak apa, Bu."
"Gini saja, aku akan memasak untukmu," ucap Lily, seraya bangkit dari tempat duduknya.
"Ibu bantu, ya."
"Eh, nggak usah. Ayah sama ibu makan aja duluan," tolaknya, halus.
"Biar aku saja yang bantu," ujar Gave, menawarkan diri.
"Nggak usah, biar aku saja."
"Tidak terima penolakan, sayang." Meski terdengar lembut di telinga Ethan juga Ana, tapi tidak bagi Lily. Menurutnya, nada bicara Gave terdengar penuh akan tekanan. Ia dapat melihat dengan jelas, gambaran kesal bercampur marah di balik senyumannya yang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Doll Wife [End]✓
RomanceStory 7 Lily Ainsley Abigail, seorang gadis dari anak sang pembantu dinikahkan dengan anak dari seorang yang memiliki kekayaan berlimpah. Kalingga Gave Nagendra, adalah putra sulung dari marga Nagendra, yang dijodohkan dengan Lily. Dikarenakan adany...