Gave memalingkan badan, menatap jam yang menempel di dinding. "Kamu beruntung kali ini, karena ada orang tuamu disini. Dengan terpaksa, kamu harus tidur di kamar ini, tapi ..." Gave kembali menghadap Lily, sedikit membungkukkan diri, agar semampai dengan tinggi tubuh Lily. Gadis itu nampak tak berkedip, tatkala tatapan suaminya itu seakan menghipnotis dirinya.
Sebetulnya, meskipun mereka menikah karena dijodohkan, tetapi Lily sudah menaruh hati kepada cowok itu, dari awal kali bertemu. Sempat dikira, Gave merupakan sosok laki-laki yang berwibawa dan murah hati, sebab semenjak mereka dipertemukan, Gave selalu melempar senyum lembut kepadanya. Akan tetapi, perkiraannya meleset jauh, sosok yang dikira ramah, ternyata kebalikannya. Namun Lily tidak mau menyerah begitu saja, ia akan terus berusaha mempertahankan rumah tangganya semampunya. Ia juga yakin, suaminya itu nanti akan berubah, keyakinan itulah yang membuat Lily mau bertahan.
"Tapi, aku tetap tidak sudi kamu tidur di kasurku. Aku mau menyuruhmu tidur disini supaya orang tuamu tidak curiga kalau kita sebenarnya pisah kamar, aku tidak mau berdebat dengan orang tuamu yang cerewet itu!" lanjutnya, berupa nada tekanan.
Lily cuma bisa menghela nafas panjang, disaat Gave melempar bantal ke arahnya, dan mengenai wajahnya. "Kamu tidur di lantai, tidak usah banyak protes!" ucap Gave cepat, ketika Lily ingin buka suara.
Gave melepaskan jas yang masih melekat di tubuhnya, bersamaan dengan kemeja, tanpa menghiraukan Lily yang takjub melihat lekuk tubuh pria itu. Pertama kalinya ia melihat dada laki-laki kekar tanpa busana itu membuatnya tak bisa mengalihkan pandang. Bersusah payah Lily menelan air liurnya, betapa mengunggah keimannya saat Gave secara terang-terangan memamerkan roti sobeknya. Teruntuk kedua kalinya, Gave melempar jas beserta kemeja ke arah Lily lagi.
"Cuciin itu sampai bersih!" pintanya, kemudian berjalan ke kamar mandi, dan mengambil handuk yang berada di atas kursi kayu, sebuah kursi yang biasanya ia gunakan untuk bersantai di balkon, sembari menghirup kopi, menikmati pemandangan alam dari lantai dua.
Pintu kamar mandi tertutup rapat, tak lama terdengar suara guyuran air. Lily menghembuskan nafas pankang, sambil menyingkai tirai jendela, buliran-buliran air hujan menetes di balik kaca tersebut. Di luar, angin lumayan berhembus kencang, mengakibatkan dahan-dahan pohon bergoyang. Sunyi. Tidak ada orang yang lalu di depan, layaknya tidak ada kehidupan. Lily kembali menutup tirai itu, kemudian menaruh pakaian kotor Gave ke dalam keranjang kotor.
1 jam sudah berlalu, malam kian larut, mengakibatkan pelupuk mata seakan berat untuk dipaksa di buka. Gave segera berbaring ke kasur, setelah memastikan tubuhnya sudah kering. Ditariknya selimut tebal hingga menutupi setengah tubuhnya, perlahan kedua matanya terpejam.
Lily hanya bisa menatap suaminya, tanpa mau protes. Ia pun meletakkan bantal ke lantai, lalu berbaring di atas dasar keramik, tanpa alas apa pun. Dingin. Itulah pertama kali dirasakannya, telapak kaki maupun tangan turut merasakan hal yang sama. Lily memeluk tubuhnya sendiri, hawa dingin benar-benar menusuk ke tulang. Gave membuka matanya, kemudian mengambil posisi jadi duduk. Dilihatnya di samping, istri kecilnya itu nampak gemetar karena kedinginan, tidak ada alas maupun selimut yang membantu menghangati tubuhnya.
Gave menyingkai sedikit selimutnya, dan turun dari ranjang. Ia berjalan ke arah lemari, dan mengambil dua buah selimut tebal berwarna putih. "Nih, pake!" ucapnya, seraya menyodorkan selimut tersebut.
Sontak saja Lily membuka matanya, ditemukannya sang suami lagi berdiri di ujung kakinya. Lily pun segera duduk, lalu mengambil alih selimut tersebut. "Terimakasih," ucapnya, disertai akan senyuman simpul.
"Tidak usah geer, aku melalukan ini hanya karena tidak mau kamu sakit, kalau sakit siapa yang akan repot? Aku juga 'kan?!" ketusnya, terus merebahkan diri lagi ke ranjang.
Diam-diam Lily tersenyum lagi, sesekali ia curi-curi pandang ke arah cowok itu yang kini matanya mulai terpejam lagi. 'Aku tahu Gave, kamu itu sebenarnya laki-laki yang baik. Oleh karena itu, aku akan terus berusaha untuk mendapatkan hatimu,' batinnya, merasa bahagia.
Lily menggunakan salah satu selimut sebagai alasnya untuk berbaring, sedangkan yang satunya lagi untuk menyelimuti dirinya. Hangat. Rasa dingin yang menjalar ke tubuh tadi sudah sirna dalam sekejap, sekarang Lily bisa tertidur dengan nyaman. Rumah tersebut kini sudah senyap, menyisakan suara guyuran air hujan yang deras, serta suara petir ringan.
Pagi telah tiba, matahari sudah terbit di ufuk timur, meninggalkan embun di dedauan. Cipratan dari derasnya hujan malam tadi mengotori teras rumah, nampak para ibu rumah tangga maupun para ART sedang sibuk membersihkan rumah, ada juga yang lagi menyapu halaman menggunakan sapu lidi.
Suara cuitan burung terdengar saling bersiul ramai, seolah menyambut kehadiran anggota yang baru. Bunga-bunga di perkarangan rumah terlihat bermekaran, sangat elok di pandang mata. Kini, Lily sedang menyiram tanamannya, sambil bernyanyi lembut. Bunga-bunga yang bergoyang di tiup angin seakan ikut mengiringi nada lagu yang dibawakan oleh gadis dengan memakai dress coklat polos tersebut, dimana rambutnya yang kehitaman nan panjang itu berkibar dihembus angin pagi. Tak ayal, para pemuda yang lewat terfokus kepadanya. Kagum. Tak menutup kemungkinan, mereka menyapa gadis itu, dengan ramah Lily membalas sapaan hangat dari mereka.
Tanpa segaja, Gave melihat Lily dari jendela. Ia melayangkan tatapan sinisnya, saat istrinya itu tengah mengobrol dengan seorang cowok muda, seperti anak kuliahan yang sedang menaiki motor. Cowok itu memang sengaja menghentikan motornya, dan memilih untuk menyempatkan diri menyapa Lily, dalam pandangan pertama ia sudah terpikat. Mengapa tidak, Lily memiliki postur wajah yang imut, tak bosan rasanya untuk terus-menerus melihat keindahan di wajahnya.
"Cih, sok ramah," gumam Gave. Ketika dirinya ingin beralih, tak sengaja kakinya mengenai ember kotor bekas pel. Senyum sungging terpatri di bibir, ia kembali melirik ke jendela, dimana kali ini istrinya sedang sendirian.
'Bruk!
Tanpa keraguan, Gave menendang ember berisikan air kotor tersebut, sehingga airnya mengotori lantai yang sudah dibersihkan oleh Lily pagi-pagi sekali. Ia memang lupa air bekas pel tersebut, setelah mengantarkan orang tuanya ke depan rumah waktu itu, untuk berpamitan pulang.
"LILY, KEMARI!" teriak Gave nyaring, mendengarnya, Lily bergegas berlari masuk ke dalam, sehabis mematikan selang.
Lily di buat kaget atas apa yang kini ia lihat, lantai yang tadinya sudah bersih kembali kotor.
"Kamu ini gimana, sih, kenapa yang ini dibiarkan kotor?!" bentak Gave, sambil menendang ember, menggelinding mengenai mata kaki Lily.
"T-tapi tadi aku sudah membersihkan semuanya, mu-mungkin saja itu karena kucing masuk, dan mengenai ember itu," ucap Lily, terbata-bata.
"Halah alasan, bilang saja kamu kelupaan, dasar, suka sekali berbicara omong kosong!" Sehabis berkata demikian, Gave berangsur pergi.
Lily memungut ember tersebut. "Kalau ini karena kucing, pasti ada bekas telapak kakinya, tapi ini tidak ada sama sekali. Lagipula, aku tidak melihat kucing masuk, kalau pun lewat pintu belakang, rasanya tidak mungkin, karena pintu itu masih kututup. Apa ini memang sengaja?" gumamnya, kemudian menatap ke luar lewat jendela, dimana mobil yang dikendalikan oleh Gave itu mulai ke luar dari gerbang, terlihat satu satpam baru menutup kembali pagar besi tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Doll Wife [End]✓
RomanceStory 7 Lily Ainsley Abigail, seorang gadis dari anak sang pembantu dinikahkan dengan anak dari seorang yang memiliki kekayaan berlimpah. Kalingga Gave Nagendra, adalah putra sulung dari marga Nagendra, yang dijodohkan dengan Lily. Dikarenakan adany...