Ketika membenci seseorang karena pengaruhnya dalam hidup kita, ingatlah jika kita pun mungkin berdampak sama pada hidup orang lain. Karena sesungguhnya setiap manusia adalah ujian bagi manusia lainnya
🌸🌸🌸
Suara mesin mobil terdengar memenuhi halaman rumah Nurul Aini. Rahman memang baru saja memanasi carry merah milik keluarganya itu. Bersiap untuk mengantarkan pesanan pertama katering mereka hari ini.Sembari menunggu, Rahman mengecek ponsel. Memastikan sudah ada pesan balasan atau belum dari temannya yang hendak menjual motor. Begitu mendapat izin dari Maudy kemarin, ia langsung gerak cepat menghubungi temannya tersebut. Semakin cepat ia bisa melihat kondisi kendaraan tersebut, semakin cepat ia bisa memutuskan untuk membelinya atau tidak.
"Mas Rahman, pagi-pagi udah umek (sibuk) sama hape aja, sih?" tegur Salma yang baru keluar dari rumah. Disusul Salwa di belakangnya, kedua gadis itu memakai seragam putih abu-abu. Bersiap untuk berangkat sekolah.
"Urusan penting," jawab Rahman tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Tangannya juga sibuk mengetik sesuatu untuk membalas pesan yang baru diterimanya.
"Janjian sama Mbak Maudy, ya?" goda Salma seraya mendekat. Berpura-pura hendak mengintip ponsel sang kakak sepupu. Namun, Rahman tidak menghindar, justru membiarkan saja tingkah keponakannya itu.
"Ngapain janjian segala? Tiap hari juga udah ketemu di rumah," jawabnya santai hingga membuat Salwa yang sedari tadi diam jadi ikut tertarik. Kini dua sepupu kembar Rahman itu mengerubunginya, penasaran dengan urusan penting yang sedang Rahman geluti. Sesuatu yang tidak berhubungan dengan Maudy, tapi bisa membuatnya begitu serius menghadap ponsel. Padahal, biasanya Rahman tidak terlalu suka mengutak atik benda tersebut.
"Mas Rahman nggak selingkuh, kan?" Salwa bertanya tapi terdengar seperti menebak-nebak.
"Hush, ngawur aja kalau ngomong. Naudzubillahi mindzalik," sergah Rahman cepat.
Salma dan Salwa kompak cekikikan. Itu memang kemungkinan yang sangat kecil. Bahkan mereka yakin hampir tidak ada. Bukannya meremehkan, tapi di luar pegangan agama, Rahman juga tidak termasuk kriteria yang diincar perempuan. Nggak kaya, tampang biasa-biasa saja dan terus terang sikapnya seringkali menjengkelkan. Walaupun bagi kedua gadis itu Rahman justru sangat menyenangkan unyuk dijahili. Lagipula pria itu tidak akan membiarkan si kembar yang tengah kepo bisa melihat begitu saja isi chat-nya kalau itu adalah hal yang buruk.
"Ya, siapa tahu meski namanya di situ Seno aslinya Susi," celetuk Salma yang bisa melihat sekilas pemilik nama yang mengirimi Rahman pesan.
"Ya emang namanya Seno. Kalau penasaran pakai banget sekalian kalian aja yang berbalas pesan sama dia, nih." Rahman menyerahkan ponselnya alih-alih marah. "Dia mau jual motornya. Dan kebetulan aku pun lagi cari motor."
"Pakai punya Pakde, kan, bisa, Mas," ujar Salwa. "Nggak ada yang pakai juga."
Di rumah tersebut memang ada motor matik peninggalan Lukman Husein. Sesekali memang Rahman memakainya jika memang dibutuhkan. Namun, selebihnya motor itu lebih banyak berdiam di garasi. Si kembar memang bisa mengendarai motor tapi merasa tidak terlalu membutuhkannya. Kedua gadis itu tipikal anak rumahan yang jarang keluar.
"Aku sekalian bantuin temen. Itu motor Bapak kalian aja yang pakai," jawab Rahman beralasan.
"Iya, deh, yang pengin pacaran sama Mbak Maudy. Kalau harus minjem dulu bikin lama. Keburu kebelet bermesraan," celetuk Salma dengan kejailannya yang tidak pernah absen. Ia mengerling pada saudarinya yang segera kompak melayangkan senyum jail.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Pukul Empat
RomanceDalam hidup Rahman, jodoh bukanlah prioritas. Ia percaya seseorang akan hadir jika waktu dan sosoknya telah pantas. Namun, suara merdu Maudy yang kerap ia dengar melantunkan ayat suci nyatanya berhasil membuat Rahman terjerat, meski hatinya bersike...