Banyak rencana indah Tuhan yang hadir berupa banyak kebetulan dalam hidup, agar manusia percaya bahwa dalam kesulitan seberat apa pun, cahaya keajaiban tak pernah redup.
💮💮💮
"Man, jadinya kapan kamu mau ketemu sama Maudy?" Pertanyaan Nurul Aini menghentikan kegiatan Rahman yang tengah menurunkan belanjaan dari mobil.
Beberapa hari yang lalu Rahman memang sempat bertemu dengan Maudy di pasar. Namun, hanya itu. Maudy menolak sewaktu Salma dan Salwa menawarinya pulang bersama. Bagi Rahman, itu justru lebih baik karena ia jadi tak perlu bingung bersikap saat bersama gadis itu.
Rahman jujur masih bingung. Ia sama sekali tidak memiliki kemantapan hati untuk mengenal Maudy lebih jauh, apalagi menikahinya. Baginya, gadis itu tetap gadis kaya sombong dan egois yang dulu pernah mempermalukan dirinya sendiri. Kalaupun saat ini Maudy berhijab, Rahman masih berkeyakinan jika penampilan tidak menjamin perubahan yang sesungguhnya pada diri seseorang.
Beruntung si kembar bukan tipikal orang yang suka bergosip. Mereka tidak menceritakan pertemuan singkat itu pada Nurul Aini. Namun, diceritakan atau tidak, tampaknya sama sekali tidak berpengaruh sebab sampai hari ini pun ibunya itu masih menanyakan hal yang sama.
"Sakkersane ibu mawon pun(terserah ibu saja)," jawab Rahman. Ia tidak bisa mengarang alasan untuk terus-menerus menghindar. Alhasil, ia memilih untuk menyerahkan keputusan pada sang ibu saja.
"Ya sudah, nanti sore kita ke sana," tukas Nurul Aini seraya tersenyum puas. Rahman bisa melihat ibunya itu begitu senang dengan fakta jika Maudy akan menjadi menantunya. Ia yakin, kalaupun masih ada, ayahnya pun akan bersikap sama. Kalau tidak, mana mungkin pria itu sampai mewasiatkan pernikahan mereka.
Rahman lalu membawa masuk beberapa kantong berisi sayuran, bumbu dapur dan daging menuju dapur khusus katering. Ruangan yang besarnya dua kali lipat dari dapur pribadi keluarganya. Di sana, tak hanya berbagai bahan makanan yang tampak bertumpuk dan tiga kompor besar yang menghasilkan berbagai makanan, tetapi juga tiga orang perempuan seusia ibunya yang tengah sibuk memasak. Mereka adalah para pegawai Nurul Aini yang sudah bekerja dari sejak usaha itu berdiri. Para pegawai setia.
"Mas Rahman, kentangnya langsung ditaruh dekat ember saja. Habis ini mau saya kupas," pinta Sarinah, perempuan berdaster batik dan rambutnya digelung kecil yang rumahnya tepat di sebelah rumah Rahman.
Rahman menurut dan meletakkan dua kantung besar berisi kentang ke tempat yang dimaksud. Ditengoknya kedua perempuan yang lain. Mutini, perempuan pendiam yang saat itu tengah sibuk mengiris bawang merah dan Erni, perempuan murah senyum yang begitu cekatan mencincang daging.
Dapur itu sudah penuh kesibukan begitu Rahman berangkat ke pasar tadi. Saat tahu Nurul Aini kembali membuka layanan kateringnya, para pelanggan tak menunggu lama untuk kembali memesan makanan. Terutama langganan tetap seperti kantin salah satu pabrik di dekat tempat tinggalnya.
Rezeki, orang biasa menyebutnya. Walaupun tetap dibutuhkan doa dan usaha untuk mendapatkannya. Nurul Aini mendapat satu bonus dengan memiliki keahlian memasak yang jempolan.
"Man, kamu mau ngapain?" tanya Nurul Aini sewaktu melihat putranya menyingsingkan lengan baju dan hendak berjongkok di depan sekantung besar wortel. "Bagian kamu itu transportasi dan distribusi saja. Nggak perlu ikutan masak."
Rahman urung melakukan niatnya dan tersenyum malu. Digaruknya kepala yang tidak gatal sewaktu ketiga perempuan yang tadinya tengah sibuk memasak jadi beralih fokus padanya.
"Daripada nggak ngapa-ngapain, Bu."
"Kamu sarapan aja dulu. Terus siapin diri buat nanti sore," ucapan Nurul Aini ikut menarik perhatian para pegawainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Pukul Empat
RomanceDalam hidup Rahman, jodoh bukanlah prioritas. Ia percaya seseorang akan hadir jika waktu dan sosoknya telah pantas. Namun, suara merdu Maudy yang kerap ia dengar melantunkan ayat suci nyatanya berhasil membuat Rahman terjerat, meski hatinya bersike...