Bab 18 : Sosok Lama

226 64 13
                                    

Memaafkan bukan berarti hanya menerima kesalahan yang pernah dilakukan. Namun, memaafkan juga berarti menutup kesempatan untuk kembali dikecewakan. Sebab, tak ada penyesalan yang sengaja diulang.

🌸🌸🌸

"Maudy?"

Evan yang hendak berdiri dari kursinya sama-sama terkejut mendapati pasien yang akan ia tangani adalah Maudy dan sang ibu. Meski begitu, ada binar kelegaan di kedua mata dokter muda tersebut. Hal itulah yang menerbitkan senyum di bibirnya, tetapi respon dua perempuan di hadapannya itu sama sekali tidak sesuai harapan. Walaupun sebenarnya Evan sudah menduga hal tersebut.

Maudy yang sudah bisa menguasai emosinya mengabaikan suara dan senyuman Evan. Tanpa berkata-kata ia segera memutar kursi roda sang ibu. Ia tidak perlu waktu lama untuk memutuskan bahwa mereka harus pergi dari sana.

"Ada apa, Maudy?" tanya Safitri yang kebingungan dengan terbata.

Sudah enam tahun berlalu. Evan sendiri cukup berubah dari yang terakhir kali Maudy ingat. Dalam balutan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leher, wajar Safitri tak mengingatnya. Sebab Evan yang dulu perempuan itu lihat adalah pemuda cuek yang terlalu santai dengan penampilan. Namun, Maudy tidak pernah lupa. Senyum berlesung pipi itu masih sama. Senyum yang dulu memikatnya. Hanya saja, saat ini bukan hal itu yang membuat Maudy seketika mengenali Evan, melainkan tatapan sayu yang dulu menjanjikan kesetiaan pada Maudy, tetapi nyatanya membuat gadis itu justru kehilangan hal-hal berharga dalam hidup. Dan, Maudy membencinya.

"Kita kembali saat dokter Rega sudah praktek lagi aja, ya, Bu," jawab Maudy.

"Kenapa, Nduk?"

Maudy tadinya hendak menyembunyikan fakta tentang dokter baru di hadapan mereka. Ia tidak ingin ibunya teringat kembali dengan kenangan buruk mereka.
Namun, setelah memberi isyarat agar susternya meninggalkan ruangan, Evan justru menghadang kursi roda Safitri dan segera berlutut di hadapan perempuan itu.

"Bu, saya benar-benar minta maaf untuk kesalahan saya dulu."

Safitri tidak serta merta mengerti dan justru memandang bingung pada Evan.

"Dokter kenapa?" tanyanya.

"Saya Evan, Bu. Saya kekasih Maudy dulu." Jawaban Evan tersebut membuat Safitri terdiam, seolah tengah menggali ingatan yang Maudy yakini telah dikuburnya dalam-dalam. Evan menunggu dengan sabar, hingga akhirnya pandangan Safitri padanya berubah.

"Maudy, ayo kita pulang!" Safitri berusaha keras mengatakan keinginannya untuk pergi dari sana. Hantu masa lalu yang menyergap sewaktu ingatan tentang Evan kembali membuat Safitri tak tahan. Bagaimana bisa pemuda kurang ajar yang sudah memporakporandakan kehidupan keluarganya itu bisa berkata setenang itu? Menyebut dirinya kekasih Maudy saat yang ia lakukan dulu lebih pantas disebut pengecut. Sesuatu yang seharusnya membuat dokter muda itu malu untuk sekadar menampakkan wajah.

Maudy menuruti keinginan sang ibu dan terus mendorong kursi roda itu menuju keluar. Namun, dengan sigap Evan kembali mencegah mereka berdua. Kali ini, ia bahkan berusaha mencekal lengan Maudy yang berhasil gadis itu hindari.

"Maaf, saya sudah bersuami. Mohon dokter menjaga sikap." Maudy memasang topeng sebagai orang asing, seolah mereka tidak pernah mengenal sebelumnya.

Ucapan Maudy membuat efek yang bagus untuk Evan. Lelaki itu tertegun. Ada sedikit keterkejutan dalam raut wajahnya yang dengan segera berusaha ia sembunyikan.

"Oh, maaf. Aku hanya merasa senang karena akhirnya bisa bertemu kalian lagi."

Maudy tidak menggubris pernyataan itu dan tetap bersikap bak orang asing pada Evan.

Gadis Pukul EmpatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang