Bersedih hati bukanlah pilihan dalam menghadapi kegagalan, sebab tangis terkadang memiliki ujung yang membahagiakan.
🌸🌸🌸
Rahman berdiri mematung di depan seorang pramuniaga berhijab yang baru saja membeberkan belasan kerudung beraneka model dan warna di hadapannya. Ia bingung dan hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Saran dari si kembarlah yang membuat Rahman berakhir di salah satu toko kerudung yang cukup terkenal di tempat tinggalnya. Tadinya Salma dan Salwa mengusulkan sebuah mesin jahit baru, tetapi mengingat harga benda tersebut jauh dari bujet Rahman yang belum gajian, pilihan akhirnya berpindah pada kerudung. Opsi yang dirasa lebih murah, mudah dan tetap bermanfaat. Maka, jadilah sepulang kerja ia meluncur ke toko kerudung setelah sebelumnya mengabari Maudy akan pulang agak terlambat.
Terakhir kali Rahman membeli kerudung adalah saat Nurul Aini hendak memberi hadiah bagi para pelanggan kateringnya di hari raya. Itupun ia ditemani oleh sang ibu. Rahman hanya mengantar dan membantu membawakan barangnya. Sekarang, ketika ia sendirian dihadapkan pada pilihan kerudung berbagai model tersebut, Rahman seketika merasa pusing.
Maudy yang sekarang memang lebih suka tampil sederhana, tapi tentunya tidak akan terasa istimewa jika Rahman memilih benda yang biasa saja. Sayangnya, ia tidak tahu bagaimana memilih kerudung yang istimewa. Ia tidak tahu tentang tren, dan tidak yakin dengan selera Maudy yang sesungguhnya. Bisa jadi gadis itu masih memiliki selera yang bagus dalam berbusana seperti saat masih kaya dulu, hanya saja saat ini keadaan yang membuatnya memilih hidup apa adanya.
"Mbak, yang bagus kira-kira yang mana, ya?" tanya Rahman polos, membuat pramuniaga di depannya tersenyum maklum.
"Semuanya bagus, Mas. Tergantung selera saja. Tidak harus mengikuti tren, kok."
Rahman justru semakin bingung dengan jawaban sang pramuniaga. Ia kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal sebelum akhirnya memutuskan.
"Ehm, begini aja, deh, Mbak. Kira-kira yang cocok buat perempuan yang sederhana, tapi cerdas dan pengertian itu yang mana?"
Sang pramuniaga kembali tersenyum, tetapi kali ini lebih ke geli. "Sebenarnya ini buat siapa, Mas? Istrinya?"
Rahman mengangguk dengan cepat. Begitulah gambaran Maudy baginya.
"Sebenarnya saya kepikiran bunga pukul empat, Mbak. Tapi kayanya warna merahnya terlalu mencolok, ya." Rahman tidak peduli meski ia terdengar seperti tengah berkonsultasi atau mencurahkan hati.
Masih dengan tersenyum, sang pramuniaga lalu memilihkan tiga buah kerudung dari tumpukan kerudung yang tadi ia tawarkan pada Rahman. Disodorkannya ketiga benda itu seraya memberi sedikit penjelasan.
"Nggak harus warna merah mencolok, Mas. Ini juga bisa. Merah muda, tapi kalem." Ditunjukkannya kerudung-kerudung yang warnanya memang senada tersebut. Hanya modelnya yang berbeda.
Rahman mengamati ketiga kerudung yang ditawarkan. Satu persatu disentuhnya lembaran kain tersebut. Setelah cukup lama menimbang-nimbang, akhirnya ia tertarik pada pilihan terakhir. Sebuah kerudung segiempat berbahan chiffon dengan bordiran bunga-bunga kecil berwarna putih di tepinya.
Rahman teringat pada salah satu bunga pukul empat yang pernah dilihatnya. Berwarna putih dengan semburan warna merah muda. Seketika ia seolah bisa mencium semerbak wangi bunga tersebut, juga lantunan suara mengaji Maudy. Baginya, ingatan itulah yang membuat kerudung tersebut terasa istimewa. Tak jadi masalah jika Maudy tak menganggap hal yang sama. Lagipula, tujuan awal Rahman membeli hadiah adalah sebagai permintaan maaf soal ucapan Dedi tempo hari. Maudy memang bersikeras sudah memaafkan, tapi Rahman merasa belum sepenuhnya yakin. Namun, Maudy tak perlu tahu tentang itu. Istrinya itu hanya perlu menganggapnya sebagai hadiah belaka.
"Saya pilih yang ini aja, deh, Mbak," putus Rahman.
Sang pramuniaga mengangguk lalu segera membungkus kerudung pilihan Rahman. Segera setelah membayarnya, Rahman melangkah pulang dengan tak sabar. Dalam hati ia berharap Maudy akan menyukai hadiah darinya.
***
Maudy duduk di samping Safitri, menunggu namanya dipanggil masuk ke ruangan dokter. Masih ada tiga orang dalam antrean yang juga masih menanti giliran.Hari ini sebenarnya bukan jadwal cek rutin Safitri. Namun, berita duka datang dari dokter yang menangani ibunya itu. Dokter Rega, begitulah namanya, mengalami kecelakaan. Poli syaraf sementara diambil alih oleh dokter baru yang belum pernah Maudy temui. Perawat yang ia tanyai hanya menginformasikan jadwal praktek yang berbeda hari dan memintanya datang sesuai jadwal baru yang ditentukan.
Ponsel Maudy bergetar beberapa kali. Dilihatnya Rahman yang mengirim pesan. Ia sudah mengabari suaminya itu jika akan pergi mengantar ibunya cek rutin. Maudy sengaja baru mengatakan setelah Rahman mengabari akan pulang sedikit terlambat. Ia tidak mau merepotkan suaminya yang pasti lelah sehabis bekerja. Beruntung Rahman mengizinkan dengan syarat ia akan menjemput jika Maudy dan Safitri pulang lebih dari jam delapan malam. Maudy mengiakan dengan keyakinan jika mereka bisa pulang sebelum jam delapan. Terlebih antrean pasien saat itu tidak begitu banyak.
Mengingat Rahman membuat Maudy otomatis tersenyum. Ia tidak bisa menjabarkan perasaannya. Hanya saja ia merasa senang dan nyaman setiap kali terkait dengan Rahman. Insiden kecil mengenai ucapan Dedi tempo hari memang mengusiknya, tetapi Maudy tidak betul-betul memikirkan hal itu setelah Rahman tetap bersikap baik padanya. Tak ada yang berubah seolah semua ucapan buruk mengenai masa lalu Maudy kini tak berpengaruh apa pun pada Rahman. Dan, Maudy benar-benar mensyukuri hal tersebut.
Suara suster memanggil nama pasien yang giliran masuk memutus lamunan Maudy. Tinggal dua lagi sebelum nomor urut Maudy dan Safitri.
Sembari menunggu, Maudy mengedarkan pandang. Tidak ada sesuatu yang istimewa. Lalu lalang orang-orang dengan beragam tujuan mewarnai tempat itu. Seragam hijau milik para perawat yang hilir mudik mendominasi. Puas mengamati, tatapan Maudy beralih pada papan nama yang tergantung di pintu ruangan dokter Rega. Namanya masih sama sehingga hanya ada satu kemungkinan mengenai dokter baru tersebut. Ruangan itu hanya dipakainya sementara dan dia akan memiliki ruangan sendiri begitu dokter Rega kembali. Apa pun itu, Maudy jadi tidak bisa mengetahui siapa nama dokter baru tersebut. Kebetulan juga para perawat tidak terdengar menyebutkan namanya.
Tak terasa penantian Maudy berakhir ketika suster akhirnya memanggil nama Safitri. Maudy bangkit lalu mendorong kursi roda Safitri memasuki ruangan dokter Rega. Suasana hatinya tengah bagus sehingga ia tersenyum begitu ramah saat menyapa suster yang memanggilnya tadi. Namun, senyum itu seketika menghilang ketika suster menutup pintu dan Maudy bisa melihat dengan jelas sosok dokter baru tersebut.
Dia, laki-laki yang kini juga mematung menatap Maudy. Laki-laki yang paling tidak ingin Maudy temui lagi di hidupnya.
***
Halo, Para Pembaca Setia. Kangen nggak sama Maudy dan Rahman? Moga-moga nggak lupa sama mereka karena saya kelamaan update, ya. Hehehe.
Jangan lupa tinggalkan jejak juga, ya.
Salam Baca 😉
Suki
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Pukul Empat
RomanceDalam hidup Rahman, jodoh bukanlah prioritas. Ia percaya seseorang akan hadir jika waktu dan sosoknya telah pantas. Namun, suara merdu Maudy yang kerap ia dengar melantunkan ayat suci nyatanya berhasil membuat Rahman terjerat, meski hatinya bersike...