Bab 10 : Perlahan

292 64 20
                                    

Hidup itu bukan hanya tentang siapa cepat dia dapat,
tapi juga mengenai kesabaran dalam menapaki jalan

🌸🌸🌸

Suara lantunan ayat suci itu kembali terdengar ketika Rahman tiba di rumah. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul empat. Ia mulai terbiasa dengan hal itu, bahkan jika boleh mengakui, ia justru menyukainya. Oleh karena itu, ia tidak merasa kesal saat yang menyambut kedatangannya dan menjawab salam adalah Safitri bukannya Maudy.

Beberapa hari ini Rahman semakin menjaga jarak dengan istrinya itu. Bukan tanpa alasan, justru alasannya begitu jelas. Hanya saja, keraguan serta kesombongan tak kentara di hati Rahman yang membuatnya tak terakui. Percakapan dengan Joko tempo hari membekas di benaknya. Awalnya, ia berusaha keras menyangkal tentang kesimpulan yang muncul, bahwa dirinya tak lebih baik dari anggapannya terhadap Maudy. Namun, mau tak mau keyakinan itu terus memudar. 

"Mas Rahman, maaf jadi ibu yang menyambut." Maudy muncul dengan nada suara yang terdengar merasa bersalah. Gadis itu buru-buru meninggalkan Rahman yang masih melepas penat menuju dapur. Tak lama kemudian, ia sudah kembali dengan secangkir teh manis hangat.

Satu contoh kecil. Tidak peduli bagaimana kondisi hati Rahman saat tiba di rumah, Maudy selalu menyambutnya dengan senyum. Secangkir teh manis hangat itu pun tak pernah lupa disajikan. Gadis itu tidak pernah protes sekali pun Rahman pernah tak menyentuh teh buatannya sama sekali. Padahal, dari cerita teman-teman Rahman yang sudah berkeluarga dan tak segan berbagi cerita kehidupan rumah tangga mereka, perempuan terlebih istri akan senang dan merasa dihargai dengan perlakuan kecil sekali pun. Kalau para suami tak bisa melakukannya, ngambek atau diam seribu bahasa adalah hasil akhir yang akan didapat. Namun, Rahman tidak pernah sekali pun melihat istrinya bersikap demikian. Maudy bahkan masih bersikap tenang sewaktu Rahman mencecarnya dengan tuduhan sebagai tukang pengadu beberapa waktu sebelumnya.

Maudy kembali masuk ke dapur untuk menyiapkan makanan, sementara Rahman meraih cangkir minumannya dan mulai menyesap isinya ketika terdengar suara perempuan mengucapkan salam dari luar rumah. Suaranya lebih dari satu orang dan Rahman mengenalinya. Ia hanya tidak tahu tujuan kedatangan mereka.

Rahman meletakkan cangkirnya, lalu bangkit untuk membukakan pintu sembari membalas salam. Di baliknya, tampak Salma dan Salwa menyunggingkan senyum melihat sang tuan rumah. Si kembar tersebut tampak segar dengan baju warna hijau muda mereka, sekaligus menyadarkan Rahman jika keduanya sudah berganti pakaian. Seingatnya bukan busana itu yang mereka kenakan saat Rahman pamit pulang tadi. Bukan hal yang aneh sebenarnya.

"Lho, ada apa, nih? Tumben sore-sore begini ke sini?" Rahman mempersilahkan keduanya masuk dan menanyai alasan kedatangan mereka. 

Salma, yang seperti biasa selalu lebih banyak bicara pun menyahut. "Arep nyilih (mau pinjam) Mbak Maudy."

Rahman mengernyit bersamaan dengan sepupu kembarnya itu beriringan masuk dan segera menempati kursi-kursi di ruang tamu.

"Hush! Memangnya istriku barang, kok, dipinjem-pinjem," sergah Rahman. Namun, ia tidak menyangka kalimatnya justru memancing senyum si kembar.

"Cie-cie, istriku katanya, Wa." Salma menyenggol lengan saudarinya yang ikut menebar senyum. Lebih tepatnya senyum menggoda kakak sepupunya yang baru saja kelepasan bicara.

Rahman mendadak merasa malu. Kata-kata itu terucap tanpa sadar, tetapi mampu membuatnya merasakan keanehan di dada. Seharusnya tidak ada perasaan seperti itu, mengingat Maudy bukanlah orang yang bisa membuat hatinya berdesir. Ia pun kebingungan merespon candaan kedua sepupunya itu. Takut kembali salah bicara.

"Eh, Salma, Salwa. Tumben ke sini?" Akhirnya Maudy muncul karena mendengar suara orang lain di ruang tamunya. Gadis itu langsung dihadiahi pelukan oleh Salma dan Salwa. "Wah, pakai peluk segala. Ada kabar baik, ya?"

Gadis Pukul EmpatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang