Bab 1 : Pulang

739 86 24
                                    

Sejatinya tak ada namanya kehilangan.
Sebab hidup hanya persinggahan
dan semua yang dimiliki hanya titipan.

💮💮💮


Man, menikahlah dengan Maudy.

Kedua mata Rahman asyik menikmati pemandangan yang tersaji sepanjang perjalanan kereta Gajayana yang ditumpanginya. Tubuh bagian kanan bersandar pada jendela, sementara dagunya bertopang pada sebelah tangan. Sejatinya, ia tak benar-benar larut dalam keindahan panorama yang silih berganti seiring kereta melaju. Kepala laki-laki itu masih dipenuhi wasiat sang ayah, Lukman Hussein, yang menginginkan dirinya menikah dengan gadis pilihan beliau.

Rahman mengembuskan napas panjang. Menikah memang menjadi salah satu tujuan hidupnya. Ia pun tak keberatan meski harus mendapatkan calon pendamping melalui orangtuanya. Namun, kenapa harus Maudy?

Tinggal terpisah selama bertahun-tahun dari orangtuanya tak membuat Rahman mendadak asing dengan mereka. Sang ibu, Nurul Aini, tetaplah perempuan penyabar yang masakannya sungguh nikmat. Sang ayah juga tetap laki-laki paling pengertian yang pernah Rahman kenal. Di saat orangtua lain gencar menuntut anak-anak mereka segera berumahtangga begitu usianya lebih dari 25 tahun, orangtua Rahman justru tak pernah membahasnya. Mungkin, sesekali mereka akan bertanya, tetapi tak pernah sampai membuat Rahman jengah. Dengan begitu, ia bisa fokus mengembangkan karir di ibukota sehingga perempuan idaman otomatis akan lebih mudah didapatkan. Lukman Hussein dan Nurul Aini tidak pernah membebani sang putra dengan apa pun.

Namun, kabar sakit mendadak yang diderita Lukman membuat Rahman terkejut. Ayahnya itu tampak selalu sehat ketika ia berkunjung. Tak ada penyakit bawaan apa pun. Saat itu, Rahman bergegas mengambil cuti dan pulang ke Malang. Ia bersyukur karena kondisi Lukman tidak parah. Mereka bahkan masih sempat mengobrol banyak hal termasuk rencana masa depan Rahman.

Percakapan demi percakapan antara ayah dan anak itu menyadarkan Rahman dengan telak. Ternyata tahun demi tahun yang ia lalui di Jakarta sama sekali tak membuahkan hasil maksimal. Ia masih karyawan kantor dengan gaji standar. Jangankan memiliki kendaraan, tempat tinggal saja Rahman masih menyewa. Jangan tanya calon istri, karena Rahman sering ditolak perempuan bahkan sebelum ia memulai pendekatan.

Teman-teman Rahman banyak yang bilang jika ia terlalu tinggi meninggikan standar. Di ibukota, dengan semua kestandaran yang dimiliki olehnya, bisa berkenalan dengan perempuan cantik saja sudah bagus, tetapi Rahman dengan begitu percaya diri justru mensyaratkan banyak hal. Perempuan yang ia dambakan haruslah bisa mengaji, rajin beribadah dan pandai menjaga diri. Kalaupun ada, Rahman sering kalah start dari orang lain. Namun, ia tidak peduli dan bersikukuh dengan keinginannya. Ia bahkan tak segan menolak beberapa perempuan cantik yang mendekatinya hanya karena mereka masih suka ber'hahahihi' dengan laki-laki lain. Dan, ayahnya justru meminta Rahman menikah dengan Maudy?

Suara lengkingan panjang mengejutkan Rahman dari lamunan. Tak lama laju kereta mulai berkurang dan akhirnya berhenti. Penumpang yang lain bergegas, tetapi Rahman memilih berada di barisan akhir. Tidak ada yang membuatnya tergesa-gesa. Momen ketika ia turun dari kereta dan memandangi stasiun dengan penuh rindu telah ia rasakan dua minggu yang lalu, bertepatan dengan kedatangannya menjenguk sang ayah. Sekarang, perasaan yang muncul berbeda. Bukan karena ia enggan kembali ke kampung halaman, karena Rahman justru selalu merindukan kebersamaan dengan sang ibu. Bukan pula karena ia tak bersedih atas kepergian sang ayah. Semuanya lebih karena wasiat Lukman Hussein.

Beberapa saat kemudian kaki Rahman telah melangkah meninggalkan kereta. Tak ada yang menyambutnya. Tak jadi masalah sebab Rahman bukan orang asing. Satu-satunya yang menjadi masalah adalah nama yang kini memenuhi kepalanya begitu wasiat sang ayah kembali menyeruak ke ingatan.
Maudy. Tidak adakah perempuan lain yang lebih baik?

Gadis Pukul EmpatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang