Bab 14 : Membenci

236 61 22
                                    

Bukanlah sebuah kejahatan untuk membenci seseorang, tetapi nyata keburukan ketika tak mau berusaha memperbaiki keadaan.

🌸🌸🌸

"Sebenarnya kita mau ke mana, Mas?" Maudy tak dapat menahan rasa ingin tahu sejak Rahman membawanya pergi malam ini. Tidak ada acara khusus yang perlu mereka hadiri, dan tidak ada keperluan penting yang mengharuskan keduanya sampai keluar dan menyerahkan penjagaan Safitri pada si kembar. Namun, sejak dari berangkat tadi, Rahman tak mau memberitahunya. Maudy yang tidak suka memaksa pun memilih diam hingga akhirnya motor matik yang mereka kendarai berhenti di depan sebuah rumah makan.

"Mau ke sini," jawab Rahman santai. Ia memarkirkan motor yang dipinjamnya dari si kembar itu di ujung barisan kendaraan lain yang ada di halaman rumah makan tersebut.

Maudy tertegun. Dipandanginya papan nama rumah makan masakan padang di hadapannya. Ia masih tidak mengerti alasan mereka harus datang ke tempat ini.

"Ayo!" ajak Rahman setelah selesai memarkir motor. Ia berjalan lebih dulu sementara Maudy mengikutinya, masih dengan perasaan heran.

Setelah masuk dan menempati salah satu meja, para pelayan segera datang menyajikan makanan. Pelayan-pelayan tersebut membawa beragam lauk dalam piring-piring kecil yang ditata bertumpuk di lengan mereka. Dalam sekejap, meja di hadapan Maudy dan Rahman yang tadinya kosong kini dipenuhi aneka makanan.

"Nah, selamat makan. Silakan pilih mana saja yang kamu suka." Rahman tersenyum mempersilakan Maudy untuk mulai menikmati makanan yang tersaji. Namun, Maudy tidak mengindahkannya dan masih menuntut jawaban.

"Mas, sebenarnya ada acara apa, sih? Aku bingung."

"Makan dulu aja. Nanti aku jawab." Rahman sengaja membiarkan istrinya terusik oleh teka-teki. Namun, Maudy tak lagi bertanya dan menurut. Gadis itu pun mulai memilih lauk untuk makanannya.

Rahman menyantap rendang daging dengan lahap, sementara Maudy menikmati sepotong ayam pop dan memenuhi nasi di piringnya dengan kuah kental. Semua dilakukan dalam diam. Barulah saat dua gelas besar es jeruk muncul menjadi pelepas dahaga, Rahman pun kembali berbicara.

"Kamu suka makanan di sini?" tanya Rahman, meski sejatinya jawaban yang ia inginkan bisa didapatnya dari cara Maudy menikmati makanan. Bukannya terlalu lahap, hanya saja gadis itu jelas tak akan menghabiskan lauknya jika tak suka.

"Sebenarnya ada apa, sih, Mas?" Maudy melontarkan kembali pertanyaannya yang sedari tadi tak terjawab. Ia sudah menuruti kata-kata Rahman untuk menunggu hingga mereka selesai makan. Membahas suka atau tidak akan makanan yang sudah habis mereka nikmati bukan hal yang ingin ia bahas.

Rahman tak serta merta bersuara. Ia justru hanya tersenyum, sengaja membuat Maudy penasaran.

"Mas," panggil Maudy. "Jangan bikin aku berpikiran yang nggak-nggak."

Senyum Rahman semakin lebar. Mengajak sang istri makan malam di luar ternyata berhasil membuat Maudy kembali bicara lebih banyak dengannya. Rasa penasaran membuat gadis itu lupa jika beberapa hari ini dia begitu irit bicara pada sang suami. Meskipun tujuan Rahman sebenarnya membawa Maudy pergi bukan hanya untuk hal itu.

"Maaf kalau ini sedikit terlambat, tapi kamu bisa anggap makan malam ini hadiah dariku." Rahman akhirnya mengungkap alasannya, "atas kemenangan kamu di lomba kemarin."

Maudy terdiam. Belum sepenuhnya percaya dengan ucapan Rahman. Rasanya terlalu aneh. Suaminya itu selama ini tidak terlalu perhatian padanya, meski tidak bisa dibilang cuek juga. Maudy tentu saja senang, tapi ia masih ingat untuk tak membiarkan dirinya terlalu berharap.

Gadis Pukul EmpatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang