Menjadi sempurna itu melelahkan, tetapi membiarkan ketidaksempurnaan juga bukan pilihan yang menyenangkan.
🌸🌸🌸
Rahman baru saja keluar dari mobil Carry merah yang ia parkir di halaman depan rumah ibunya ketika Salma muncul. Senyum ceria menghiasi wajah bulat gadis itu. Dari tangannya terulur selembar kertas tebal bermotif bunga-bunga merah muda.
"Undangan buat Mas Rahman," ujar Salma, bahkan sebelum Rahman memasuki pintu. Memang banyak teman yang masih menghubungi Rahman lewat sang ibu, termasuk mengirim undangan ke rumah Nurul Aini. Hanya segelintir saja yang tahu jika ia sudah tinggal di rumah yang berbeda.
Diterimanya benda itu, lalu Rahman berusaha mengingat sosok pemilik nama yang tercetak dalam undangan. Sejak menetap di ibukota selama beberapa tahun, cukup sulit baginya mengingat teman-teman yang tak begitu dekat. Kebanyakan teman sekolahnya mengenal Rahman karena mudah diingat. Putra Bu Nurul Aini, pemilik katering yang cukup terkenal di Malang. Namun, sebaliknya Rahman justru tak bisa mengingat mereka kecuali yang pernah menjadi teman akrabnya.
"Ini Fatur temen SMP-ku?" tanya Rahman memastikan. Salma mengangguk mengiakan lalu bergegas masuk mendahului sang kakak sepupu.
Rahman membawa masuk undangan tersebut seraya memikirkan tentang kehadirannya. Haruskah ia datang? Mereka tidak terlalu dekat saat sekolah dulu, tetapi ibu Fatur adalah teman Nurul Aini. Namun, jika tidak datang ia sama saja dengan tidak menghargai pengundangnya.
Belakangan ini ia sedikit trauma bertemu dengan banyak orang. Statusnya sebagai suami Maudy kerap menimbulkan obrolan tidak bermutu yang ujung-ujungnya membuat hati dongkol. Seringnya, Rahman akan menumpahkan kekesalan itu pada Maudy saat tiba di rumah. Memang bukan emosi yang melibatkan kekerasan fisik. Rahman hanya akan memilih diam dan tak menggubris istrinya. Namun, lambat laun ia merasa itu tindakan dzalim. Rahman harus menghentikannya jika tak ingin terus menjadi suami yang dzalim. Dan, menghindari pertemuan dengan orang banyak adalah yang pertama kali terpikir.
Lagipula, Rahman juga merasa jika Maudy tak sepantasnya terus menerus diperlakukan seperti itu. Kesalahannya di masa lalu mungkin fatal, tetapi bukan berarti tiap orang bebas membicarakan dan mengolok-oloknya, terlebih lagi saat Maudy sendiri sudah berusaha untuk berubah jadi lebih baik.
"Man, setengah jam lagi kirim pesanan selanjutnya, ya? Ke Lawang, daerah Wonosari," ujar Nurul Aini yang melihat kedatangan putranya memasuki area dapur. Perhatiannya lalu teralihkan pada undangan di tangan Rahman. "Jangan lupa datang ke pernikahannya Fatur, ya? Sekalian kamu ajak Maudy."
Rahman yang tadinya tak fokus pada sekitar kini terperanjat. Nama Maudy berhasil mengambil alih perhatiannya.
"Sama Maudy, Bu?" tanyanya balik dengan ekspresi kebingungan.
"Sama siapa lagi, Man? Masa' sama ibu. Kamu, kan, sudah punya istri." Nurul Aini menjawab seraya tertawa kecil.
Mengajak Maudy datang ke acara pernikahan tampaknya bukan ide yang buruk meski Rahman belum sepenuhnya yakin. Namun, toh, tidak akan ada yang melarang. Mereka pasangan suami istri, wajar jika datang bersama. Masalah gunjingan orang tentang Maudy yang tak ada habisnya, Rahman tahu jika ia harus belajar untuk mengabaikannya. Dia memang tidak terikat perasaan dengan sang istri, tetapi tetap saja kehormatan mereka berdua menjadi satu. Baik Rahman maupun Maudy wajib menjaganya.
"Ya, nanti Rahman bilang ke Maudy, Bu," balas Rahman. Ia lalu melipat dan memasukkan undangan tersebut ke saku baju. Langkahnya menuju ke arah panci besar berisi rebusan daging ketika sang ibu kembali memanggilnya.
"Kamu mau ke mana, Man?"
"Nurunin panci, Bu." Rahman mengambil serbet dan sudah bersiap mengangkat panci tersebut ketika ibunya berseru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Pukul Empat
RomanceDalam hidup Rahman, jodoh bukanlah prioritas. Ia percaya seseorang akan hadir jika waktu dan sosoknya telah pantas. Namun, suara merdu Maudy yang kerap ia dengar melantunkan ayat suci nyatanya berhasil membuat Rahman terjerat, meski hatinya bersike...