Kemarin adalah kenangan, esok adalah misteri. Namun, tak ada gunanya berkubang dengan dua hal tersebut tanpa benar-benar peduli dan menjalani dengan baik hari ini.
🌸🌸🌸
"Zina! Zina!"
"Arak keliling kampung biar semua orang tahu."
"Nggak tahu malu."
"Dasar pezina! Bikin nama kampung kita tercoreng aja."
"Udah, arak keliling kampung aja. Tunggu apalagi?"
Maudy hanya bisa menunduk diam mendengarkan seruan-seruan dari orang di sekitarnya saat itu. Di sampingnya, Evan melakukan hal serupa. Mereka sama sekali tak punya keberanian untuk sekadar mengangkat wajah.
Membayangkan reaksi orangtuanya membuat Maudy berusaha keras menahan sesak di dada. Ia tidak menangis, tetapi wajah Safitri dan Kurniawan yang berkelebat di benaknya seolah memperbesar ganjalan di hati. Maudy sadar penyesalan tak ada gunanya, selalu datang terlambat.
Semua ini salah Maudy. Seharusnya dia bisa bersikap tegas pada Evan, bukannya justru menuruti keinginan pemuda itu. Jika dia bersikeras mengatakan apa yang dilakukannya atas dasar cinta, maka Maudy dua kali lebih bodoh dari yang ia pikirkan. Dan, begitulah adanya. Maudy bodoh.
"Tenang dulu, Bapak-Bapak. Mari kita bicarakan baik-baik dulu." Suara Lukman Hussein terdengar di antara seruan penuh rasa jijik dari orang lain yang hadir.
Maudy masih bergeming, tetapi kemunculan sahabat ayahnya tersebut memberinya sedikit ketenangan hati. Namun, hanya itu. Selebihnya ia masih merasa jika dirinya memang perempuan hina sekaligus bodoh.
"Dibicarakan dulu gimana, Pak Lukman? Ini sudah jelas. Maudy dan pemuda ini berzina. Kita sudah sama-sama memergoki mereka."
Lelaki paruh baya lawan bicara Lukman Hussein itu benar. Mereka semua kini berada di kamar kos Evan, mengelilingi pemuda itu dan Maudy yang terduduk diam, tertunduk dan dipenuhi rasa malu yang sudah sepantasnya. Saat para lelaki itu mendobrak pintu kamar, yang mereka lihat adalah Evan bertelanjang dada serta dua kancing teratas kemeja Maudy yang terbuka. Keduanya juga tengah berpelukan.
Evan dan Maudy sebenarnya tidak sampai melakukan hal-hal lebih dari berpelukan. Namun, apa bedanya? Tidak akan mengubah keadaan. Di mata orang-orang yang kini mengepungnya, Maudy hanya melihat satu sebutan yang tercetak di pandangan mereka. Evan dan Maudy berzina.
"Saya tahu, Pak Bowo. Kita semua tahu. Tapi mengarak keliling kampung bukan solusi. Hanya menambah pergunjingan." Lukman Hussein merespon ucapan lawan bicaranya, lalu mengalihkan pandangan pada Evan dan Maudy. "Kita juga belum mendengar apa pun dari mereka."
Lelaki bernama Bowo tadi mendengkus kesal. Namun, sebagai salah seorang yang disegani, ucapan Lukman tidak pernah begitu saja dibantah. Orang bisa saja menolak untuk mendengarkan, tetapi pada akhirnya mereka sadar jika kebanyakan ucapan lelaki itu benar adanya.
Maudy kali ini memberanikan diri mengangkat wajah. Dia tahu dia salah, tetapi terus diam tidak akan membuat semuanya berakhir begitu saja. Dia memang harus bicara sekali pun akhirnya tidak berarti apa pun.
"Saya mencintai Evan, Pakde."
Jawaban Maudy sontak memunculkan beragam reaksi. Cibiran, decih sebal, apa pun yang menunjukkan rasa tidak suka. Namun, dia berkata jujur. Maudy memang mencintai Evan. Pemuda asing yang dikenalnya secara tidak sengaja sewaktu hendak mendaftar kuliah. Dia tidak bisa menjabarkan alasannya, tetapi seiring waktu yang mereka lalui bersama Maudy tahu dia mencintai Evan. Dan, Maudy yakin Evan pun mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Pukul Empat
RomanceDalam hidup Rahman, jodoh bukanlah prioritas. Ia percaya seseorang akan hadir jika waktu dan sosoknya telah pantas. Namun, suara merdu Maudy yang kerap ia dengar melantunkan ayat suci nyatanya berhasil membuat Rahman terjerat, meski hatinya bersike...