Kesalahan itu seperti harta. Rasanya enggan jika harus keluar dari diri sendiri, tetapi begitu menggoda jika berasal dari orang lain.
💮💮💮
Rumah dalam keadaan kosong sewaktu Rahman tiba. Lampu-lampu dalam ruangan menyala dan pintu terkunci serta tak ada jawaban ketika ia mengucapkan salam. Adzan isya' baru saja berkumandang sehingga tak mungkin Maudy dan ibunya sudah tidur. Otak Rahman yang sudah keruh sedari di acara reuni tadi menolak berpikir jernih dan menganggap Maudy sengaja mengabaikan kedatangan suaminya.
Rahman berdecak. Dirogohnya saku celana untuk mengambil sebuah kunci. Ia bersyukur karena berinisiatif membawa kunci duplikat pintu depan. Tadinya karena ia mengira akan pulang larut, tetapi ternyata kunci itu berfungsi untuk situasi yang berbeda. Namun, Rahman tidak peduli. Ia sudah bersiap menumpahkan kejengkelannya pada Maudy. Masalah kunci itu sama sekali tidak penting.
Rahman bergegas menuju kamar begitu memasuki rumah. Namun, Maudy tidak ada. Ia kembali memanggil dengan harapan sang istri ada di ruangan lain dan tak mendengar kedatangannya. Namun, tetap tak ada sahutan. Ragu-ragu, Rahman beralih ke kamar sang mertua dan kondisinya pun sama. Tak ada orang.
"Kemana mereka semua?" Rahman bertanya dengan nada jengkel bercampur bingung. Ia lalu memutuskan untuk menuju dapur. Diambilnya segelas air, lalu ia duduk dan meminumnya, mencoba untuk bersikap tenang.
Air tersebut nyatanya berhasil meredam emosi Rahman. Ia lalu mengeluarkan ponselnya yang sengaja ia matikan setelah tadi tak berhasil menghubungi Maudy. Ia kesal dan memutuskan bersikap kekanakan. Berharap Maudy sama jengkelnya ketika tak bisa menghubungi Rahman. Dihidupkannya benda persegi panjang tersebut dengan keinginan mendapati banyak missed call dari sang istri.
Denting beruntun sontak memenuhi notifikasi ponsel Rahman begitu benda tersebut sepenuhnya menyala. Ia tersenyum puas ketika mendapati belasan missed call dari Maudy. Namun, terdapat juga missed call dari nomor ibunya dan si kembar. Aneh.
Keheranan Rahman akhirnya terjawab dengan sebuah pesan dari Maudy. Upaya terakhir gadis itu setelah tak berhasil menghubungi sang suami. Akan tetapi, isi pesan tersebut tidak sesuai dengan keinginan Rahman. Ia terlonjak dari duduk dan tanpa pikir panjang segera berlari keluar begitu membacanya.
Mas, ibu tadi jatuh di kamar mandi. Kami sekarang ada di rumah sakit Husada.
***
"Kok, bisa ibu sampai jatuh di kamar mandi? Memangnya kamu nggak nemenin ibu?"Rahman tidak menunggu lama untuk meluapkan emosinya pada Maudy. Meski sebenarnya ia memang khawatir dengan kondisi Safitri, menyalahkan Maudy adalah keputusan yang tepat mengingat gadis itulah yang bertanggungjawab merawat Safitri. Rahman menyingkirkan empatinya pada sang istri meskipun Maudy belum tentu bersalah. Bahkan, ekspresi khawatir sang istri tidak membuatnya merasa perlu bersabar.
"Maaf, Mas. Tadi aku tinggal sebentar untuk ngambil handuk yang ketinggalan," jawab Maudy. Nada suaranya bergetar, lebih karena kekhawatiran akan kondisi sang ibu. Dalam situasi saat ini, kemarahan Rahman hanya menempati sebagian kecil pikirannya.
"Kamu seharusnya lebih hati-hati," tukas Rahman. Hatinya mendadak dipenuhi kesadaran akan betapa kekanakannya sikapnya mematikan ponsel tadi. Rasa kesal menjadikan logikanya tidak berjalan. Ia mengabaikan kemungkinan jika Maudy meneleponnya karena hal penting, bukan semata mengganggu sang suami dengan pertanyaan 'kapan pulang?'
"Ya, Mas. Maaf."
"Lain kali jangan menunda-nunda. Masih untung ibu tertolong meski kamu terlambat mencari pertolongan."
Rahman sengaja mengatakan hal tersebut untuk memancing jawaban Maudy. Penasaran dengan reaksi Maudy akan ponselnya yang mati.
"Mas Rahman nggak bisa dihubungi. Aku nggak mungkin pergi tanpa izin Mas."
Jawaban yang dilontarkan Maudy membuat Rahman tersinggung. Gadis itu seolah sengaja melimpahkan kesalahan pada Rahman jika sampai terjadi sesuatu pada Safitri. Memang benar, izin suami itu penting, tetapi harusnya Maudy bisa membedakannya berdasar situasi. Bagaimana jika Rahman tak pernah menjawab telepon dan tak pulang? Apakah Maudy akan tetap membiarkan ibunya kesakitan tanpa pertolongan?
"Tapi akhirnya kamu pergi, kan?" Rahman balik bertanya dengan nada mencemooh. Namun, bukan suara Maudy yang terdengar sebagai jawaban, melainkan suara Nurul Aini.
"Ibu yang maksa Maudy," Nurul Aini muncul bersama si kembar. Mereka baru saja kembali dari mencari makan malam dan mendapati Rahman tengah mengomel pada Maudy. Ada tatapan tidak suka dari kedua mata perempuan itu saat memandang Rahman.
Nurul Aini memberi si kembar isyarat agar mereka mengajak Maudy masuk dan meninggalkannya bersama Rahman saja. Salma dan Salwa mengangguk tanpa suara lalu segera menggiring Maudy masuk ke kamar rawat ibunya.
"Duduk, Man," perintah Nurul Aini. Ia mendahului putranya menempati salah satu kursi tunggu di luar ruangan. Suasananya tak begitu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung yang jumlahnya bisa dihitung jari, mengingat rumah sakit yang mereka tempati sekarang tergolong rumah sakit kecil. "Kenapa kamu nggak bisa dihubungi?"
Rahman yang baru saja duduk di samping sang ibu terdiam. Nurul Aini tak membuang-buang waktu untuk bertanya. Langsung to the point.
"Baterainya habis, Bu." Satu kebohongan tiba-tiba terucap dengan lancar. Rahman berdoa dalam hati agar sang ibu tak menyadari, juga agar ia diampuni karena tak jujur pada beliau.
Nurul Aini menatap Rahman penuh selidik, tapi Rahman terlalu sibuk berusaha menutupi kebohongannya sehingga tak menyadari hal itu.
"Bukan karena kamu ingin menikmati acara reuni kamu tanpa diganggu?"
Tebakan Nurul Aini hampir tepat. Namun, jawaban 'ya' untuk pertanyaan itu sudah kedaluwarsa. Sudah tidak berlaku ketika Rahman mendapati acaranya tak semenarik yang ia bayangkan.
"Tentu saja nggak, Bu. Rahman malah pulang lebih awal."
"Bagus. Ibu harap kamu bisa terus bersikap bijak, terutama karena kamu seorang suami sekarang."
"Inggih, Bu," jawab Rahman sembari mengangguk. Ia beruntung ibunya hanya memberi nasehat singkat, karena Rahman tidak ingin melanjutkan kebohongan yang tadi telanjur ia ucapkan.
"Ya wes. Sudah malam. Ibu mau lihat mertuamu dulu sebelum pulang," ujar Nurul Aini seraya bangkit dari duduk, kemudian memasuki ruangan yang sama dengan Maudy dan si kembar tadi masuki. Beberapa saat kemudian, Nurul Aini keluar bersama si kembar. Sekali lagi Nurul Aini berpamitan pada Rahman. Raut mukanya tampak lebih santai dibanding saat bertemu Rahman tadi.
"Hati-hati, Bu," Rahman mencium punggung tangan sang ibu.
"Kamu juga, Man. Hati-hati," Nurul Aini membalas, "jangan terlalu lama bercermin dan melihat bayanganmu sendiri. Seringnya itu bikin kita sombong dan menganggap remeh orang lain."
Segera setelah mengatakan hal itu, Nurul Aini melangkah pergi bersama si kembar. Meninggalkan Rahman yang menyadari betul maksud dari ucapan ibunya tersebut sekaligus fakta jika Nurul Aini tahu mengenai rumah tangganya.
Pikiran Rahman seketika tertuju pada satu nama. Sebab tak mungkin Nurul Aini tahu dengan sendirinya.
***
Rahman oh Rahman. Udah ngambekan, kekanakan, curigaan pula. Apa lagi, ya? Ada yang mau nambahin lagi sikap menjengkelkan si Rahman, nggak?
Salam
Suki
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Pukul Empat
RomanceDalam hidup Rahman, jodoh bukanlah prioritas. Ia percaya seseorang akan hadir jika waktu dan sosoknya telah pantas. Namun, suara merdu Maudy yang kerap ia dengar melantunkan ayat suci nyatanya berhasil membuat Rahman terjerat, meski hatinya bersike...