Ada sesuatu yang seringkali terlupa saat kita berduka, bahwa tanpa ia maka kita tak akan pernah mampu mengungkapkan rupa sukacita.
🌸🌸🌸
Rahman terbangun dengan badan terasa pegal dan kaku. Tidur seharian tak sepenuhnya membuat rasa lelah di tubuhnya berkurang, tetapi setidaknya demamnya sudah turun. Ditengoknya nakas di samping tempat tidur, lalu beralih pada jam dinding yang menunjukkan pukul tiga sore.
Teh manis yang Maudy buatkan pagi tadi masih tersisa setengah gelas. Rahman hanya meminumnya sedikit setelah sarapan, lalu minum obat. Minuman itu sudah dingin, dan perutnya bersuara meminta diisi. Teringat bubur tawar yang disajikan sang istri untuk sarapannya tadi. Cukup enak untuk ukuran orang sakit, tetapi Rahman berharap bisa menyantap hidangan yang lebih menggugah selera.
Terdengar suara mesin jahit sewaktu Rahman memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur. Ia melangkah pelan menuju pintu, lalu mengintip sang istri sebelum benar-benar keluar kamar. Selama ini ia tak pernah benar-benar memperhatikan kegiatan Maudy selama di rumah. Rahman hanya tahu istrinya itu menjahit pakaian, mata pencahariannya sejak sebelum menikah, tetapi ia bahkan tidak tahu baju-baju apa yang sedang dibuat gadis itu.
Tampak Maudy sedang duduk menghadap mesin jahitnya, berkonsentrasi mengutak-atik selembar kain bermotif batik. Di meja kecil di sampingnya, tergeletak sebuah kemeja batik seukuran laki-laki dewasa dengan motif serupa. Mendadak Rahman penasaran.
Dengan langkah perlahan, Rahman akhirnya menghampiri Maudy. Gadis itu begitu serius dengan pekerjaannya hingga tak menyadari kehadiran sang suami.
"Kamu lagi buat apa?" tanya Rahman, berhasil mengejutkan Maudy yang sedang menjahit bagian lengan. Hampir saja jahitannya melenceng.
"Lho, Mas Rahman sudah bangun?" Maudy menghentikan pekerjaannya, kemudian melihat jam dinding. Ia mengucap istighfar ketika mendapati hari sudah sore. Terlebih saat beberapa saat kemudian terdengar pujian-pujian menjelang azan ashar dari masjid terdekat. "Mas sudah merasa enakan? Demamnya sudah turun?"
"Udah mendingan. Makasih banyak, ya." Rahman tidak bisa berpura-pura lupa kalau Maudy sudah merawatnya dengan baik, terlepas dari Rahman sehat ataupun sakit. Berada di rumah saat hari kerja juga menjadikan Rahman memiliki sedikit kesadaran untuk lebih menghargai sang istri. Setidaknya berupa ucapan terima kasih yang selama ini hampir tak pernah ia sampaikan dengan sungguh-sungguh.
Maudy tersenyum tipis, tak merasa perlu merespon ucapan tersebut karena baginya merawat sang suami merupakan kewajiban. Ia lalu menyisihkan kain yang sedang ia kerjakan dan bangkit dari duduk.
"Alhamdulillah," ucap Maudy penuh kelegaan. Rahman hampir tersenyum melihat reaksi sang istri. Perempuan lain sejatinya tak perlu bertanya lebih dulu dan akan langsung menempelkan telapak tangan di dahi sang suami untuk mengecek demamnya. Namun, dalam hubungan mereka berdua interaksi semacam itu sama sekali bukan hal yang biasa. "Oh, ya. Biar aku ambilkan makanan. Mas Rahman harus makan lagi setelah itu minum obat."
Maudy sudah hampir berdiri ketika pertanyaan Rahman menghentikannya. "Ini kamu buat apa?"
Rahman mengulangi pertanyaan pertamanya. Kali ini sembari memegang kemeja batik yang telah jadi di atas meja.
"Oh, itu, Mas. Ada yang pesan sarimbit untuk sekeluarga, tapi aku baru nyelesaiin kemeja buat ayahnya saja."
Rahman mengangguk mengerti. Rasa penasarannya terjawab sudah. Tadinya ia mengira itu pesanan seorang laki-laki saja, yang berarti untuk bisa menentukan ukuran baju, sang pemesan harus datang ke Maudy. Membayangkan seorang laki-laki datang ke rumah saat ia tak ada membuat Rahman tidak suka. Namun, penjelasan sang istri membuatnya bernapas lega. Jika itu adalah pesanan keluarga, biasanya sang istri atau ibu yang akan turun tangan untuk menghandle semua. Tak perlu ada laki-laki yang mendatangi Maudy. Dan, cerita Nurul Aini jika Maudy begitu menjaga jarak dengan laki-laki setidaknya bisa dipercaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Pukul Empat
RomanceDalam hidup Rahman, jodoh bukanlah prioritas. Ia percaya seseorang akan hadir jika waktu dan sosoknya telah pantas. Namun, suara merdu Maudy yang kerap ia dengar melantunkan ayat suci nyatanya berhasil membuat Rahman terjerat, meski hatinya bersike...