Bab 13 : Hati Seorang Istri

236 61 20
                                    

Orang bilang perempuan itu rapuh, tanpa sadar jika kekuatan tak hanya dinilai dari tubuh.
Orang bilang perempuan itu lemah, tanpa sadar jika kebijakan bukan semata tentang menang dan kalah.

🌸🌸🌸

Ada yang salah. Rahman bisa merasakan hal itu pada Maudy beberapa hari ini. Istrinya tersebut memang masih melayaninya dengan baik, tetapi sikapnya kini seolah lebih dingin. Hampir tidak ada ucapan sekadar menanyakan menu apa yang Rahman inginkan untuk makan. Maudy bicara hanya jika Rahman bertanya.

"Aku pakai kemeja warna biru muda aja. Soalnya hari ini aku mau nganter pesanan ke yayasan." Pagi ini misalnya, ketika Rahman bersiap berganti pakaian sebelum berangkat kerja dan mendapati sang istri menyiapkan kemeja berwarna putih. Keluhannya ditanggapi Maudy dengan segera mencarikan baju sesuai instruksi sang suami. Begitu benda itu ditemukan, Maudy segera menukar kedua kemeja tersebut tanpa mengatakan apa pun. Tidak ada sekadar pertanyaan iseng tentang warna atau semacamnya.

Maudy yang dulu pasti akan berbasa-basi menanyakan alasan, meski sebenarnya sudah tahu jika permintaan Rahman didasari atas peraturan yayasan tersebut.  Atau sekadar melontarkan candaan singkat semacam warna lain yang lebih cocok untuk Rahman. Hal itu kerap terjadi sekali pun hubungan mereka sebagai suami istri tidak utuh. Keduanya boleh saja tidak pernah saling menyentuh secara fisik, tapi kebersamaan yang terjalin tidak menghalangi keduanya untuk menjadi akrab. Setidaknya, sebagai teman serumah.

Rahman juga tak sekolot dulu saat awal-awal pernikahan mereka. Ia mulai bisa melihat sisi lain dari Maudy yang selama ini ia anggap bukan perempuan baik-baik versinya. Justru, Rahman semakin meragukan pendapatnya itu. Maudy perhatian, pengertian dan wanita yang tekun. Seburuk apa pun masa lalunya, Rahman tidak bisa menutup mata jika di masa kini Maudy jelas sosok yang berbeda.

"Nanti tolong masakin telur balado, ya? Aku lagi pengin. Yang kamu bikin Minggu kemarin itu soalnya enak banget." Rahman kembali mencoba memancing Maudy untuk lebih banyak bicara. Namun, istrinya itu hanya mengangguk mengiakan tanpa mau berbicara hal lain. Satu-satunya yang ia ucapkan hanya 'Iya, Mas'.

Rahman hanya bisa mengamati Maudy tanpa berniat bicara lagi. Dia merasa mungkin telah melakukan kesalahan sehingga Maudy jadi berubah. Tadinya Rahman pikir mereka baik-baik saja, bisa menunjukkan kekompakan di depan orang lain, terutama yang suka mengorek-ngorek kehidupan rumah tangga mereka. Ia bersyukur karena orang lain masih memandang keduanya sebagai pasangan yang tenteram, meski di rumah ternyata ada masalah yang tidak Rahman ketahui dengan pasti sebabnya.

Setelah berganti pakaian, Rahman lalu menyusul Maudy yang telah lebih dulu menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Ragu-ragu ia menghampiri sang istri yang tengah mengambil piring.

"Maudy," panggil Rahman, "apa ada masalah?"

Maudy menoleh, terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum. "Nggak ada, Mas. Kenapa?"

Rahman tahu senyum itu dipaksakan. Hidup bersama Maudy membuatnya sedikit banyak bisa mengenali dan membedakan ekspresi sang istri. Dan, belakangan ini ia merasa Maudy melakukan semuanya tidak sepenuh hati, termasuk senyum yang baru saja ia tunjukkan.

Rahman merasa tidak berguna sebagai suami. Dengan jawaban sesingkat itu dari Maudy, ia sudah tidak terpikir untuk menanyakan lebih jauh. Ia takut jika dianggap terlalu ingin tahu atau terlalu mendesak. Padahal kenyataannya ia memang penasaran, hanya saja tidak punya nyali untuk meminta Maudy lebih berterus terang dan berakhir dengan isi kepala yang penuh dengan dugaan.

Apakah Maudy mulai menunjukkan sifat aslinya? Ataukah Maudy telanjur menganggap hubungan mereka bisa berkembang dan Rahman tanpa sadar mematahkan harapan itu?

"Nggak apa-apa. Cuma, kalau kamu ada masalah bilang aja sama aku." Hanya itu yang bisa Rahman katakan. Dan, Maudy pun hanya memberi sebuah anggukan sebagai jawaban.

Begitu sarapan telah tersaji di meja makan dan Maudy pergi untuk memanggil Safitri, Rahman terduduk sembari menghela napas. Berharap ia bisa mengetahui isi hati sang istri.

***

Aroma bunga pukul empat yang tumbuh di halaman rumah Bu Isna, salah satu tetangga Rahman, memenuhi indera penciumannya dengan harum yang semerbak. Deretan perdu hijau itu tampak cantik dihiasi bunga yang didominasi warna merah muda dan putih. Rahman menyukai aroma bunga-bunga itu. Wanginya terasa lembut sekaligus kuat di saat yang bersamaan. Bunga itu juga menjadi penanda jika ia akan mendengar lantunan merdu sang istri begitu tiba di rumah nanti.

Namun, langkah Rahman sore ini terasa lebih berat begitu mendekati rumah. Seharian ini ia terus memikirkan kemungkinan atas perubahan sikap Maudy. Tadinya ia berniat meminta saran ibunya, tetapi urung karena merasa tidak pantas untuk menceritakannya. Ia juga malu jika masalah yang tampak kecil ini sampai dibawa keluar. Masalah kecil yang sayangnya berhasil menguras pikiran Rahman.

Begitu tiba di teras rumah, Rahman berhenti. Namun, ia hanya berdiri diam dan tak segera masuk. Sayup-sayup terdengar suara Maudy mengaji, rutinitas yang menjadi kesukaan Rahman. Cukup lama ia terpekur di sana hingga lantunan Al-Qur'an dari bibir Maudy berakhir. Akan tetapi, bukannya menuju pintu depan dan mengucap salam, Rahman justru memutuskan untuk berjalan ke arah pintu belakang. Lalu ia sengaja berhenti di samping jendela kamar Safitri, tempat Maudy biasanya mengaji.

Perlahan mulai terdengar suara tangis. Bukan tangisan yang langsung mudah dikenali, tetapi hanya isakan yang diselingi potongan-potongan kalimat. Rahman mematung di sana, mencoba memahami percakapan yang tengah terjadi antara Maudy dan Safitri.

"Maudy malu, Bu." Suara Maudy membuat Rahman menajamkan pendengaran. "Karena ngerasa kecewa sama Mas Rahman."

Dalam diamnya, Rahman mulai merasa menemukan jawaban atas kegelisahannya seharian ini. Ia memang telah melakukan kesalahan pada Maudy hingga gadis itu akhirnya berubah. Ia hanya perlu bersabar untuk tahu lebih jelas bentuk kesalahan itu.

"Kenapa, Nduk?" Kali ini Safitri yang bersuara dengan terbata-bata. "Nak Rahman baik." Namun, Rahman tidak sependapat dengannya. Kalau saja mertuanya itu tahu sikap dan pemikiran-pemikirannya pada Maudy selama ini, Rahman pasti tidak akan pernah disebut suami yang baik.

"Maudy harusnya cukup dengan Mas Rahman mau nerima Maudy sebagai istri, Bu. Seharusnya Maudy nggak berharap lebih."

Rahman masih mendengarkan, tetapi kini semakin berpikir tentang kesalahannya.

"Apa yang kamu harapkan, Nduk?" Safitri kembali bertanya. Kalimat patah-patah tak menghalangi rasa ingin tahunya. Begitupun dengan Rahman. "Rahman benar-benar jatuh cinta sama kamu?"

Maudy tidak menjawab. Isak tangisnya juga telah reda. Sikap diamnya membuat Rahman menunggu dengan penasaran. Bagaimana jika harapan Maudy sama seperti yang ditanyakan ibunya barusan? Maudy tidak salah jika memang mengharapkannya, tapi Rahman akan merasa bersalah karena tidak bisa mengabulkannya.

"Bu, sebentar lagi Mas Rahman pulang." Suara Maudy tiba-tiba kembali tenang seperti biasa. Ia juga tidak melanjutkan percakapannya dengan sang ibu mengenai topik sebelumnya. "Aku mau bikin teh manis dulu."

Rahman mendesah kecewa. Maudy bahkan tidak mau mengungkapkan perasaannya pada sang ibu.

"Nduk, apa ada yang bilang buruk tentang kalian?" Safitri masih belum menyerah dengan pertanyaannya. Kesulitan untuk berbicara dengan lancar tak menghalangi sama sekali.

Rahman tidak tahu apakah Maudy sudah keluar kamar dan tidak mendengar pertanyaan itu atau justru masih berada di sana dan kembali terdiam. Namun, beberapa detik kemudian terdengar suara Maudy, menjawab dengan nada setenang biasanya.

"Nggak ada, Bu. Yang ada malah Bu Sugeng bilang kami pasangan yang serasi."

Setelah itu terdengar pintu ditutup. Rupanya Maudy telah keluar dari kamar sang ibu. Rahman pun bergegas kembali ke teras depan dan berlagak ia baru tiba di sana. Namun, setidaknya kini ia bisa menyimpulkan satu hal yang mengganjal di hati Maudy.

***

Hayo loh Rahman. Udah bikin Maudy nangis tuh. Kira-kira kenapa, ya, Maudy?

Btw, covernya baru nih, Teman-teman. Cantik, nggak?

Salam Baca
Suki

Gadis Pukul EmpatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang