Bab 7 : Reuni

267 57 11
                                    

Orang yang berani, mengatakan ia marah karena tidak puas dan kecewa, bahkan atas dirinya sendiri. Namun, seorang pengecut menyalahkan orang lain saat ia marah atas kegagalan yang ia sadari sebagai kesalahannya sendiri.

💮💮💮

Maudy terpekur memandangi undangan di tangannya. Benda berwarna biru muda itu tergeletak begitu saja di atas nakas samping tempat tidur. Ia ingat Rahman hanya sempat membacanya sejenak sebelum meninggalkan undangan itu di sana.

Sebuah undangan reuni SMA Rahman. Tertera dengan jelas waktu serta tempat diadakannya acara tersebut. Sore ini. Tiba-tiba saja perasaan Maudy tergelitik oleh rasa penasaran. Maukah Rahman mendengarkannya untuk tak datang?

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan acara reuni. Menurut Maudy, itu hanya kegiatan kumpul-kumpul berkedok silaturahmi yang seringkali justru menimbulkan lebih banyak masalah. Cinta lama bersemi kembali seringnya, seperti yang terjadi padanya beberapa tahun silam.

Memori Maudy menuju sebuah hari berlangsungnya reuni SMA-nya. Tepat dua tahun setelah ia tersandung aib dan keluarganya terpuruk. Butuh keberanian besar bagi Maudy ketika memutuskan untuk datang. Hampir semua teman-temannya sudah mengetahui skandal yang menimpa Maudy, itu adalah rahasia umum. Datang ke sana sama saja dengan menyetor muka untuk mendapat cibiran dan caci maki. Namun, Maudy telah berubah. Ia bukan lagi gadis kaya manja dan sombong yang hobinya mematahkan hati para pemuda dengan penolakan. Tidak ada lagi yang bisa dibanggakannya, tetapi keputusan untuk hijrah memberi Maudy tujuan lain.

Maudy ingin membuka lembaran baru dalam hidupnya. Melupakan fakta jika pernah menyakiti hati banyak orang. Bahwa ia pernah digelandang warga dengan pemuda yang tadinya ia pikir mencintainya. Ia hanya memenuhi memorinya dengan harapan untuk kehidupan yang lebih baik, sekalipun sederhana. Kedatangannya ke acara itu adalah sebuah langkah, meski ia tahu kenyataan mungkin tak sesimpel itu.

Cibiran demi cibiran sontak terdengar begitu Maudy menampakkan diri di hadapan teman-temannya kala itu. Ingatan yang sangat jelas. Bahkan, seseorang yang pernah dianggapnya sahabat justru tak mau mendekatinya untuk sekadar menyapa. Maudy sendirian dan dihujani tatapan kasihan atau meremehkan. Bisik-bisik mencemooh, ketakutan akan Maudy menggoda dan mengambil milik mereka juga jelas terdengar. Maudy benar-benar telah dianggap sebagai perempuan paling hina di sana. Namun yang paling melukai hatinya adalah sebuah kalimat tak terduga dari salah satu teman laki-lakinya. Seseorang yang dulu pernah berstatus kekasih, meski hanya seumur jagung.

"Dy, kamu punya nomorku, kan? Telepon aku, ya? Aku tahu tempat yang bagus buat malam yang hebat."

Hanya tersirat, tetapi Maudy tak perlu bertanya lebih jauh untuk mengetahui makna kalimat tersebut. Bahkan hijab yang ia kenakan pun tak mampu meredam pandangan negatif seseorang atas apa yang sudah terjadi padanya. Mereka hanya melihatnya lewat kesalahan yang pernah Maudy perbuat. Tidak ada yang menatap mata Maudy dan menemukan penyesalan yang begitu dalam di sana. Dan, tanpa perlu berpikir panjang, langkahnya berderap meninggalkan reuni tersebut.

Reuni itu hanya acara bodoh. Begitulah yang Maudy yakini. Keyakinan itu membuatnya tak rela sang suami menghadiri acara tersebut. Tempat, waktu dan orang-orang yang akan Rahman temui memang berbeda, tetapi keburukan yang akan ia temui di sana jelas tak jauh beda. Apalagi sekarang dengan status Rahman sebagai suami Maudy.

"Mas Rahman mau datang ke reuni?" Tiba-tiba saja keberanian itu muncul tepat saat Rahman memasuki kamar. Ia baru saja mandi dan bersiap untuk berganti pakaian. Rahman sengaja meminta pulang lebih awal pada sang ibu untuk menghadiri reuni tersebut.

"Ya," jawab Rahman tak acuh. Langkahnya mengarah pada lemari pakaian, membukanya dan memilih isinya.

"Sebaiknya Mas nggak datang," Keberanian kedua ikut muncul, untuk pertama kalinya melarang Rahman melakukan sesuatu.

Gadis Pukul EmpatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang