Hidup tidak hanya tentang mencapai kebahagiaan, tetapi juga tentang membaginya dengan orang-orang tersayang. Sebab kebahagiaan itu lebih bermakna jika tidak hanya dirasakan oleh kamu seorang.
🌸🌸🌸
Hari Minggu yang cerah. Cuaca sedang bagus dan udaranya jadi terasa semakin menyenangkan. Dari jendela kamarnya yang kini terbuka lebar, Rahman bisa melihat dengan jelas gunung Arjuna yang gagah. Tak ada awan yang menyelimuti sehingga pepohonan di sana bisa terlihat, bak miniatur dalam maket. Warna hijau dan biru gelap menyajikan lekuk gunung tersebut dengan semakin indah.
Sembari mengancingkan kemeja Rahman tersenyum senang. Tidak biasanya ia begitu memperhatikan latar belakang jendela kamar yang sejatinya bukan hal istimewa itu. Ia bisa melihatnya setiap hari, tetapi hari ini baginya terasa begitu indah. Tak bisa dipungkiri jika kegiatan hari inilah yang membuat hal itu terjadi. Minggu ini adalah hari spesial, setidaknya bagi Rahman. Menurutnya, memandang setiap hal dengan positif akan menjadikan harinya lebih menyenangkan.
"Mas, sudah siap?" Suara Maudy terdengar bersamaan dengan masuknya gadis itu ke kamar. Ia mendapati sang suami baru saja selesai berpakaian dan tersenyum manis. Meski tidak tahu pasti dengan isi pikiran Maudy saat melihatnya, Rahman berkeyakinan jika istrinya itu menyukai penampilan sang suami.
"Sudah. Yuk!" Rahman mengajak Maudy keluar dari kamar. Sejenak diamatinya penampilan sang istri. Tidak ada yang istimewa. Maudy memakai daster lengan panjang dengan kerudung berwarna senada. Bisa dibilang itu adalah busana kesehariannya. Berbeda dengan Rahman yang hari ini penampilannya begitu rapi.
Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, Maudy pun mengunci pintu rumah. Lalu, ia balas menatap Rahman yang masih belum beranjak dari mengamatinya.
"Kenapa, Mas?" tanya Maudy heran.
"Nggak apa-apa," jawab Rahman cepat. Ia lalu menjajari langkah sang istri yang mulai meninggalkan rumah. "Kita beneran mau belanja mingguan aja? Kamu lagi nggak pengin sesuatu?"
Masih dengan kaki yang melangkah, Maudy menoleh pada sang suami. Permintaan Rahman untuk menemaninya berbelanja saja sudah terasa aneh, dan pertanyaannya semakin terdengar aneh di telinga Maudy.
"Nggak ada, sih, Mas."
Rahman mengulum senyum. Sadar jika sang istri mempertanyakan sikapnya. Mereka memang akan pergi ke supermarket terdekat untuk belanja mingguan. Ya, hanya belanja kebutuhan sehari-hari yang rutin Maudy lakukan sendirian sebelumnya. Namun, sekarang Rahman meminta ikut serta. Ia bahkan berpenampilan rapi jali dan menitipkan penjagaan sang ibu mertua pada si kembar yang kebetulan sedang senggang. Katering juga tengah libur.
Norak dan aneh. Pasti itu adalah hal pertama yang terpikir jika mempertanyakan sikap Rahman. Namun, baginya sama sekali tidak. Suami yang ingin berduaan saja dengan sang istri adalah hal wajar, terlepas dari kegiatan dan tempat apa yang akan mereka jalani. Lagipula, menurutnya masih terlalu mendadak dan akan lebih mencengangkan jika Rahman mengajak Maudy liburan, misalnya. Selain keuangan mereka yang belum seberapa untuk hal-hal bersifat tertier seperti itu, ia yakin Maudy lebih suka hal-hal sederhana. Ya, walaupun keputusan Rahman untuk berpenampilan lebih rapi dari biasanya cukup membuat sang istri kebingungan. Namun, seperti biasa Maudy adalah tipe orang yang tidak suka banyak bertanya.
Jarak tempat yang dituju lumayan dekat sehingga Rahman dan Maudy memilih untuk berjalan kaki. Butuh hanya lima belas menit untuk menempuhnya, tetapi bagi Rahman waktu tersebut cukup berarti. Dalam perjalanan singkat tersebut ia berusaha melemparkan berbagai topik untuk dibicarakan. Maudy yang pada dasarnya memang berwawasan luas selalu bisa mengimbangi. Namun, bukan hal itu tujuan utama Rahman. Dia hanya ingin terus terhubung dengan sang istri. Meski belum sepenuhnya yakin dengan perasaannya, Rahman menyadari jika hatinya telah mulai terbuka untuk Maudy. Terlepas dari masa lalu yang sering mengusik pikiran Rahman, ia tidak dapat memungkiri jika yang ada dalam hubungan mereka sebagian besar adalah rasa nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Pukul Empat
RomantikDalam hidup Rahman, jodoh bukanlah prioritas. Ia percaya seseorang akan hadir jika waktu dan sosoknya telah pantas. Namun, suara merdu Maudy yang kerap ia dengar melantunkan ayat suci nyatanya berhasil membuat Rahman terjerat, meski hatinya bersike...