Seringkali seseorang meributkan kesempurnaan pasangan hidup yang ia dambakan, tetapi lupa pada diri sendiri yang justru perlu terlebih dulu disempurnakan
💮💮💮
"Mas, sarapannya sudah siap." Panggilan Maudy menginterupsi Rahman yang tengah mengancingkan kemeja di kamarnya. Jam di dinding memang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, waktu yang biasa Rahman lalui dengan sarapan sepiring nasi goreng dan segelas teh panas. Kebiasaan yang dengan cepat Maudy ketahui serta penuhi.
"Iya, sebentar," jawab Rahman. Ia memakai kancing baju terakhir lalu bergegas keluar. Di dapur, Safitri dan Maudy telah menunggunya. Ruang makan mereka sejatinya hanya meja persegi panjang yang merapat ke dinding, berada satu ruangan dengan dapur. Sebenarnya meja tersebut bisa menampung lebih dari tiga orang, tinggal menambahkan kursi plastik sesuai jumlah orang. Pengaturan semacam itu membuatnya seperti tempat makan di warung-warung, tetapi sekaligus menghemat tempat mengingat rumah itu sendiri memang tak begitu besar.
"Hari ini aku mungkin pulang lebih sore. Pesanan katering ibu dobel." Rahman memberitahu seraya menarik salah satu kursi plastik berwarna hijau lalu mendudukinya.
"Iya, Mas," jawab Maudy singkat. Ia meletakkan sarapan Rahman di hadapan sang suami, kemudian melakukan hal yang sama untuk ibunya.
"Kalau perlu apa-apa, langsung WA aja, ya," ujar Rahman.
Maudy mengangguk. Ia menjadi yang terakhir bergabung di meja makan. Setelah itu, acara sarapan berlangsung dengan tenang. Tak ada percakapan. Hanya sesekali suara Maudy yang terdengar sedang melayani sang ibu, menanyakan beberapa hal mengenai sarapannya.
Rahman mengunyah nasi gorengnya dengan gusar. Sudah seminggu ia tinggal bersama Maudy dan ibunya. Itu berarti sudah seminggu pula ia menjadi seorang suami serta menantu. Namun, dalam kurun waktu selama itu, Rahman merasa semacam ada batasan tak terlihat antara dirinya dan Maudy. Semua berawal dari malam pertama yang tidak pernah mereka lalui bersama. Sejak itu, keduanya sama-sama menjaga jarak. Terlepas dari kebutuhan biologis, Maudy memang melakukan semua tugasnya dengan baik. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, menyiapkan semua kebutuhan Rahman. Akan tetapi, semua hal itu tak ada bedanya dengan sebelum Rahman menjadi bagian dari rumah itu. Justru, keadaannya terkesan seperti Rahman adalah majikan baru di sana.
Apakah Maudy tersinggung?
Pertanyaan itu terus bergaung di benak Rahman. Jelas sekali penolakan Rahman malam itu melukai hati Maudy. Walaupun keduanya dijodohkan dan menikah bukan atas dasar cinta, Maudy sepertinya menyadari alasan sikap Rahman. Namun, mau bagaimana lagi? Rahman selalu menjaga pandangannya dari sang istri sekalipun mereka adalah pasangan yang sudah halal. Sebab yang berkelebat di pikiran Rahman bahkan saat ia baru meniatkan dalam hati bukanlah wajah cantik Maudy, melainkan sosok perempuan yang tengah berpelukan dengan pria lain.
Rahman tahu sikapnya sungguh salah. Namun, lelaki mana yang bisa menerima kenyataan jika istrinya sudah disentuh pria lain. Terlepas dari dia mencintai Maudy atau tidak, Rahman beranggapan jika ia berhak mendapatkan perempuan yang bisa menjaga kesuciannya. Hijrahnya Maudy mungkin bisa menjadi bukti kalau perempuan itu telah berupaya menjadi lebih baik. Sayangnya, bagi Rahman itu belum cukup. Dia menginginkan pendamping yang masih utuh kesuciannya karena dia pun memberikan hal yang sama. Bukankah perempuan baik-baik untuk lelaki baik-baik?
"Aku berangkat, ya," pamit Rahman seraya bangkit berdiri setelah meneguk habis tehnya. Ia mencium punggung tangan sang ibu mertua, lalu membiarkan Maudy melakukan hal yang sama padanya. Rutinitas yang terasa aneh karena di kamar tidur mereka bahkan membuat batasan wilayah. "Assalamualaikum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Pukul Empat
RomanceDalam hidup Rahman, jodoh bukanlah prioritas. Ia percaya seseorang akan hadir jika waktu dan sosoknya telah pantas. Namun, suara merdu Maudy yang kerap ia dengar melantunkan ayat suci nyatanya berhasil membuat Rahman terjerat, meski hatinya bersike...