Bab 9 : Perempuan Baik-Baik

279 65 18
                                    

Setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan, tetapi bukan berarti mereka selalu sepadan, kecuali dalam kebaikan. Namun, satu hal yang pasti, mereka diciptakan untuk saling melengkapi.

💮💮💮

Suara perempuan mengaji menyambut kepulangan Rahman sore itu. Rutinitas yang mulai ia sadari dan sukai. Ada ketenangan tersendiri mendengar lantunan ayat-ayat suci tersebut, sekalipun suara Maudy-lah yang mengucapkannya.

Rahman mengucap salam pelan agar tak mengganggu kegiatan Maudy, walaupun sebenarnya sang istri wajib mendengar agar bisa membalasnya. Ia merebahkan punggung di kursi ruang tamu. Pesanan katering hari ini berasal dari tempat yang cukup jauh. Ia harus berkendara satu jam ke luar kota, dan bertambah lama ketika terjadi kecelakaan yang menghambat lalu lintas hingga beberapa jam. Beruntung pesanan yang dikirim adalah makanan kering, sesuai permintaan pemesan, sehingga ia tidak takut makanannya tidak sesegar saat dikemas ketika tiba di tempat tujuan.

Suara mengaji itu lalu terhenti. Maudy mendengar kedatangan sang suami dan mengakhiri kegiatannya. Tak lama kemudian, terdengar langkah kakinya keluar dari kamar sang ibu -tempat favoritnya untuk mengaji.

"Mas Rahman sudah datang. Maaf, aku baru dengar," ujar Maudy begitu mendapati sang suami duduk di ruang tamu. Ia lalu bergegas menuju dapur dan membuatkan Rahman segelas teh manis hangat.

Sebelum minuman itu selesai dibuat, Rahman beranjak dari tempatnya menuju dapur mengikuti sang istri. Ia kemudian duduk di kursi panjang dan menatap Maudy yang masih sibuk menuang air panas ke gelas.

"Kamu ngadu ke ibu soal hubungan kita?" tanyanya tanpa basa-basi. Namun, sebelumnya ia memastikan sang mertua yang baru pulang dari rumah sakit sedang tidur sehingga tak akan mendengar percakapan mereka.

Gerakan tangan Maudy terhenti. Namun, ia menjawab pertanyaan Rahman tanpa menoleh dan menatap sang lawan bicara.

"Nggak, Mas."

"Terus, darimana ibu tahu? Cuma aku atau kamu yang bisa. Dan, aku jelas nggak ngomong apa pun ke ibu." Rahman merasa lelah selepas terjebak dalam kemacetan cukup lama, tetapi ia tidak merasa perlu menunda untuk menginterogasi sang istri.

Maudy tetap melanjutkan membuat teh. Namun, sembari mengaduk gula yang baru saja ia tuang ke dalamnya, ia merasa sakit meski tidak ada bagian tubuhnya yang terluka. Tak lain karena Rahman dengan jelas menuduhnya melakukan sesuatu yang bukan ulahnya.

"Kenapa Mas nggak tanya langsung sama Ibu?" Maudy menyajikan teh pada Rahman dengan ekspresi tenang, alih-alih marah. Dia sama sekali tidak berniat berdebat apalagi bertengkar dengan suaminya.

"Ibu pasti bela kamu," jawab Rahman. "Selalu begitu."

"Ibu nggak akan asal bela orang, Mas," celetuk Maudy, membuat Rahman yang tadinya masih bersikap tenang seketika tersulut emosi.

"Jadi, maksudnya Ibu bela kamu karena aku yang salah?"

"Bukan begitu, Mas," Maudy berusaha menjelaskan agar emosi sang suami tak berlanjut menjadi amarah, "belum tentu juga aku yang akan Ibu bela."

Rahman mendengkus. Baginya ketenangan Maudy menghadapi sang suami hanyalah sebuah kepura-puraan. Semua hanya demi pandangan orang agar tak menilainya buruk. Karena seberubah apa pun Maudy sekarang, Rahman yakin masih ada sifat sombong dan susah diatur yang dulu dimiliki gadis itu. Semuanya hanya tengah ditutupi dengan kebaikan yang entah nyata atau hanya sandiwara.

Bagi Rahman, seseorang tidak bisa disebut baik hanya karena dia berhijab dan bisa mengaji. Satu-satunya hal yang membuat Rahman merasa ada perubahan dalam diri Maudy hanyalah tanggung jawab gadis itu dalam merawat sang ibu yang sakit.

Gadis Pukul EmpatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang