Bab 4 : Hari Pernikahan

430 84 7
                                    

Pernikahan, dengan ataupun tanpa cinta tetaplah sebuah ikatan. Bukan keadaan, tetapi kita yang memilih untuk membuatnya kencang, renggang atau bahkan putus.

💮💮💮

Rahman memandang pantulan sosoknya di cermin kamar. Jas hitam yang menutupi kemeja putih itu mengingatkannya pada acara wisuda kala SMA, tetapi kali ini dengan situasi yang berbeda. Ia juga tidak merasa dirinya tampak istimewa dalam busana tersebut.

Hari ini adalah hari pernikahan Rahman dan Maudy. Setelah sempat enggan memenuhi syarat dari Maudy, Rahman akhirnya memantapkan diri untuk terus maju. Bukan semata karena wasiat, tetapi juga karena ia tidak ingin mendapat cap lelaki egois, tidak mandiri dan tidak bertanggung-jawab.

"Mas, penghulunya sudah datang, tuh," lapor Salma yang kini berdiri di ambang pintu kamar Rahman. Gadis itu senyum-senyum sendiri melihat kakak sepupunya mematung di depan cermin. "Cie, yang mau jadi manten."

Rahman melotot menanggapi candaan Salma. Sepupunya itu tidak tahu kalau jantung Rahman sedari tadi berdebar lebih kencang dari biasanya.  Sekali pun tidak ada perasaan yang biasanya mendasari dua orang untuk menikah, tetap saja ada perasaan gugup ketika harus mengucap ijab kabul. Akad yang dilakukan sederhana, dihadiri hanya kerabat dekat dan tanpa resepsi sama sekali tidak membuat kegugupannya berkurang. Bagaimana kalau ucapannya belepotan? Atau justru salah? Dia tidak mau mempermalukan diri sendiri. Menjadi bahan tertawaan di hari pernikahannya sendiri sama sekali bukan hal yang Rahman impikan.

"Cerewet," hardik Rahman. Salma masih tersenyum, kemudian melengos pergi tanpa peduli kejengkelan sang sepupu.

Rahman menoleh ke jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Memang sudah waktunya. Ia meraih peci hitam di atas nakas samping ranjang, memakainya lalu bergegas keluar. Melupakan kekesalannya pada Salma dengan segera.

Ruang tamu rumah Nurul Aini hari ini diubah menjadi tempat akad. Di tengah ruangan yang kini hanya beralaskan karpet terdapat sebuah meja kecil. Di belakang meja tersebut duduk seorang pria baruh baya berwajah tenang. Penghulu yang akan menikahkan Rahman dan Maudy, yang di kampungnya biasa disebut mudin.

Rahman sempat celingukan mengamati sejenak wajah-wajah yang ikut hadir di sana. Tak banyak, hanya keluarga dekat yang bisa dihitung jari. Namun, hampir semuanya adalah kerabat Rahman. Dari pihak Maudy hanya ada Safitri yang berada agak jauh karena berada di kursi roda sementara yang lain duduk lesehan.

Salma dan Salwa yang sudah duduk manis di samping Nurul Aini tampak saling berbisik seraya melihat Rahman. Setelah itu keduanya tertawa kecil, membuat Rahman merasa si kembar itu tengah membicarakannya.

Dari semua yang hadir, Rahman sama sekali tak melihat keberadaan sang mempelai wanita. Namun, siapa peduli? Maudy memang cantik, dan biasanya perempuan akan terlihat lebih cantik di hari pernikahannya. Rahman tidak mau terpesona dan pada akhirnya seperti laki-laki lain yang hanya terjerat penampilan luar.

"Silakan, Mas Rahman." Sembari tersenyum penghulu mempersilahkan Rahman duduk di depannya. Detak jantung Rahman semakin cepat seiring langkahnya mendekat. Sungguh, jika menikah dengan perempuan yang tidak ia cintai saja rasanya segugup ini, bagaimana jika calon istri Rahman memang orang yang ia kasihi?

Tak lama setelah Rahman duduk, Maudy akhirnya muncul. Gadis itu mengenakan kerudung dan kebaya putih sederhana. Begitu sederhananya hingga tak tampak hiasan apa pun selain motif parang pada kain jariknya.

Gadis Pukul EmpatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang