Masih sabar kan yaaa?Kita buka lagi satu per satu masalah Favita. Lalu kita lihat juga dari sisi Hakim bimbangnya kayak gimana.
Semoga tidak mudah menghakimi salah satu pihak karena memang nggak mudah menjadi Favita yang pernah terluka, dan nggak mudah menjadi Hakim yang pernah—merasa—dikhianati.
Selamat membacaaa. Tolong ditandai typonya ya. Hihi 🙏
Boleh nggak sih minta love-nya dulu sebelum baca? Yang banyak gitu? 🤎🌻
***
Favita menemukan syal dari sebuah paper bag yang Sheya serahkan untuknya.
"Suka nggak?" tanya Sheya, dia terlihat antusias saat menanti tanggapan Favita pada oleh-oleh yang diberikannya setelah perjalanan liburan. Dia tersenyum saat Favita menatap takjub syal berwarna biru itu.
"Suka banget." Favita mencium ujung syalnya. "Motifnya cantik. Sukaaa."
"Selama kenal kamu, aku nggak pernah tahu warna kesukaan kamu apa," ujar Sheya.
Karena memang Favita tidak pernah menunjuk warnanya kesukaannya secara spesifik, baginya semua warna sama saja. Bisa digunakan oleh siapa saja dan dia bisa menggunakan semua warna untuk dirinya sendiri.
"Tapi menurut aku, warna kesukaan kamu itu biru, sih," ujar Sheya. Dia menyesap kopinya. Menaruh lagi cangkirnya sebelum kedua lengannya kembali bersedekap.
Siang itu, Sheya menepati janji untuk menemui Favita di kantornya, di saat jam makan siang. Berada di sebuah coffee shop yang dikuasai aroma kopi dan karamel yang manis. Duduk pada sebuah kursi yang berada di area outdoor, di barisan paling luar, dinaungi oleh kanopi kaca dan duduk saling berhadapan.
"Masa, sih?" Favita mengernyit. Biru?
"Iya, nggak sih? Kamu suka biru?" Sheya memastikan.
Favita mengernyit. "Nggak tahu ya ..., tapi aku ngerasanya biasa aja."
Sheya tertawa kecil. "Masa sih? Aku kok merasa kamu dan warna biru tuh ada ... suatu keterikatan gitu. Entah ya ... kamu kayak lebih cantik aja pakai warna biru, lebih pas. Auranya beda."
Kali ini, Favita yang tertawa. "Halah ...." Dia bergumam tidak percaya.
Sheya sesekali masih terkekeh, tangannya terulur, membantu Favita merapikan kain syal di sekitar lehernya. "Eh, kapan nih ada waktu buat datengin event-event seru lagi?" tanya Sheya. "Kamu tahu nggak, aku nemu komunitas silent reading khusus weekend?"
"Serius?" Informasi itu membuat Favita tertarik. Sudah sangat lama, mungkin sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu, dia mengikuti komunitas itu. Komunitas yang mengundangnya untuk datang ke suatu tempat hanya untuk membaca dalam hening dan dengan batas waktu tertentu, lalu setelahnya dia pergi. Di sana, mereka dilarang berkenalan, dilarang mengobrol, itulah tujuannya, agar target baca selesai saat pulang. "Biasanya mereka ngadain event di mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Marriage Cure
Romance[TSDP #6] Part 2 Saat memutuskan untuk berpisah di usia pernikahan yang sudah menginjak tahun ketiga, Hakim dan Favita sadar bahwa memberi kabar tentang perceraian pada orang-orang terdekat sama halnya dengan menghancurkan kebahagiaan mereka. Jadi...