Sebelum membaca ini, direkomendasikan untuk membaca cerita Hakim sebelumnya di Karyakarsa berjudul 'How can we love the heartbreak?' Tapi kalau mau diskip juga nggak apa-apaaa. Cerita ini tetap bisa dibaca secara terpisah.
Happy reading untuk penyimak kisah Hakim sejak awal TSDP berdiri, pembaca yang datang di pertengahan, dan pembaca baru. 🤎🤎🤎Semoga kisah mereka bisa membawa kamu untuk jatuh, lagi, jatuh cinta berkali-kali. 🤎
***
Di luar hujan masih berisik. Angin terdengar berderu-deru dan membuat daun dari pohon-pohon di jalanan komplek bergerak ribut. Favita baru saja menjauhkan wajahnya dari kaca jendela yang berselaput sisa air hujan. Mendengkus kecil, pasti Hakim terjebak macet di perjalanan pulang. Hujan memang kadang merepotkan, selalu merepotkan.
Favita tidak suka hujan. Tidak pernah menyukai hujan.
Kini kakinya bergerak mundur sementara dua tangannya masih memegang sisi mug berisi teh hangat yang sudah dia isi untuk ketiga kali, atau mungkin lima, bisa juga lebih. Dia lupa berapa pastinya banyak teh yang dia minum.
Namun, dia ingat berapa lama dia sudah menunggu, empat jam. Kembali dia lihat lagi jam dinding di ruangan itu. Pukul dua belas malam lewat sepuluh menit. Tatapnya bergerak lagi, sedikit lebih ke kiri, menemukan sebuah foto yang sengaja digantung di sana. Di dalamnya, ada potret Hakim dan Favita yang tengah saling memeluk.
Sekali lagi, foto itu sengaja digantung di sana, seolah-olah untuk mengingatkan bahwa ... mereka memiliki pernikahan yang manis. Sangat manis.
Hari ini, Favita mengambil keputusan besar untuk tidak berangkat kerja demi bisa pergi merawat diri ke salon. Dia menggunting rambutnya—memang tidak drastis, hanya memberi layer dan merapikan poni, juga memberi warna caramel dengan teknik highlight. Dia membeli lipstik baru, dress baru, mengecat kuku, lalu .... Apa lagi, ya?
Ah, ya, memesan makanan kesukaan Hakim dan membeli cake.
Di antara waktu lelahnya tadi pagi karena baru saja tiba di bandara setelah melakukan perjalanan bisnis menemani bosnya selama berada di Kepulauan Bangka Belitung, Favita memaksakan kondisi jet lag-nya untuk tetap bergerak.
Tentu saja, dia akan melakukan segalanya hari ini. Karena malam ini, adalah malam di mana dia seharusnya merayakan ulang tahun pernikahan ketiganya bersama Hakim. Namun, saat sudah lewat tiga puluh menit dari pukul dua belas malam, tanda-tanda Hakim muncul belum juga terlihat.
Favita sudah lelah menyibak gorden, sudah lelah berjalan ke sana kemari, sudah lelah mencari program televisi yang menarik, sudah habis idenya mencari alasan agar tidak ketiduran di antara serangan kantuknya yang semakin kuat. Jadi, dia memilih untuk duduk di depan meja makan. Bersama banyaknya hidangan yang sudah dia pesan dan mulai dingin, juga sebuah cake dengan lilin berbentuk angka tiga tertancap di atasnya, menunggu seseorang membakarnya.
Sebuah suara deru mesin mobil yang berhenti di carport membuat Favita terperanjat. Melihat jam dinding, ah, dia ketiduran selama sekitar dua puluh menit dan segera bergerak berdiri untuk menatap cermin. Dia pastikan make-up-nya tidak terhapus sebagian karena pipinya menempel di punggung tangan yang dia taruh di atas meja makan tadi. Dia pastikan juga lipstiknya tetap menyala untuk menyembunyikan sedikit pucat di wajahnya karena dia masih merasa kelelahan.
Hari ini, dia harus tampil prima.
Favita belum sempat melangkah meninggalkan meja makan. Dia sedang sibuk mencari korek untuk menyalakan lilin, tapi langkah kaki itu sudah terdengar masuk. Seseorang sudah bergabung di rumah itu bersamanya. Dan Favita menoleh, menyambut wajah lelah pria itu dengan senyum.
Sempat bingung hendak menghampirinya atau tetap diam di sisi meja, langkahnya malah maju-mundur tidak jelas.
Namun, langkah cepat Hakim membuatnya terdiam di sana. Jadi, dia hanya menanti pria itu untuk mendekat.
Hakim tidak mengatakan apa-apa setelah menaruh tas kerjanya. Dia hanya terus berjalan, melewatinya, lalu duduk di salah satu kursi yang berada di seberangnya. Tidakkah pria itu sadar pada warna lipstik Favita yang lebih berani malam ini? Lalu mengomentarinya? Atau, gaunnya yang berdada rendah dengan pundak terbuka? Atau ... potongan dan cat rambutnya yang baru?
Ah, ya. Harus dimaklumi bahwa semakin lama usia pernikahan, pujian perlahan memudar, berganti dengan aksi yang lebih nyata.
Lalu, Favita menyeret kursi untuk duduk di hadapan pria itu. Berkata dengan suaranya yang riang. "Happy anniversary!" Bertepuk tangan.
Hakim juga, bertepuk tangan, satu kali, di depan lilin yang menyala. Sengaja dia lakukan itu agar api yang membakarnya mati, merasa tidak perlu repot-repot meniupnya. Lalu, dia cabut angka tiga itu dan menyisakan lubang di tengah cake. Pria itu adalah salah satu manusia yang punya masalah dengan estetika memang.
"Aku punya banyak hadiah buat kamu!" ujar Favita.
Sesaat tangan Hakim sibuk menggeserkan cake ke sisi. Tubuhnya condong ke depan, dan Favita ikut melakukannya. Saat Favita menatapnya dengan sorot mata menyala-nyala penuh antusias, Hakim menatapnya dengan sorot mata yang redup dan lelah. Lalu, setelah melihat Favita siap menyimak, Hakim mulai bicara. "Ayo kita bercerai."
***
Tenang baru awalan. Hehe.
TAPI DAH JEDAR-JEDER AJA YA.
Mau kasi masukan nggak enaknya update hari apa aja?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Marriage Cure
Romansa[TSDP #6] Part 2 Saat memutuskan untuk berpisah di usia pernikahan yang sudah menginjak tahun ketiga, Hakim dan Favita sadar bahwa memberi kabar tentang perceraian pada orang-orang terdekat sama halnya dengan menghancurkan kebahagiaan mereka. Jadi...